NGUNDUH BERKAH GURU

NGUNDUH BERKAH GURU
Gus Dur semasa muda | Koleksi: Wikipedia(dot)com
SEBUAH mobil Chevrolet putih melintas di daerah Bandung bagian Selatan. Di kursi depan samping kemudi supir duduk bocah kecil berusia 12 tahun yang sedang membolak-balikkan lembaran majalah bergambar di pangkuannya. Sementara di kursi belakang duduk dua lelaki dewasa mengenakan jas dan dasi yang sedang berbincang entah-apa. Salah satu dari lelaki dewasa itu ialah ayah sang bocah. Rencananya mereka menuju ke sebuah gedung rapat di daerah Sumedang, Jawa Barat.
Hujan deras dan petir sesekali terdengar. Kaca depan mobil buram karenanya. Jalanan berkontur rendah itu menjadi licin.
Dengan kecepatan yang lumayan kencang, di jalanan yang berkelak-kelok antara Cibeurem dan Cibabat, Jawa Baratban mobil selip dan supir gagal mengendalikannya. Mobil melaju zigzag mencari keseimbangan. Dari arah yang berlawanan tampak sebuah truk juga melaju kencang. Truk tampak berusaha menurunkan kecepatan. Dalam waktu yang singkat, bagian belakang mobil membentur truk dengan keras. Seketika dua lelaki dewasa yang duduk di bagian belakang mobil terpelanting keluar dari pintu dan kaca mobil yang remuk. Bahkan salah satu dari mereka jatuh tepat di bagian bawah truk yang, untungnya, sudah berhenti sepenuhnya. Ia adalah ayah sang bocah itu. Ia luka sangat parah: terutama di bagian kepala. Pendarahan membuatnya langsung tak sadarkan diri. Dengan mobil yang ringsek, supir pingsan di depan kemudi dengan tubuh yang masih terikat sabuk pengaman. Sementara bocah yang duduk di kursi depan mobil keluar tanpa luka apapun. Ia duduk bersimpuh di hadapan ayahnya yang sekarat. Darah terus keluar dari bagian kepala ayahnya membasahi aspal yang basah. Entah bagaimana ceritanya bocah itu tidak meneteskan air mata setetes pun.
Karena lokasi jauh dari pemukiman, sehingga pertolongan datang terlambat. Tiga jam kemudian barulah mobil ambulans datang. Tiga lelaki dewasa diletakkan di bagian belakang dan bocah itu duduk di kursi depan ambulan. Mereka dibawa ke rumah sakit Borromeus, Bandung. Esok harinya, tanpa pernah sadarkan diri sang ayah bocah itu akhirnya meninggal dunia—setelah beberapa jam sebelumnya lelaki lainnya yang duduk di kursi belakang mobil saat kecelakaan juga meninggal dunia. Sang sopir harus dirawat intensif di rumah sakit.
Pada hari itu juga jenazah yang diterbangkan ke Jakarta. Lalu disemayamkan di rumah duka di daerah Matraman, Jakarta. Berbondong-bondong ribuan orang membanjiri rumah duka untuk bertakziah dan mendoakannya: dari sanak keluarga, tetangga hingga pejabat negara. Sementara bocah itu masih belum bisa berkata-kata, meski ia tidak meneteskan air mata. Ia mungkin traumatik, tentu saja. Ia menjadi saksi satu-satunya sekaligus korban selamat—tanpa luka apapun—dari kecelakaan maut itu.
Keesokkan harinya setelah ribuan orang datang ke rumah duka, menggunakan mobil Buick jenazah diantar menuju ke Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta. Mobil melaju pelan karena jalanan kota dipadati orang untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah. Sesuai rencana keluarga, jenazah akan diterbangkan ke Surabaya untuk kemudian diteruskan menuju Jombang, Jawa Timur. 
Dari jarak yang dekat dari peristiwa kecelakaan hingga detik-detik dikebumikan, bocah itu menyaksikan langsung kejadian tersebut dengan diamsonder bicara sonder menangis. Seolah ia tak mampu lagi menangis ketika melihat banyak manusia yang menangis di pinggir jalan mengiringi jenazah ayahnya menuju liang lahat. Jam 2 siang akhirnya sampai di Jombang setelah melalui perjalanan yang tersendat-sendat. Sekali lagi karena ribuan orang memadati jalan di kota-kota antara Surabaya dan Jombang. Menjelang senja proses pemahaman selesai. Sampai beberapa hari sesudahnya, ribuan orang masih menangis dan berdoa di sekitaran makam.
“Apa yang bisa dilakukan seseorang untuk mendapatkan cinta sebesar itu?” kata bocah itu, bertahun-tahun kemudian.
