HIKAYAT YAZID
HIKAYAT YAZID
![]() |
Koleksi: Berita Bola |
SKOR masih sama
kuat antara Tim Berkostum Biru melawan Tim Berkostum Putih hingga babak
perpanjangan waktu pertama berakhir. Sebuah peluang terjadi di awal babak
perpanjangan waktu kedua. Umpan menyilang yang dilakukan pemain sayap Tim
Berkostum Putih. Namun dapat dipatahkan oleh Tim Berkostum Biru.
Pemain
Tim Berkostum Biru dengan nomor punggung 23 mengawal ketat pemain Tim Berkostum
Putih dengan nomor 10 sepanjang pertandingan. Seusai gagalnya peluang itu, saat
masih di dalam kotak pinalti Tim Berkostum Biru, Si Nomor 23 berhadapan dengan
Si Nomor 10. Si Nomor 23 mengangkat lengan dan menghentakkan tangannya. Sebagai
upaya untuk memancing emosi lawan. Si Nomor 10 hanya melihat sinis. Tidak
hilang akal, Si Nomor 23 kembali mendekati Si Nomor 10.
“Sorry, boleh kita bertukar kaus?” tanya
Si Nomor 23 seusai ia menyenggol Si Nomor 10 dengan sengaja. Untuk memancing
emosi Si Nomor 10, tentu saja.
“Tentu.
Seusai laga.”
“Tapi
daripada kausmu, aku lebih suka pelacur, seperti adikmu.” Si Nomor 23
menyeringai. Ia masih berusaha memancing emosi Si Nomor 10, kapten tim
sekaligus pemain kunci Tim Berkostum Putih.
Si
Nomor 10 murka. Ia berjalan menghampiri Si Nomor 23. Mereka berhadap-hadapan.
Si Nomor 10 menanduk dada Si Nomor 23. Wasit tidak melihat kejadian itu. Ia
menanyakan kepada assiten wasit. Dan wasit memberikan kartu merah kepada Si
Nomor 10.
Tim
Berkostum Putih harus mengakhiri pertandingan dengan sepuluh pemain. Tim
Berkostum Putih adalah Timnas Perancis, dan Si Nomor 10 adalah Zidane—ia pencetak
gol di pertandingan itu pada menit ke-7, dengan tendangan pinalti ala Panenka. Tim Berkostum Biru adalah
Timnas Italia, dan Si Nomor 23 adalah Materazzi, juga pencetak gol balasan pada
menit ke-19 melalui tandukan kepala. Itulah pertandingan Final Piala Dunia
2006, yang berakhir dengan drama tendangan pinalti. Italia menang 5-3. Italia
juara Piala Dunia.
Zidane
pensiun seusai pertandingan tersebut. Ia menutup karirnya dengan kekalahan dan
kartu merah, bahkan sebuah kontroversial. Tandukannya ke dada Materazzi menjadi
perbincangan media. Zidane dan Materazzi sempat bungkam, dan media berusaha
mengungkap dengan berbagai cara dan metode sehingga menghasilkan spekulasi
beragam. Sampai keduanya menjelaskan versinya masing-masing. Kejadian inilah
yang muncul diingatan saya ketika membaca kabar bahwa kota Paris dilanda aksi demonstrasi dan kerusuhan.
Bagi saya, seperti sejarawan Andrew Hussey memandang Paris secara berbeda dalam karyanya berjudul Paris: Sejarah yang Tersembunyi—menelaah riwayat hidup Zidane sebagai seorang imigran dan sukses menjadi pahlawan Perancis di tahun 1998 melalui sepakbola, tentu saja, ialah
lubang kecil untuk mengintip kehidupan The
Parisian—warga kota Paris, Perancis.
*
KARENA
kolonialisme-imperialisme bangsa Perancis di akhir abad ke-19 dan ke-20, di
kemudian hari mendorong berduyun-duyun imigran datang ke Perancis. Sebagaimana
bangsa Kolonialis lainnya, seperti Inggris, Spanyol, atau Portugis, bangsa
Perancis melakukan penjelajahan dan penguasaan di dunia Timur—wabilkhusus di
daerah Afrika bagian sahara dan Asia Tenggara bagian daratan—berupaya menguasai
sumber daya alam dan manusia. Dua negara bekas
koloni, Aljazair dan Maroko misalnya, menjadi penyumbang imigran terbanyak di Perancis.
Berdasarkan data Institut National
d’Etudes Demographiques pada 2008, jumlah imigran asal Aljazair sekitar
11,2 persen sementara dari Maroko 11,1 persen.
