PADA SEBUAH WAWANCARA: (BUKAN) OBITUARI

PADA SEBUAH WAWANCARA
(Bukan) Obituari NH. Dini

koleksi @sitiraisyah | 2016

SEPTEMBER 2016—kami tiba di Wisma Lansia Harapan Asri, Bayumanik, Semarang membawa dua jinjingan: satu kantung plastik buah apel dan sekotak kue cokelat. Kami menunggu beberapa waktu di ruang depan. Lalu kami diantar oleh petugas menuju ke kamar yang kami maksud. Kami diminta untuk menunggu, lalu petugas meninggalkan kami. Kami berdiri di depan sebuah kamar yang tampak rapi dan teduh. Tidak lama, dari pintu yang terbuka setengah, keluarlah seorang perempuan paruh baya mengenakan pakaian bermotif batik warna biru muda. Perempuan paruh baya mempersilakan kami duduk. Sebelumnya, kami sodorkan dua jinjingan tersebut. Saat menerimanya wajah perempuan paruh baya itu sumringah.
“Kalian tahu buah dan makanan kesukaan saya?” kata perempuan paruh baya. Kami menjawab dengan anggukan kepala.
Lalu ia masuk ke dalam kamarnya dengan dua jinjingan di tangannya. Orang Jawa banget, batin saya sambil melirik ke Raisyah—yang akan melakukan wawancara kepada perempuan paruh baya tadi. Ia tampak masih tidak percaya bahwa bisa bertemu langsung dengan perempuan paruh baya yang biasanya hanya bisa ia temui di lembaran-lembaran buku yang dibacanya. Perempuan paruh baya itu merupakan penulis yang diidolakannya. Bukan kebetulan bila Raisyah memilih perempuan paruh baya itu sebagai topik mayor penelitiannya. Perempuan paruh baya itu bernama Nh. Dini, penulis novel Pada Sebuah Kapal (1974).
Beberapa waktu Nh. Dini kembali dengan buah apel di atas sebuah piring dan sudah dicuci—tampak dari butir-butir air yang masih menempel di permukaannya—lengkap dengan pisau kecil, serta kotak kue cokelat dan piring-piring kecilnya.
Dalam tradisi Jawa, jika Anda bertamu lalu membawa sebuah bingkisan makanan, maka Si Tuan rumah (merasa) wajib menyuguhkan bingkisan makanan tersebut kepada tamu (yang membawa makanan) tersebut. Suguhan bingkisan tersebut sebagai teman berbincang selama Si Tamu berada di rumahnya. Dan hal itulah yang dilakukan Nh. Dini.
Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 09:05 WIB. Udara di Banyumanik, Semarang pagi itu cukup cerah dan sejuk. Sebab wisma tersebut memang berada di kaki Gunung Ungaran.
“Jadi dijemput Pak Pardjo, kan?” tanya Nh. Dini, saat kami berbincang santai tentang kabar dan hal-hal lainnya. Kami menjawab dengan anggukan kepala kembali. Supardjo ialah supir taksi langganan Nh. Dini. Saat dalam perjalanan di gerbong kereta, Raisyah mengabari bahwa sedang dalam perjalanan menuju Semarang ke Nh. Dini, dengan murah hati perempuan yang saat itu berusia 80 tahun merekomendasikan nama Supardjo untuk menjemput dan mengantar ke lokasi dimana Nh. Dini tinggal. Bagi saya, perhatian dan kemudian jawaban-jawaban Nh. Dini yang saya dengar pagi itu memberi kesan tersendiri—yang mungkin akan saya tulis di kesempatan yang lain.
Bayangan di ataslah yang muncul di kepala saya ketika mendengar kabar bahwa Nh. Dini meninggal dunia (04/12) akibat kecelakaan, dari Raisyah. Mobil yang dikendarai Nh. Dini tertabrak sebuah truk dan terjungkal. Silakan pembaca lihat video detik-detik kecelakaan yang dialami Nh. Dini berikut.
Selain kematian Nh. Dini, yang membikin saya nelangsa ialah fakta bahwa Nh. Dini meninggal dunia saat disupiri oleh Pak Pardjo—demikian ia disapa—supir langganannya, dan supir yang juga menyupiri kami dua tahun yang lalu.
Sebagai ungkapan belasungkawa atas meninggalnya penulis perempuan Indonesia yang teguh akan keperempuanannya, saya telah meminta izin kepada Raisyah untuk mempublikasi sebagian kecil transkip wawancaranya dengan Nh. Dini. Tentu transkip wawancara sudah saya sunting sedemikian rupa—agar enak dan perlu dibaca serta relevan dengan hal-hal yang perlu pembaca ketahui.

—“Kegiatan apa yang Ibu lakukan sehari-hari di wisma lansia?”
 “Setiap  pagi saya bangun. Jam setengah empat atau jam empat. Jika pada pagi hari saya pergi yang terpenting itu merawat diri—saya seminggu 2 kali atau paling sedikit seminggu 1 kali mendapat perawatan tusuk jarum atau akupuntur karena saya vertigo akut. Kalau tidak dirawat untuk menanggulangi, kadang-kadang akan kumat atau kambuh. Jadi jam enam saya jalan pagi bolak-balik di tempat parkir itu. Sebelum dan setelahnya saya minum air putih. Setelah itu menyalakan AC dan kembali ke tempat tidur. Kemudian mengisi teka-teki silang dalam bahasa Prancis—agar saya tidak lupa. Nah jadi ada dua macam (kegiatan): dari pagi tinggal terus di sini (beranda kamar) atau saat tidak pergi, saya asyik mengurus tanaman—dari  pagi selama 2 jam, lalu langsung ke komputer (untuk menulis) setelah makan.”

