HOMESCHOOLING DAN HAJI AGUS SALIM
HOMESCHOOLING
DAN HAJI AGUS SALIM
PEREMPUAN remaja itu datang didampingi ibunya. Setelah
mengisi daftar kehadiran dan mengambil nomor urut, keduanya duduk di salah satu
sisi ruang kelas tersebut. Udara panas segera menyergapnya. Di tangannya
terdapat nomor urut 31. Paling belakang, baguslah, pikirnya. Sambil menunggu, mereka
berbincang berbagai hal. Akhirnya nomor 31 pun dipanggil oleh Pak Guru yang
mengenakan kemeja batik bercorak kembang-kembang berwarna biru. Setelah lebih
dari 7 tahun, inilah momen perempuan remaja itu dan ibunya merasakan kembali
rasanya ‘mengambil raport’ hasil belajar—meskipun hanya raport tengah semester ganjil.
Koleksi: Pinterest |
Perempuan remaja itu, sebut saja Karen,
tentu bukan nama sebenarnya, sejak kelas 4 sekolah dasar hingga kelas 10
sekolah menengah atas, menjalankan pendidikan informal, yakni homeschoiling. Ayahnya seorang pengusaha
yang harus memaksanya berpindah-pindah tempat tinggal pada waktu yang tidak
bisa diprediksi. Hal inilah yang menjadi alasan utama ibunya, sebut saja Nyonya
Mariana, tentu bukan sebenarnya juga, memilih homeschooling sebagai jalur pendidikan Karen.
“Karen lebih nyaman homeschooling. Meskipun Karen bukan tipe anak yang a-sosial,” kata
Nyonya Mariana kepada Pak Guru Berkemaja Batik itu. Pak Guru itu ialah Wali
Kelas Karen di sekolah formalnya.
Nyonya Mariana bercerita selama tiga bulan
kembali bersekolah formal di sekolah negeri tersebut ia mengalami depresi. Ia
harus kembali beradaptasi dengan pembelajaran di ruang kelas dengan jumlah
siswa yang cukup banyak. Berbeda dengan homeschooling,
Karen ialah satu-satunya siswa sang pengajar. Bagaimana pun, pembelajaran homeschooling
dengan sekolah formal tentu berbeda.
Jika homeschooling
guru datang ke rumah dan memberikan materi belajar dengan metode belajar
yang disesuaikan Karen, tidak demikian di sekolah formal. Di sekolah formal
Karen harus mengikuti materi belajar dan matapelajaran yang sudah terjadwal
sedemikian rupa—lengkap dengan aturan dan metode tiap-tiap pengajar yang
berbeda. Sedangkan di homeschooling Karen
bisa meminta kepada orangtuanya bila pengajar tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan Karen. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan Karen di sekolah formal.
Artinya, masih cerita Nyonya Mariana kepada Pak Guru Berkemeja Batik, Karen
harus bisa menyesuaikan bagaimana gaya dan metode tiap-tiap guru matapelajaran
yang datang ke kelasnya—bukan sebaliknya.
“Contohnya matapelajaran Matematika Minat,”
kata Nyonya Mariana sebagaimana diceritakan anaknya, lengkap dengan menyebutkan
nama guru yang bersangkutan. Karen hanya menunduk, dan matanya berkaca-kaca,
sedangkan Pak Guru Berkemeja Batik masih terus menyimaknya. “Karen tidak
mengerti materi yang diajarkan, dan mencoba bertanya ‘Apakah ada cara atau
rumus lain untuk materi tersebut?’, malah dijawab oleh guru yang bersangkutan ‘Kamu
tidak perhatikan sih. Cari saja cara
lain di Google!’. Bagaimana tidak down mental anak (jika diperlakukan
demikian), Pak?”
Hal ini tentu berbeda dengan cara pengajar
homeschooling yang selama ini
mengajar Karen, masih cerita Nyonya Mariana. Pengajar tersebut akan menjelaskan
cara-cara yang lebih mudah dipahami Karen. Bahkan dengan cara yang beragam. Bagaimanapun
karena pengajar tersebut hanya
menghadapi Karen sebagai siswa, sedangkan guru yang bersangkutan menghadapi
lebih dari 30 siswa dalam satu kelas.