Secara statistik yang
dikutip dari Eurostat, jumlah imigran
di Prancis terbilang lebih sedikit ketimbang di Amerika. Pada 2010 dari 64,7
juta jiwa jumlah penduduk Perancis, jumlah imigran mencapai 7,2 juta jiwa atau
11,1 persen. Jika dibandingkan dengan sejumlah negara Eropa lain—misalnya Luxemburg
(32,5%), Cyprus (18%), Estonia (16,3%), Latvia (15,3%), Austria (15,2), Swedia
(14,3), Spanyol (14%), Irlandia (12,7%),Slovenia (12,4%), Denmark (12,0%), Jerman
(12%), dan Inggris (11,3%)—Perancis masih lebih sedikit. Namun, jika menghitung total imigran yang menetap, Perancis
mencatat jumlah terbanyak dengan 7,2 juta jiwa, di atas Inggris dengan 7 juta
jiwa.
Bagi
saya, angka statistik di atas menunjukkan beberapa hal. Diantaranya ialah
homogenitas warga Perancis. Di saat yang bersamaan, sebagaimana catatan
sejarah, bahwa bangsa Eropa kerap kali tidak ramah dan diskriminasi terhadap
imigran dan minoritas, apalagi pada situasi krisis atau malaische. Perancis, sebagaimana Jerman, memiliki pengalaman
historis demikian—jika Jerman berlaku intoleran dan diskriminasi terhadap kaum
Yahudi, Perancis kerapkali diskriminasi terhadap kaum negro dan muslim.
Dengan latar yang demikian, pada
1954, saat perang Aljazair melawan kolonialis Perancis berkecamuk, Zidane Senior—yang
memiliki nama depan ‘Smayl’—datang dari Dusun Taguemoune, di bukit-bukit
Aljazair yang jauh itu. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika yang dilecut
niat memperbaiki nasib, Zidane Senior, pergi merantau ke Paris. Tapi kemiskinan
tetap menggilas, dan ia pindah ke bagian selatan Perancis, tepatnya Marseille,
sebuah kota yang tak teramat jauh dari negeri asal.
Pada
pertengahan 1960-an, Zidane Senior bekerja sebagai petugas gudang. Ia sering dapat
giliran jaga malam. Di tengah perjuangan mempertahankan hidup sebagai kaum imigran
dan minoritas—yang terkenal sukar dan penuh aral—Smayl mendapat sebuah rezeki:
bocah lelaki yang lahir pada 23 Juni 1972 di Kota Marseille. Bocah itu diberi
nama Zinédine Yazid Zidane (bahasa Arabnya: زين
الدين زيدان, Zainuddin Zidan).
Kelak,
ingatan bocah kecil berhidung mancung itu: ia mudah bermimpi buruk bila Zidane Senior tak pulang karena kerja lembur menjaga gudang saat jam kerja malam. Sebab
itu pada waktu senggangnya Zidane Senior selalu berusahakan memberikan perhatian penuh bagi
anak yang lembut hati, yang dipanggilnya Yazid atau “Yaz” itu. Hubungan
bapak-anak ini lekat di benak bocah kecil itu ketika tumbuh dewasa. Tentu
selain perihal sepakbola.
Daerah La Castellane, di bagian utara Kota
Marseille, tempat Zidane dibesarkan, tempat ia bermain bola di lapangan Place de la Tartane, bukanlah wilayah
yang ramah. Terutama bagi keluarga imigran dan minoritas, seperti dirinya.
Orang menyebutnya sebagai quartier
difficile—perkampungan sulit. Di tepi jalan yang berdebu itu, di deretan
perumahan kotak-kotak itu, hidup si muslim, si miskin, si minoritas—triumvirat cap
minor sebagai imigran, Zidane.
Sebagai panggung, sejarah
perpolitikan Perancis ialah sejarah pertarungan ideologi-ideologi yang jelas, tegas. Partai berhaluan sosialis bergabung dengan koalisi besar
bernama Partai Sosialis. Sementara itu, partai-partai konservatif bergabung
dengan koalisi bernama Partai Gerakan Masyarakat (UPM—Union for a Popular Movement). Selain
dari dua koalisi besar tersebut, ada pula partai yang paling keras menentang
imigran, yakni Front Nasional. Partai ini dipimpin putri Jean Marie Le Pen
bernama Marine Le Pen. Front Nasional sendiri digolongkan sebagai far right atau
ultra-nasionalis. Tujuan
mereka tak lain untuk melindungi Perancis dari pengaruh-pengaruh luar—yang dapat diartikan bukan-Perancis atau Bangsa Frank, sebagaimana Nazi di bawah Hitler. Front
Nasional menginginkan Perancis kembali murni dengan diisi orang-orang dengan
ideologi yang sama.