Akhirnya kau tahu bocah itu ialah Abdurrahman ad-Dachil alias Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Republik Indonesia ke-4. Sedangkan jenazah yang diantar ribuan orang itu, ayahnya, ialah KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama Republik Indonesia. Dan rekan KH. Wahid Hasyim yang turut menjadi korban kecelakaan ialah Argo Sutjipto, Sektretaris Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) sekaligus Sekretaris Majalah Gema Muslimin. Sedangkan sang supir ialah salah satu wartawan Harian Pemandangan. Kecelakaan itu terjadi pada hari Sabtu 18 April 1953—beberapa tahun menjelang Pemilihan Umum pertama Republik ini, tentu dalam keperluan kampanye Partai NU.
Kisah tersebut amat lekat di kepala Gus Dur, meski ia hampir tidak banyak bercerita dan wajahnya menjadi murung jika ditanya perihal pengalaman tersebut. Bahkan kepada penulis biografinya, sejarawan asal Australia, Greg Barton. Namun berangkat dari cerita tersebutlah tulisan ini bermula. Tulisan ini berusaha bicara salah satu poin dalam proses pendidikan yang sering dilupakan.
Sebagai anak sulung dari 6 bersaudara, Gus Dur sering dilibatkan dalam aktivitas ayahnya. Sebagai pejabat Republik yang baru berdiri, rumahnya saat itu yang berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat amat sering disinggahi oleh sejumlah tokoh. Gus Dur amat sering menyaksikan semuanya. Ayahnya lah yang terus memberikan pemahaman akan pentingnya membaca buku dan pendidikan. Berkat didikan langsung ayahnya, sejak usia dini Gus Dur sudah akrab dengan sejumlah bacaan. Bahkan ia sudah piawai berbahasa asing seperti bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Jermin dan bahasa Arab. Olehnya kematian ayahnya menjadi pukulan tersendiri bagi kehidupan Gus Dur dan keluarganya.
Selepas kepergian ayahnya, ibunda Gus Dr, Solichah, menghidupi ke-6 anak-anaknya seorang diri. Karena alasan ekonomi dan lainnya, Gus Dur yang semula sekolah di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri di Jakarta dipindahkan ke Pondok Pesantren Krapyak di Yogyakarta asuhan KH. Ali Maksum, masih terhitung kerabat keluarganya. Pada pondok pesantren tersebut, 3 bulan pertama Gus Dur dilalui dengan menimba air untuk keperluan kiainya. Baik untuk mandi atau wudhu sebelum memulai pengajian dan sembahyang. Jadi dalam sehari Gus Dur harus menimba air sebanyak 8 kali. Tiga bulan berikutnya, ‘tugas’ Gus Dur menambah, yakni mempersiapkan alat seperti lekar (meja untuk membaca kitab atau Al-Quran) dan tikar—untuk kiai mulai memimpin pembelajaran dan mengaji.
Artinya selama 6 bulan awal sebagai murid baru, Gus Dur hanya mendapatkan pelajaran yang terkesan sederhana dan remeh. Bagi anak seorang menteri agama dan cucu pendiri organisasi Islam terbesar di Asia, hal ini menarik. Apalagi mengingat saat itu Gus Dur sudah menguasai berbagai bahasa asing dna banyak membaca buku.
Namun Gus Dur melakukannya dengan senang hati. Bahkan menurut Gus Dur hal tersebut yang selalu diamalkannya saat sedang menuntut ilmu, baik di Kairo atau Belanda. Yakni tugas utama dan pertama seorang pencari ilmu atau murid ialah Ngunduh Berkah Guru. Maksudnya agar ilmu yang diberikan guru kepada murid tersampaikan dengan baik, maka murid haruslah berlomba-lomba mencari dan mendapatkan berkah dari sang guru. Menimba air dan mempersiapkan alat pembelajaran ialah cara untuk memperoleh berkah guru. 
Bagi Gus Dur hal sederhana inilah yang sering luput oleh praktisi dan pemerhati pendidikan. Hubungan antara guru-murid diabaikan. Padahal menurut Gus Dur hubungan yang akrab dan takjim antara guru dan murid ialah kunci dari keberhasilan suatu proses pendidikan. Itu kenapa Gus Dur menaruh perhatian yang lebih kepada pendidikan pesantren yang dibaurkan dengan pendidikan modern. Sebagaimana yang diupayakan oleh ayahnya, KH Wahid Hasyim di pondok pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur.
Bagi saya, contoh konkret ngunduh berkah guru ialah mencium tangan sambil terus mendoakan kesehatan dan kebahagiaannya serta keluarganya. Sebab tidak ada kata ‘mantan’ untuk guru-gurumu. Itulah kenapa saya lebih senang bila ada Hari Murid ketimbang Hari Guru. Karena kau tahu semua guru ialah murid bagi guru-gurunya di masa lalu. Mungkin kebahagiaan seorang guru ialah ketika murid-muridnya terus mengamalkan apa yang diajarkannya serta menjadi guru bagi murid-muridnya—tentu ‘guru’ dalam arti kiasan atau sebenarnya.
Omong-omong kapan terakhir kamu mencium tangan gurumu dengan takjim sambil mendoakannya? [] @cheprakoso

Jatikramat, Januari 2019

Komentar

Postingan Populer