“Setiap pulang dari sekolah Karen selalu
menangis, Pak.” lanjut Nyonya Mariana. “Berbulan-bulan demikian. Ia bahkan
meminta keluar sekolah (formal), dan kembali sekolah di rumah. Tapi itu tidak
mungkin,” saat itulah air mata Karen benar-benar tumpah di pipinya. Nyonya
Mariana mencoba menenangkan anaknya, tapi isak tangis Karen tak bisa dibendung
lagi. Seperti tanggul yang bertahan sekian lama dan akhirnya jebol juga.
Masih banyak yang diceritakan Nyonya
Mariana—termasuk persoalan traumatiknya Karen saat matapelajaran Pendidikan
Agama Islam (sebagai catatan, Karen seorang mualaf. Ia lahir dengan dibaptis
sebagai penganut Katolik—agama ayahnya, sementara Ibunya beragama Islam. Ketika
kedua orangtuanya bercerai, Karen mengikuti agama ibunya. Mungkin inilah alasan
utama kenapa akhirnya Karen kembali bersekolah formal) di sekolah formal
tersebut. Guru yang bersangkutan tidak memahami kondisi demikian, sehingga saat
hafal surah pendek (Al-Qur’an), dan Karen tidak mampu—guru tersebut menghukum
dengan keras. “Mosok begitu saja enggak hafal?” kata Nyonya Mariana
meniru perkataan guru yang bersangkutan. “Jika Karen tidak pernah masuk setiap
hari selasa—itu bukan karena benar-benar sakit, Pak. Tapi karena trauma
matapelajaran agama,”
Mendengar cerita Nyonya Mariana, Pak Guru
Berkemeja Batik tampak empati dan hanya bisa membalas dengan senyum. Serta berjanji
akan membicarakan dengan sejumlah pihak di sekolah—termasuk guru-guru yang
bersangkutan.
Meskipun secara sosial Karen lebih mudah
bergaul, masih cerita Nyonya Mariana, beberapa kali ia keluar rumah bersama
teman-temannya. Itu yang tidak pernah dialami Karen selama homeschooling, katanya. Karen menarik-narik tangan ibunya. Akhirnya
pertemuan itu selesai. Karen dan Nyonya Mariana pulang tanpa membawa kertas
berwarna merah jambu yang berisi angka-angka nilai matapelajaran selama 3 bulan
belajar di sekolah formal. Kertas merah jambu itu ialah raport tengah semester
Karen. Mereka lupa dan momen tadi lebih berharga ketimbang kertas tersebut,
kata Pak Guru Berkemeja Batik.
*
SAMPAI
di sini kita perlu bertanya, bagaimana homeschooling
dalam catatan sejarah. Lebih lanjut, karena tidak mungkin hadir di ruang hampa, bagaimana latar
dan konteks tren homeschooling di
masyarakat urban.
Sejak
Yunani Kuno terbagi ke dalam state-polis dan Socrates sudah tewas memilih menenggak racun, sekolah ialah representasi dari institusional pendidikan formal.
Perdebatan tentang filosofis pendidikan di masyarakat modern terus berkembang.
Hingga di satu titik—berkaitan erat dengan berkembangnya masyarakat dan
masalah-masalah sosial yang melingkupinya—sekolah dianggap tidak lagi memadai. Dalam
situasi demikianlah, ide homeschooling tidak
bisa dipisahkan dari kritik terhadap institusional belajar dan pendidikan formal
pasca-revolusi industri di Eropa. Meskipun melacak ide homeschooling pertama kali bukanlah hal yang mudah.
Namun
melalui catatan seorang praktisi pendidikan Britania, Mary Griffith (2006),
bahwa geliat ide homeschooling bermula
oleh seorang guru usia dini bernama Jhon Cadlwell Holt yang menulis sebuah buku
berjudul How Children Fail (1964).
Buku tersebut bicara tentang ekosistem sekolah yang tidak mendukung
tumbuh-kembang anak dalam menempuh pendidikan. Menurut Holt, manusia pada
dasarnya adalah makhluk belajar dan senang belajar—manusia tidak perlu
ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah
orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur atau mengontrolnya.” (dalam
Sumardiono, 2017)
Apa
yang dilontarkan Holt memicu perdebatan di kalangan praktisi dan pengamat pendidikan.
