MEMBACA (ULANG) BONEK: WANI!


MEMBACA (ULANG) BONEK: WANI!
Kepada Cak Andie Peci
Koreo Bonek saat pertandingan Persebaya Surabaya melawan Persija Jakarta (26/06) di Gelora Bung Tomo, Surabaya.
Koleksi Foto: bola(dot)com | 2018
LAGA lanjutan Liga 1 pekan ke-12 antaraPersija Jakarta melawan Persebaya Surabaya yang dilaksanakan di Stadion Sultan Agung, Bantul, DIY ditunda. Laga yang seyogyanya berlangsung Minggu (03/06) malam itu, dibatalkan karena terjadi bentrokan antara supporter The Jak Mania dengan Bonek. Penyebab bentrokan tidak diketahui.
Mengutip dari Goal Indonesia, kerusuhan tersebut terjadi beberapa jam sebelum pertandingan berlangsung. Akibatnya sejumlah aset di sekitaran Stadion Sultan Agung dan kendaraan yang berada di sekitar stadion mengalami kerusakan. Selain itu, kericuhan juga mengakibatkan korban luka dari kedua belah pihak yang berseteru. Melalui informasi dari laporan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Bantul, sebanyak 22 orang terluka: korban dirujuk ke RS PKU Muhamadiyah Bantul (9 orang), RS Senopati (6 orang), RS Rahma Husada (4 orang), dan RS Nurhidayah ( 3 orang) untuk mendapat penanganan tim medis.
Laga tersebut akhirnya berlangsung 23 hari kemudian (26/06), berakhir imbang, 1-1. Yang menarik dari laga tersebut ialah kembali mencuatnya citra buruk perihal perangai Bonek (Bondho Nekat atawa Modal Nekat), yakni urakan dan kerap bikin rusuh—setiap melakukan (menonton) pertandingan tandang Persebaya. Padahal sejak 2010, upaya untuk mengubah citra buruk tersebut.
Perihal citra buruk itu mencuat sejak tahun 1990-an dan awal 2000-an. Jika ada jadwal tandang Persebaya dan diikuti para Bonek, kebanyakan warung-warung sepanjang rute atau sekitaran stadion merasa terancam karena aksi-aksi penjarahan yang dilakukan mereka. Juga aksi konfrontasi antara Bonek dengan suporter-suporter kesebelasan lain yang daerahnya terlewati yang kerap berujung kerusuhan dan bentrokan. Seperti yang terjadi pada laga Delapan Besar Liga Indonesia tahun 2005 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta—bentrokan terjadi dengan supoter tuan rumah.
Namun di saat yang bersamaan, Bonek yang nekat, tentu dari sanalah kepanjangan nama mereka yaitu Bondho Nekat—menempuh ratusan kilometer dengan uang seadanya, tanpa alas kaki dan membawa gitar mini ukulele sebagai hiburan atau alat pencari uang di jalanan, menjadi bahan ejekan dan guyonan bagi supporter tim lawan. Kisah kenekatan ini terekam dengan baik oleh kisah Tret Tet Tet...!!!” ialah bising gemuruh terompet pada pendukung Persebaya yang melakoni aways day. Bunyi terompet menjadi gema dukungan di setiap pertandingan-pertandingan Persebaya pada kompetisi perserikatan yang digelar sejak 1930-an sampai awal 1990-an. Kebisingan itu menjadi keramaian suasana dukungan pendukung Persebaya di kandang maupun tandang, terutama di kompetisi Perserikatan 1980-an.
Kemudian pada babak enam besar kompetisi perserikatan 1986/1987, bunyi dari terompet itu dijadikan seruan bagi halaman depan Jawa Pos di sebelah pojok kiri bawah sampai menghabiskan dua kolom. Pada edisi 4 Maret 1987, Jawa Pos menulis: “Kita bentangkan kain rentang yang lebih besaaaaaar lagi. Kita tiupkan terompet yang lebih nyaring. Kita pukul genderang yang lebih keras. Mari kita kembali ke Jakarta: “Tret Tet Tet...!!!” Kemudian Tret Tet Tet yang diciptakan Dahlan Iskan saat itu menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Jawa Pos pada menjadi istilah laga tandang tersendiri bagi pendukung Persebaya.
Bagi pendukung Persebaya, hadir memberi dukungan di kandang lawan sudah menjadi tradisi sejak kompetisi perserikatan. Di mana pun Persebaya bertanding, Bonek selalu hadir menemani perjuangannya di tribun stadion. Misalnya pada laga final kompetisi Perserikatan 1986/1987 itu—pada laga ini nama Tret Tet Tet semakin sah menjadi ikon dari pendukung Persebaya yang menyaksikan pertandingan di luar Kota Surabaya. Pada laga tersebut  antusiasme Bonek yang ingi  hadir langsung ke Jakarta sangat besar. Hingga Jawa Pos membuka pendaftaran bertema Tret Tet Tet yang menjadi fenomena di kalangan pendukung Persebaya. Pendaftaran dibuka dengan berbagai harga bermacam-macam, dimulai Rp. 15.000 sampai Rp. 125.000 Berbagai macam harga itu memiliki paket mendapatkan tiket pertandingan, slayer, makan dan baju berwarna hijau bertulis Green Force yang bergambar wajah memakai ikat kepala bertulis “Persebaya”. Hal ini menjadi terobosan bagi supoter di Indonesia. Dengan upaya Jawa Pos tersebut, Bonek menjadi pionir supporter sepakbola di Indonesia yang memakai seragam dan atribut. Pada laga final itu, lebih dari 100 bus menuju ke Jakarta. Meskipun di laga tersebut Persebaya harus mengakui kemenangan PSIS Semarang dengan skor 1-0.
*