Front Nasional pada
awalnya merupakan partai minoritas di Perancis. Maka, sejak pembentukannya pada
tahun 1972, mereka tampak tidak memiliki prospek yang bagus dalam perpolitikan
Perancis. Pada mulanya, isu-isu Front Nasional seperti soal
"nasionalitas", ataupun "pemurnian" bukanlah hal yang populer
bagi rakyat Perancis—namun berkembangnya situasi politik dan dekadensi kalangan
populis membuat Front Nasional mendapati pemilihnya. Jargon nasionalistik—cenderung chauvinistik—menjadi alat kampanye yang utama.
Sebagai pemimpin
partai, Le Pen terkenal sosok yang nyentrik
dan terkesan ekstrem. Le Pen mencoba membangkitkan rasa nasionalisme
masyarakat Perancis dengan merendahkan peran imigran di negeri tersebut. Semangat anti-imigran menjadi salah satu jargon partai
politik yang dipimpinnya. Situasi politik Perancis di tahun 1970-an dan 1980-an sangat tidak ramah
bagi kaum imigran dan minoritas.
Dalam
situasi perpolitikan seperti itulah, seperti terang pagi dalam malam yang
sangat panjang—pada 1986, pencari bakat sepakbola, Jean Varraud menawari Zidane
junior untuk bergabung ke tim junior AS Cannes. Saat itu Zidane berusia 14 tahun.
Tepat di usia 17 tahun, Zidane dikontrak tim senior AS Cannes. Bersama AS
Cannes Zidane melakoni sebanyak 61 pertandingan selama 3 musim (1989-1992) dan
menghasilkan 6 gol.
Pada
tahun 1992, saat ia berusia 20 tahun, Zidane hijrah ke tim Bordeaux. Bersama
tim kota pelabuhan sebelah barat daya Perancis selama 4 musim itu, Zidane
menjadi pemain utama dan melakoni laga sebanyak 139 pertandingan dengan 28 gol diciptakan. Ini
capaian yang luar biasa bagi pemain berposisi sebagai gelandang serang. Sejak
itu kaus timnas Perancis menjadi langganannya—tentu didahului oleh penampilan
di timnas Perancis tingkat junior sejak tahun 1988, sebuah catatan emas bagi
seorang imigran di tanah yang tidak ramah.
Berkelindan
dengan situasi politik Perancis yang semakin tidak toleran dengan imigran, atau
satu tahun setelah Le Pen menyalonkan diri sebagai Presiden Perancis (Le Pen Si Esentrik sebelumnya telah 3 kali
menyalonkan diri, 1974, 1988, 1995 dan kembali mencalonkan pada tahun 2002—sich, sejak ini ingat-ingatlah namanya hingga tulisan ini berakhir!) takdir
sepakbola Zidane semakin cemerlang ketika ia memutuskan hijrah ke Turin, Italia, pada
tahun 1996. Bersama Juventus karir Zidane meroket dengan 151 penampilan dan 24
gol. Zidane menjadi pemain gelandang serang terbaik di Eropa.
Meski demikian Zidane tak melupakan apa yang diberikan ayahnya. Juga Sang Bapak menyadari satu hal bahwa Yaz atau Zizou atau Zidane atau apapun masyarakat Perancis mengagumi dan mengecamnya—"Terlalu banyak pemain hitam. Mereka tak akan bisa menyanyikan lagu kebangsaan,” kata Le Pen setelah pelatih timnas Perancis, Aimé Jacquet, mengumumkan skuatnya, sebuah pernyataan yang membuat situasi politik Perancis memanas—sudah menorehkan sejarah untuk dirinya dan keluarga. Sejarah yang membuat rakyat Perancis melupakan sejenak identitasnya sebagai imigran, muslim, dan singkatnya minoritas—sebuah wajah lain dari gemerlapnya Perancis; sebuah wajah yang selalu dijadikan ‘kambing hitam’ ketika Perancis berada pada situasi krisis atau malaische.
Dua
tahun berselang, tepatnya 1998, bersama rekan-rekan imigrannya yang memedati sekuat timnas Perancis, Zidane turut andil besar mengantarkan timnas Perancis merebut
Piala Dunia di tanah airnya sendiri, di tahun yang sama ia memperoleh gelar
pemain terbaik dunia, dan tahun 2000 Zidane berhasil mengawinkan gelar piala
dunia dengan piala Eropa. Ini capaian luar biasa yang ditorehkan timnas
Perancis dalam sejarahnya. Dan sosok Zidane berperan penting dalam hal
tersebut.