Topik perdebatan tersebut tidak sekedar membicarakan sistem pendidikan bahkan
menyentuh ranah filosofis untuk menghadirkan institusi pendidikan alternatif. Dalam situasi perdebatan demikianlah, pemikir kelahiran Vienna, Austria bernama Ivan Illich mengetengahkan
gagasan yang kemudian dikenal: de-schooling
society. Bagi Illich, sekolah layaknya
dunia aneh di tengah masyarakat yang begitu lekat terhadap realitas. Artinya sekolah
mendistorsikan realitas masyarakat. Meskipun dalam bukunya tersebut, Holt sama
sekali tidak bicara tentang pendidikan alternatif.
Baru
di tahun 1977, ketika ia mulai menerbitkan buletin khusus perihal pendidikan,
memprakarsai gagasan homeschooling.
Terutama melalui bulletin—yang kemudian dikenal luas—berjudul Growing Without School, Holt menekan
lingkungan sekitar sekolah yang tidak kondusif mempengaruhi aktivitas di dalam
sekolah. Hal inilah yang membuat sekolah, di mata Holt, menjadi tidak relevan.
Olehnya, masih dalam buletin tersebut, Holt menyarankan untuk anak-anak
melakukan aktivitas pendidikannya di rumah. Gagasan Holt ini mendapat dukungan
masyarakat Britania.
Sekali
lagi, ide homeschooling setali tiga
uang dengan kritik terhadap sekolah sebagai representasi institusional pendidikan.
Bahkan melalui laporan Departemen Pendidikan di Amerika Serikat, siswa yang
melakukan homeschooling terus
meningkat. Dari 850 ribu siswa (sekitar 1,7% dari total siswa) meningkat
menjadi 1,1 juta siswa (2,2% dari total siswa) dalam waktu 11 bulan di tahun
2003. Penelitian Dr. Ray, selaku peneliti senior The National Home Education Research Institute, terus meningkat
sebanyak 7-15% per tahun. Artinya di tahun 2018 telah terdapat 11 juta lebih
siswa di Amerika Serikat yang memilih sekolah di rumah.
Bagaimana
di Indonesia? Memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut seperti mencari jarum
di tumpukan sampah di Bantar Gebang. Teramat sulit. Namun melalui data yang
dikeluarkan Sisdirjen PAUDNI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ella
Yualaelawati Rumindasar pada tahun 2015 terdapat 11 ribu siswa di Indonesia
yang memilih homeschooling. Meskipun
di Indonesia terdapat tiga jenis homeschooling.
Yakni (1) homeschooling tunggal
ialah belajar di rumah yang dilakukan satu keluarga. (2) Homeschooling majemuk ialah belajar di rumah yang dilakukan oleh
beberapa keluarga. Serta (3) homeschooling
komunitas ialah belajar di rumah yang diinisiasikan oleh suatu komunitas
atau perkumpulan.
Jika
bercermin pada kisah Karen di atas, tampaknya Karen termasuk homeschooling tunggal. Serta jenis yang
ketiga ialah kategori yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Paket A-C’—sebuah upaya
pemerintah untuk mengatasi warga negara yang banyak putus sekolah sementara
membutuh ijazah dalam berbagai hal. Di titik inilah, hemat saya—tanpa mengurangi
rasa simpati terhadap apa yang dialami Karen dan mengecilkan peran pemerintah
untuk membantu warga negaranya—homeschooling
serupa pegadaian. Yakni mengatasi masalah dengan masalah.
*
LAIN kisah homeschooling
Karen, lain pula kisah ‘belajar di rumah’ di tahun 1912. Seorang pemuda berusia 28 tahun, yang
baru saja pulang dari Tanah Suci untuk belajar agama dan menunaikan ibadah haji. Setibanya di kampung
halaman, ia
segera meminang
kembang-desa yang telah lama dilamarnya. Selepas menikah, pemuda berusia 28 tahun itu
berpesan pada kembang-desa itu, yang
baru
saja resmi menjadi istrinya: banyak-banyaklah berzikir dan membaca...
