PADA PERJALANAN PULANG
PADA PERJALANAN
PULANG
![]() |
Seniman Teguh Ostenrik menyelesaikan patung yang berjudul Corpus Christi di studionya. Koleksi: Teguh Ostenrik/Facebook |
JALANAN macet
parah. Jam digital di dashbord menunjukkan pukul lima sore lewat tiga menit. Hujan
deras. Rintiknya membuat kaca mobil seperti sorot mata lelaki tua yang sedang
menunggu-entah apa di kala senja.
Belum
ada seperempat-jalan untuk sampai di kampung halaman. Selama dua-puluh lima
tahun hidup, lebih dari separuh usia, saban tahun, kau selalu melalui momen
seperti ini. Terutama menjelang hari raya.
Saat
tidak banyak yang bisa kau lakukan, di dalam sebuah ruang yang tak lebih dari
kamarmu yang berisi: ranjang, almari,
rak buku, meja belajar dan barang entah apa lagi, kau ingat sebuah kutipan yang
entah pernah dibaca di buku apa.
Begini:
“Manusia juga homo fabulans: makhluk yang
bercerita, yang bersastra—dengan bahasa dan imajinasi yang ganjil, tak pasti,
tak mandek, tapi dengan demikian selalu baru dan hidup kembali berkali-kali.”
Kau
berusaha mengingat nama pengarang dan judul bukunya. Tapi sia-sia. Dan kau juga
berusaha untuk melanjutkan dengan kisah hidup sahabat yang kini entah di mana.
Begini
kisahnya: “Bertahun-tahun kemudian ia
datang lagi ke kota itu dan ia berjalan menyusuri trotoar pertokoan favoritnya
dan langkahnya terhenti di tengah jalan. Dan, ah, ia ingat toko yang satu ini.
Tak ada yang berubah. Ia selalu menyukai bentuk dan warna bangunan tua itu.
Ia berdiri agak lama di sana. Ia ingat, dulu
di depan toko ini membentang jalan yang ramai. Tapi ajaib, sekarang jalan raya
itu lenyap dan telah berganti menjadi sebuah masjid. Trotoar pertokoan itu juga
dihadang dinding masjid.
Ia kehilangan susunan kenangan yang
awalnya sudah berhasil ia bangun. Itu sejenis kehilangan yang dialami saat ia
baru bangun tidur dan ia merasa nyaris berhasil mengingat mimpimu namun
kemudian faktanya ia tak pernah mampu mengingatnya sepenggal pun.
Ia memutar badannya dan berjalan
meninggalkan toko buntu itu. Dari kejauhan ia mendengar kumandang azan.”
![]() |
Patung Corpus Christi terpajang di Gereja St. Yohannes Maria Vianney, Cilangkap, Jakarta Timur. |
Kau mengingat cerita itu, dan berusaha menyusunnya sedemikian rupa, memparafrase, sehingga kalian bisa membacanya dan mampu menerka—sebetulnya ini tentang apa.
“Tak
perlu risau,” sebuah kutipan yang kau ingat juga. Jalanan masih macet. Gerbang
tol belum kelihatan. “Tidak semua cerita menampilkan wujud sebenarnya. Itulah
sastra; mengatakan sesuatu dengan cara yang amat berbeda dari sesuatu tersebut.”
Maka
kau ingat sesuatu. Meski kau seorang pelupa yang akut.
Ia
tinggal di Jatikramat Bulak, Bekasi, sejak tahun 1997. Tepatnya di Jalan Mangga
yang legendaris itu. Sebelumnya ia lahir dan tinggal di Pejompongan, Jakarta
Pusat. Di sebuah perkampungan kumuh rumah susun khas Ibukota di tahun 1990-an.
Seingatnya, ketika ia pertama kali datang, Jalan Mangga Jatikramat itu masih
rimbun oleh sejumlah pohon khas daerah pemukiman Betawi-Bekasi dan juga
lapangan bola, tentu saja. Ia datang ke Jatikramat saat belum beranjak ke
bangku sekolah—karena rumah susun kumuhnya ludes dilalap api.
Di
Jatikramat, ia baru tahu perbedaan antara buah bacang, bembem, dan mangga. Di
Jatikramat, ia tahu ada permainan panggal. Di Jatikramat, cita-citanya menjadi
pemain bola buncah. Di Jatikramat, setiap bocah harus mengaji saban Magrib
sampai Isya (wabilkhusus ia juga
mengaji sore di TPA). Di Jatikramat...
Itu
Jatikramat dua puluh tahun yang lalu dan perlahan-lahan berubah lima tahun
terakhir, katanya kepada kau. Silakan kau main ke Jatikramat untuk lihat di
mana perubahannya, lanjutnya. Ini yang membuat kau telengas, katanya sambil
memandang entah-apa.
Baiklah,
karena memang ia lagi enggak mau
cerita lebih lanjut soal (perubahan) Jatikramat, ia cerita soal Natal di
Jatikramat. Tepatnya di gang rumahnya.