Pada
tahun 2001, ketika nama Zidane dielu-elukan publik Paris dan ia jadi pemain
bola termasyhur dengan kemampuan olah-bola yang menakjubkan, dari Juventus
Zidane hijrah ke Madrid, dengan catatan sebagai pemain termahal dunia dengan
harga €77.5 million ($90.2million). Saat itulah publik lebih senang
memanggilnya “Zizou”, bukan lagi "Yaz", si anak yang lembut hatinya
itu—sebuah panggil kanak-kanak yang selalu mengingatkannya masa-masa awal
kehidupannya di Perancis sebagai imigran.
“Saya
mendapatkan semangat dari dia,” kata Zidane. “Ayahlah yang mengajari kami bahwa
seorang imigran harus bekerja dua kali lipat kerasnya jika dibandingkan dengan
orang lain—dan tak boleh menyerah.”
Dari
hikayat karir seorang pemain sepakbola yang kemampuan olahbolanya ajaib itu,
saya mengingat beberapa hal. Pertama,
ketika Perancis keluar sebagai juara Piala Dunia 1998, sebuah perayaan spontan
meluap di Paris: satu setengah juta manusia berderet di Champs Elysees. Kedua
saat sebuah potret besar Zidane, pencetak gol yang menjadikan negerinya sang
juara, diproyeksikan di Arc de Triomphe.
Ribuan orang berseru, “Zidane President!”
“Kami
berasal dari sebuah keluarga yang tak punya apa-apa,” kata sang ayah, Smayl
Zidane, yang menyaksikan tempik-sorak bagi anaknya di seantero negeri. “Kini
kami dihormati orang Prancis dari segala jenis.”
Hal
ini kembali mengingatkan saya pada titik berangkat kisah Zidane bermula. Bahwa
ia berasal keturunan minoritas yang disebut Les
Beurs, juga sebagai seorang imigran. Menariknya Zidane si miskin, si
muslim, si minoritas itu menjadi sebuah ikon bagi sebuah bangsa yang sering
disebut paling rasialis di Eropa, setidaknya menurut sejarawan Andrew Hussey
dalam bukunya berjudul Paris: Sejarah
yang Tersembunyi.
Dari
sanalah, kemudian kita memahami lintasan sejarah Prancis, setidaknya
sebagaimana yang dicatat dengan apik oleh Hussey; “[…] bagaimana Paris
memposisikan mereka yang bukan Parisian (warga asli Paris)? Atau lebih umum,
bagaimana Perancis menempatkan para imigran yang memadati setiap jengkal
wilayah bangsa Frank tersebut, apakah mereka beban, ancaman, atau bantuan?” Pada sosok Yaz atau Zizou atau Zidane lah pertanyaan-pertanyaan Hussey menemukan jawab. Bahwa Perancis, bahkan negara-negara Eropa, selain kepada kepada sepakbola, juga kepada imigranlah berpaling-muka. Zidane telah mengupayakan Perancis (dan Eropa) menjadi tanah yang ramah bagi imigran. Meski sesaat, dan serupa balon tiup di udara.
*
BAGI saya,
nukilan hikayat Zidane adalah cara terbaik bagaimana memahami kontradiksi
tersebut terjadi, alih-alih mendaras riwayat historis benturan-benturan yang
acap terjadi di Perancis (wabilkhusus
Paris); antara imigran dengan bukan imigran, atau muslim dengan bukan muslim,
dan lain sebagainya. Sambil terus berusaha menjawab kegalauan Hussey dalam bukunya yang penuh ironi tentang Paris dan Perancis yang bukan kota mode dan ramah bagi imigran.
Barangkali
dengan pemahaman historis (Zidane dan imigran di Perancis) demikian, dan
meminjam prinsip historisitas sejarawan Onghokham: “Sejarah adalah studi
tentang individu, bukan tentang struktur, sistem, atau institusi […] pengalaman
manusia kaya, amat kaya, untuk dikaji oleh suatu metodologi saja,” (Reeve,
2015) kita dapat menerka situasi kekinian Perancis yang sedang didera aksi
demonstrasi dan kerusuhan oleh kelompok yang menamai diri Yellow
Vets (Rompi Kuning)—Rompi kuning merupakan perlengkapan wajib para
pengendara motor di Perancis, sebuah simbol gerakan massa melawan kelas
menengah atas.