Saya
rasa,
itu bukanlah
pesan
yang diharapkan
di
malam pertama; percayalah itu
bukanlah pesan suami terhadap istri yang biasa-biasa saja. Mungkin ini pesan teramat penting dan prinsipil. Sebab pemuda itu berharap pada
istrinya, kelak ketika mereka
memiliki anak, tidak akan disekolahkan di sekolah formal. Sebuah ikrar pernyataan ‘belajar di rumah’ sebelum
istilah homeschooling atau de-schooling society ala Illich dikenal.
Pemuda itu memilih mendidik anak-anaknya sendiri di rumah. Mungkin
ini awal dari sebentuk kekecewaan atas sebuah formalitas yang bernama sekolah.
Karena sekolah seringkali tak sesuai yang diharapkan. Sekolah adalah taman bermain yang batasannya tak pernah kita bisa mengerti. Dan taman bermain itu biasanya di luar kontrol pengendali sekolah. Mungkin itu
alasan mengapa pemuda itu berpesan
demikian.
Kemudian kita tahu, pemuda
itu
adalah Haji Agus Salim, dan kembang-desa itu— istrinya—adalah Zaitun Nahar. Lalu, sejarah pun mencatat,
pasangan
itu memiliki delapan anak, yakni Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria
Zenibiyang, Ahmad
Syauket (meninggal dunia pada masa Revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman
Sidik.
Dan
benar saja, kedelapan anak itu tak ada satu pun yang disekolahkan di sekolah formal,
semua dididik oleh
sang bapak dan ibunya,
di rumah. Ya,
di rumah.
Mungkin kita bertanya-tanya: mengapa Haji Agus Salim—seorang
diplomat cerdas yang mampu menguasai berbagai bahasa Asing, menteri luar negeri pertama negara Indonesia dan
sahabat terbaik dan orang kepercayaan Soekarno di masa awal Revolusi dalam urusan berdiplomasi—tak ingin menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal? Apa karena Haji
Agus Salim tak terlalu percaya
dengan pendidikan sekolahan? Apa Haji Agus Salim lebih mempercayai konsep sekolah homeschooling yang akhir-akhir ini telah trendy? Atau memang
hanya karena ia memiliki pengalaman buruk dengan sekolah semasa ia remaja dulu? Sehingga
tak mau menyekolahkan anak-anaknya?
Saya tidak tahu pasti. Saya menduga bahwa alasan mengapa salah satu orang kepercayaan HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam itu, tak menyekolahkan anak- anaknya ke sekolah formal adalah wujud perhatian dan cintanya terhadap keluarganya. Ia tidak mau keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya, terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah. Itu dicatat oleh Kustiniyati Moctar dalam bukunya Seratus Tahun Haji Agus Salim (Sinar Harapan, 1984). Mungkin yang dimaksud Haji Agus Salim sebagai “terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah‟ adalah sebuah refleksi atas pengalamannya semasa belajar di sekolah pemerintah kolonial, yakni diskriminasi antara orang berkulit putih dan bukan, penjajah dan dijajah; anak priyayi dan anak petani; begitu kontras dan mencolok. Bahkan hal itulah yang diprioritaskan dan dilanggengkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Misalnya hanya kalangan tertentu yang berhak dan pantas menggunakan bahasa Belanda, padahal sebagian besar ilmu pengetahuan termaktub di buku-buku yang berbahasa Belanda. Saya rasa Haji Agus Salim paham betul mengenai ini; itu alasan mengapa Haji Agus Salim menguasai begitu banyak bahasa asing.