BERANGKAT dari kejadian di Bantul, DIY, Juni lalu dan kisah Tret tet tet itulah, pada pertandingan pekan ke -29 antara Persebaya melawan Persija, di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya—nyanyian dan sindiran terhadap Persija dan The Jack Mania bergemuruh sepanjang pertandingan.Jika tulisan ini dianggap mendukung Biru atau Oren atau Hijau atau warna apapun, Anda keliru. Anda juga salah bila tulisan dianggap merendahkan atau mendukung salah satu pihak yang selalu berseteru; bukan soal rivalitas oren atau biru. Bukan. Sebab, kami percaya tidak ada rivalitas yang membunuh kemanusiaan.
Tulisan ini berupaya untuk kembali membaca ulang Bonek, menempatkan perjuangannya pada kursi sejarahnya.
Sebagaimana sudah dibahas di bagian sebelumnya, bahwa terlalu lama mengendap di kepala kita bahwa Bonek artinya ‘mencuri gorengan di warung’, ‘naik kereta tanpa bayar’; atau ‘membuat keonaran di kota-kota orang’; hingga ‘masuk ke stadion tanpa tiket’.
Bagi saya yang bukan orang Surabaya, hal ini harus segera dihapus. Sebagaimana Barcelona dengan semboyan ‘Mes Que En Club’ (artinya: Lebih sekedar klub), saya pikir Persebaya dan Surabaya juga demikian. Bercermin kembali pada palagan sejarahnya, berbeda dengan Batavia atau Vosterlanden (wilayah raja-raja, yakni Yogyakarta dan Surakarta) yang terikat kekuasaan kolonial dan kerajaan, Surabaya menjadi wilayah yang cenderung bebas. Menurut sejarawan Dr. Andi Achdian, karena sejak abad 19 menjadi kawasan bisnis dan industri, identitas masyarakat Surabaya lebih terbuka dan homogen. Maka, masih menurut Andi, Surabaya menjadi poros perlawanan terhadap kolonialisme Belanda sejak abad ke 20. 
Persebaya punya perjalanan panjang dalam perkembangan kota Surabaya. Apalagi jika merujuk kepada SIVB (Soerabaiasche Indische Veotbal Bond) 1927—cikal bakal Persebaya, menjadi klub yang didirikan oleh orang-orang bumiputera di Surabaya untuk lebih bisa mengembangkan permainan sepakbola. Persebaya diakui sebagai dua entitas yang saling berkaitan antara SVB (Soerabaiasche Voetbal Bond) yang didirikan di tahun 1910-an dan SIVB. Maka usia Persebaya sudah lebih dari satu abad.  Dari usia tersebut, tentu saja Persebaya tidak bisa dihilangkan begitu saja di dalam sejarah Surabaya dan di memori serta benak masyarakat. Persebaya bukan hanya warisan kota yang harus dicintai dan dilestarikan, tapi bagian dari sejarah Surabaya itu sendiri. Persebaya ialah identitas perlawanan arek-arek Suroboyo. 
Anda bisa telusuri perjuangan Bonek melawan kesewenangan PSSI dalam catatan sejarah. Misalnya perjuangan Bonek sejak tahun 2013 ketika Persebaya tidak diakui oleh PSSI. Saat itu ada beberapa klub yang mengatasnamakan Persebaya. Bonek berjuang menuntut hak akan diidentitasnya yang ditidakdiakui oleh PSSI. Hingga Agustus 2016, menjelang Kongres PSSI, Bonek melakukan aksi #GRUDUKJAKARTA. Silakan Anda lihat video berikut.
Demikianlah saya memahami koreo Bonek di atas. Tulisan “Kami Bersama Kamu” (lengkap dengan warna hijau dan biru), bukanlah soal memancing di air keruh antara oren dengan biru. Saya meyakini bukan soal itu. Melainkan tulisan tersebut ingin bicara bahwa Bonek bersama kawan-kawan yang terzalimi dalam persepakbolaan Indonesia.
Bonek sudah melakukannya. Dan akan terus melakukan perjuangan bersama kawan-kawan yang terzalimi di persepakbolaan Indonesia.
Kemarin Persebaya, hari ini Persib, dan siapa yang bisa jamin kalau besok bukan Persija, PSM, Persipura, Persela atau lainnya?
Di titik inilah saya mendapati sekonkret-konkretnya frase Tan Malaka: “Sepakbola adalah alat perjuangan”. Bonek telah melakukan itu. Sudah seharusnya suppoter sepakbola klub lainnya pun demikian. Menjadi suppoter artinya berjuang.
Salam satu nyali, wani! [] @cheprakoso
Jatikramat, November 2018

Komentar

Postingan Populer