Gerakan
Rompi Kuning menentang sejumlah kebijakan Presiden Emmanuel Macron yang baru
menjabat selama 1,5 tahun—dengan partainya menguasai parlemen—yang cenderung
liberalistik (meskipun Macron diusung Partai Kiri) dan menguntungkan kelompok menengah atas dan membuat kesenjangan antara
Si Kaya dan Si Miskin di Perancis. Kebijakan Macron di antaranya reformasi di
bidang perburuhan, transportasi, pendidikan, dan kenaikan pajak bahan bakar
yang berdampak pada naiknya harga BBM.
Gerakan
Rompi Kuning bermula pada 17 November lalu itu dimotori oleh kelompok ekstrem
kiri, La France Insoumise pimpinan
Jean-Luc Melenchon—yang menjadi kandidat presiden dalam pemilu lalu. Di
lapangan, kelompok ini juga berbaur dengan kubu ekstrem kanan, Front Nasional,
pimpinan Marine Le Pen. Selain dua kelompok oposisi tersebut, serikat buruh,
mahasiswa dan warga yang terdampak kebijakan tersebut, seperti pensiunan,
bersatu dalam Gerakan Rompi Kuning. Ini menjadi capaian tersendiri ketika
gerakan massa di Perancis tampak cair secara ideologis.
Sejak
Sabtu (1/12), pengunjuk rasa mengamuk dan membuat kerusuhan di area pertokoan
mewah di Paris. Pengunjuk rasa menghancurkan etalase toko dan butik dan
memasang blockade di sejumlah ruas jalan Paris. Para pengunjuk rasa juga
melakukan orasi dan mimbar bebas di monument Are de Trimphe serta membakar sejumlah motor dan mobil yang berada
di lokasi. Sepekan berselang, Minggu (9/12), Kementerian Dalam Negeri Perancis,
menurut Associated Press, telah menahan lebih dari 1.200 orang pasca aksi
demonstrasi dan korban luka-luka lebih dari 130 orang, ratusan mobil dan motor
dibakar, puluhan gedung dan monument rusak.
Bagai
tumbuhnya cendawa di musim penghujan, aksi demonstrasi dan pemogokan terjadi
juga di sejumlah wilayah Eropa, seperti Jerman, Yunani, Spanyol, Romania,
hingga Serbia. Selain karena stagnan pertumbuhan ekonomi dan tingginya
pengangguran, gelombang demonstrasi dan pemogokan terjadi karena pandangan
curiga dan was-was terhadap imigran. Makin absurd dan cair ideologis motor
penggerak aksi, adalah jawaban atas gagalnya memahami persoalan imigran.
Sebagaimana yang dilakukan pemerintah Denmark, misalnya—negara yang praktis
stabil pertembuhan ekonomi, relatif rendah pengangguran hingga aman dari
percaturan dan persaingan dagang AS-Tiongkok, Referendum Brexit di Britania
sampai pertemuan G-20 di Argentina.
Sekali
lagi, sejak banjir imigran dari Timur Tengah tahun 2015, imigran ialah
persoalan genting di sejumlah negara Eropa. Saya menduga hal tersebut juga yang
terjadi di belakang layar aksi demonstrasi di Perancis. Kalau sudah begini,
saya khawatir bila negara-negara Eropa akan mengambil langkah dan kebijakan anti-imigran
sebagaimana Trump saat kampanye dan akhirnya menjadi Presiden Amerika Serikat. Untuk
hal inilah kembali membaca Hikayat Yazid menjadi penting, alih-alih juga
mengingat bagaimana superiornya Timnas Perancis di tahun 1998, dengan sejumlah
imigrannya.
Omong-omong,
wahai negara-negara Eropa, sebelum ‘Trumpism’ (demikian saya menyebut wabah
ultra-nationalism yang cenderung chauvistik dan tidak toleran terhadap
minoritas sehingga paradigma Keynesian yang menjadi pilihan kebijakan ekonomi),
masih ingatkah dengan tendangan ala Panenka
Zidane di menit ke 7 pada laga final Piala Dunia 2006 ke gawang Buffon? Bagi
saya, itulah cara seorang imigran mengencingi tanah yang kerap menolak dirinya.
Meski akhirnya kita tahu: atas provokasi Materazzi, Zidane menanduknya. Ia
mendapat kartu merah. Dan Perancis gagal mengulang keberhasilannya tahun 1998. Di
titik itulah, saya percaya, sepakbola tidak pernah menjadi sekedar olahraga. [] @cheprakoso
Jatikramat,
Desember 2018
Komentar
Posting Komentar