Ketika
keluarganya membangun rumah yang sekarang ditempatinya, sekelilingnya adalah
(lingkungan) rumah Betawi. Semua beragama muslim. Beberapa lama kemudian, jika
ingatannya enggak berkhianat, datang
satu keluarga; ibunya seorang dokter dan bapaknya seorang guru, dan mereka
memiliki anak perempuan, bernama Lia. Mereka bersuku Batak dan beragama Kristen
Protestan. Mereka membangun rumah tidak jauh dari rumahnya. Berselang tiga
rumah di samping kiri.
Sejauh
ini tidak ada masalah berarti antara masyarakat dengan mereka. Hingga Lia
memiliki dua adik. Lia, anak pertama mereka, seumuran dengannya. Di Jatikramat
ada tradisi saling mengirim makanan (atau bahan makan) saat ada hajatan atau
perayaan keagamaan. Misalnya Lebaran. Saat Lebaran mereka saling mengirim
makanan ke tetangga terdekat. Keluarga Lia juga melakoninya. Meski mereka
beragama Kristen. Saat ada hajatan, mereka diundang, dan datang. Sebaliknya
juga begitu.
Arkain
yang terjadi pagi itu. Saat ia masih leyeh-leyeh di kamar. Ia mendengar Lia
datang. Bapak sedang duduk di beranda rumah.
“Maaf
baru sempat ngirim nih, Pakde.” kata
Lia kepada Bapak.
“Enggak papa. Sibuk misa, kan.” kata Bapak, sok tahu.
“Selamat
Natal, ya...” Lalu Bapak memanggilnya untuk lekas memindahkan makanan ke piring
karena nampan dan piringnya ditunggu.
“Makasih,
Pakde. Isman (adik laki-laki Lia) juga ulang tahun hari ini...”
“Wah,
selamat. Panjang umur buat Isman...”
“Tyoo...”
Bapak memanggil lagi, tampaknya ia yang masih leyeh-leyeh.
Ia
keluar, saat itulah ia tahu Lia membawa nampan berwarna hitam yang di atasnya
ada tiga piring; semur tahu dan kentang, ketan kuning, dan tumis bihun, serta
satu katong plastik putih berisi dua buah salak, rengginang dan kue cincin.
Semua makanan khas Jatikramat. Maksudnya makanan yang kerap dikirim-kirimkan
saat hajatan atau perayaan Lebaran.
Ia
membawa nampan itu ke meja makan dan memindahkan ke piring yang baru. Bapak
masih mengobrol dengan Lia di beranda. Saat itulah ia ingat, dan ingin
menuliskan apa yang kalian baca sekarang. Meski akhirnya kau tahu, ia tidak
mampu menuliskannya.
Kau
tahu, ini bukan peristiwa baru, katanya kepada kau. Saban Lebaran kami
mengirimi Keluarga Lia, sebaliknya juga saat Natal. Itulah kenapa keluarga
tidak pernah bisa memahami kenapa sampai ada orang yang melarang-larang hal
demikian.
Pikiran
itu terus mengiung di kepalanya. Karena beberapa hal, mungkin juga karena
pengalaman kau ke Semarang. Kau tidak yakin.
Akhirnya
ia selesai memindahkan seluruh kudapan ke piring. Ia membawa nampan dan
piring-piring kosong itu ke depan. Ia menyodorkan ke Lia, perempuan Batak yang
dulu ia panggil Butet dan sekarang Lia lulus jurusan hukum di kampus Medan.
“Selamat
Natal ya, Butet...” katanya.
Lia
tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lia bergegas, mungkin karena masih
banyak rumah yang harus dikirim. Saat itu ia melihat Isman baru saja keluar
dari rumah Bu Haji Madura yang rumahnya persis di depan rumahnya, membawa
nampan. Artinya tidak hanya keluarganya yang dikirimi kudapan, juga tetangga
yang lain.
Saban
lebaran atau Natal, aku selalu merindukan hal tersebut, katanya kepada kau
beberapa waktu yang lalu, sebelum ia hilang entah kemana. Terutama akhir-akhir
ini, saat toleransi merupakan hal yang tidak jamak ditemui, lanjutnya. Saat itu
kau hanya tersenyum. Setuju, tanpa komentar.
Kau
menyadari, kau masih di dalam mobil yang terjebak di kemacetan. Meski di
depanmu pintu gerbang tol sudah tampak. Mungkin beberapa ratus meter di depan.
Kau
juga menyadari, diam-diam, kau merindukannya. Selain merindukan
cerita-ceritanya. Meski pun kau lebih rindu untuk lekas sampai di kampung
halaman, tentu saja, dan segera mengakhiri tradisi ritual kekejaman yang saban
tahun dilakoni jutaan orang di Nusantara. Kekejaman itu bernama; tradisi
mudik/pulang kampung.
Apakah
toleransi juga sukar ditemui di kampung halaman?
Kau
berharap jawabannya tidak. Kau tahu jawaban itu tidak lekas kau dapati meski
kau sudah tiba di ampong halaman. Kau hanya ingin lekas sampai di kampung
halaman dan bersua dengan sanak-keluarga, juga kenang-kenangannya.[] @cheprakoso
Jatikramat, 2018
Komentar
Posting Komentar