Saya tidak tahu pasti. Saya menduga bahwa alasan mengapa salah satu orang kepercayaan HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam itu, tak menyekolahkan anak- anaknya ke sekolah formal adalah wujud perhatian dan cintanya terhadap keluarganya. Ia tidak mau keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya, terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah. Itu dicatat oleh Kustiniyati Moctar dalam bukunya Seratus Tahun Haji Agus Salim (Sinar Harapan, 1984). Mungkin yang dimaksud Haji Agus Salim sebagai “terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah‟ adalah sebuah refleksi atas pengalamannya semasa belajar di sekolah pemerintah kolonial, yakni diskriminasi antara orang berkulit putih dan bukan, penjajah dan dijajah; anak priyayi dan anak petani; begitu kontras dan mencolok. Bahkan hal itulah yang diprioritaskan dan dilanggengkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Misalnya hanya kalangan tertentu yang berhak dan pantas menggunakan bahasa Belanda, padahal sebagian besar ilmu pengetahuan termaktub di buku-buku yang berbahasa Belanda. Saya rasa Haji Agus Salim paham betul mengenai ini; itu alasan mengapa Haji Agus Salim menguasai begitu banyak bahasa asing.
Haji Agus Salim menginginkan keluarganya berkepribadian seperti apa yang
ia harapkan;
menjadi manusia yang sederhana dan berbakti pada bangsa dan negara, serta menjunjung ilmu pengetahuan dan mengamalkan agama Islam sebagai pedoman hidup: sebuah harapan yang ia tidak yakin bisa ditanamkan di sekolah formal (baca: sekolah kolonial Belanda). Haji Agus Salim mengakui, memang tidak semuanya apa yang
diajarkan penjajah (baca: sekolah kolonial
Belanda) itu buruk. Tapi ia tak terlalu yakin dengan apa yang
disebut dengan sekolah. Sebab, sekolah
bagi Haji Agus Salim, seharusnya adalah rumah bagi siswa-siswanya, bukan malah menjadi penjara. Oleh karena itu ia sepakat dengan sahabatnya, Ki Hadjar
Dewantara; “sekolah
adalah
taman.”
Sementara itu, sebagai pengganti sekolah, di rumahnya, Haji Agus Salim mengajarkan
tulis-baca, bahasa
asing, budi pekerti, sejarah, ilmu bumi dan pelajaran agama. Untuk bahan ajar—selain koleksi buku-bukunya yang
bejibun—Haji Agus Salim seringkali secara khusus mencari buku-buku bahan ajar
ke toko buku loak, atau bila mendapat kabar salah seorang kawan sedang
pergi ke luar negeri ia akan meminta tolong untuk
mencarikan buku pelajaran; dan Sutan
Sjahrir dan Hatta adalah dua orang yang
seringkali diberikan “tugas” itu. Dengan referensi buku yang
beragama itu,
ditambah
diajar langsung oleh seorang Agus Salim—yang menurut
salah satu surat Kartini “salah
satu
pemimpin Pribumi
yang
tercerahkan
dan mencerahkan”—dengan pengetahuan yang luas, kita bisa membayangkan bagaimana proses belajar di rumah Haji Agus Salim,
tentu
sangat mengasikkan.
Haji Agus Salim juga mendidik
dengan sifat kritis dan
korektif. Artinya,
ia selalu menghargai sebuah pendapat dan argumentasi yang diajukan oleh anak-anaknya. Haji Agus
Salim membawa sebuah kegiatan
belajar-mengajar menjadi sebuah dialogis yang mengasikkan. Yang menurutnya, itu mungkin tak didapatkan anak-anaknya bila bersekolah di sekolah formal.
Sebagaimana kita ketahui, sekolah kerap diasosiasikan sebagai hal-hal yang
menyeramkan,
layaknya rumah hantu atau taman pemakaman. Tak terkecuali pada masa dimana Haji Agus Salim dan
anak-anaknya tumbuh.
Saat
ini kita memang patut kecewa dengan kondisi dan situasi pendidikan di Indonesia.
Saya yakin bahwa kekecewaan terhadap institusional pendidikan ialah satu alasan
dari sekian alasan memilih homeschooling. Bagi saya pilihan homeschooling ala Haji Agus Salim merupakan
idealisasi dari ide homeschooling.
Pilihan untuk mendidik anak-anak di rumah ialah pilihan secara sadar dan
politis, alih-alih tuntutan kondisi dan situasi rumah yang tidak memadai untuk
pendidikan anak. Oleh sebab itu saya selalu percaya bahwa sejarah bukan sekedar masa lalu. Begitu. [] @cheprakoso
Jatikramat,
Akhir Tahun 2018
Komentar
Posting Komentar