“Lalu, Ibu sekarang dapat dikatakan hidup sendiri, apakah Ibu tidak pernah merasa kesepian?”
”Sama sekali tidak. Saya menikmati. Anak saya (Marie-Claire Lintang, 57 tahun) pernah meminta agar saya ikut bersama dia di Kanada. Tapi buat apa ke sana? Nanti anak-anak hanya lihat saya paling seminggu sekali—mereka kan kerja, cucu-cucu  juga kerja. Nah seperti yang saya tulis di Rui Saint Simon ke Jalan Lembang (Novel Seri Kenangan, terbit 2012), di situ saya merawat dan menjadi pendamping orangtua, dan ada salah satu orangtua (memiliki) anaknya 6. Setiap Jumat menelpon anaknya satu-satu—dia minta dijemput untuk makan siang bersama atau minta tidur ke rumah anaknya. Saya bujuk-bujuk, ‘Sudah tidak usah, Monsiouer. Di sini saja bersama saya nanti kita jalan-jalan,’ Saya pikir, nanti saya akan bernasib sama seperti itu dan saya menganggur di sana. Kalau di sini masih butuh saya.
Lalu, kalau saya ikut anak saya, apalagi sudah sama-sama tua mereka sudah menjadi orangtua sudah terbentuk nanti dia ngomong apa saya tersinggung, nanti saya ngomong apa mereka tersinggung. Jadi serba-salah. Ketemu dua minggu atau maksimum 1 bulan gak apa-apa karena ada pikiran harus berkualitas pertemuan ini jadi kalau tersinggung saya menghibur diri; ‘Hilangkan, hilangkan’, nanti kita berpisah lagi tapi kalau terus-menerus, saya kira tidak bisa.

“Apakah dalam kegiatan Ibu menulis terdapat hambatan? Misalnya ibu sedang buntu dalam menulis atau sebagainya?”
 “Hal itu dapat diatasi. (Bila buntu dalam menulis) Pasti saya akan berhenti sejenak sambil mengurusi tanaman. Namun pikiran saya terus jalan. Bahkan sampai ada yang lewat menegor saya ‘Selamat sore, Eyang’ tapi saya diam saja karena memang seperti memiliki dunia sendiri.”

“Banyak dari novel-novel Ibu, seperti Pada Sebuah Kapal, La Barka, Keberangkatan dan sebagainya, hampir semua tokoh-tokohnya perempuan. Sebenarnya bagaimana pandangan dan  pendapat mengenai perempuan Indonesia itu?”
“Saya pikir kalau laki-laki yang menceritakan perempuan itu seringkali meleset karena sentiment. Kepekaannya itu lain, jadi seolah-olah mereka itu hanya turistik saja. Lalu sekali saya  dikaruniai oleh Tuhan kelancaran dalam menulis dan kejelian melihat sifat-sifat perempuan, karena saya perempuan juga, dan mengalami kekecewaan-kekecewaan dengan hubungan manusia laki-laki baik sebagai sahabat maupun suami.

“Berarti sebenarnya ibu banyak menulis tokoh-tokoh perempuan itu bagian dari wujud pengalaman Ibu persis?”
“Iya. Persis. Meski saya juga tetap menjadi turis kalau menulis mengenai laki-laki. Saya selalu hati-hati (dalam menulis tentang laki-laki), seperti dalam novel Pada Sebuah Kapal bagian dua ‘Pelaut’ dan Tanah Baru, Tanah Air Kedua.

“Lalu bagaiman pandangan atau pendapat ibu mengenai perempuan Indonesia atau perempuan dimana pun?”
 “Perempuan itu sebetulnya universal. Oleh sebab itu saya menulis Namaku Hiroko. (Tokoh) Hiroko itu, menurut Ajip Rosidi tidak mungkin terjadi karena di budaya Jepang tidak ada perempuan yang berpengalaman begitu dan tiba-tiba menjadi kepala bagian. Saya bilang justru itu baiknya seniman—saya itu ingin budaya Jepang waktu itu mengikuti seperti yang saya tulis, karena ada modernitas jadi harus mengikuti zaman. Saya tidak menulis mengenai kebudayaan Jepang, saya menulis menuruti hati saya.


“Tampaknya gagasan utama di novel-novel Ibu ialah perjuangan perempuan.”
“Kemanusiaan nomor satu, dan segala persoalan mengenai perempuan di antaranya.”

“Ada kaitannya dengan pertanyaan sebelumnya, mengapa Ibu seringkali menciptakan tokoh-tokoh yang melanggar norma dalam masyarakat? Apakah itu semua berpangkal dari pengalaman Ibu yang meilhat perempuan itu selalu dinomorduakan, perempuan kerapkali tidak diberi hak?”
“Ya, saya tidak pernah mengada-ada (dalam menulis). Jadi semua yang tulis, seperti Hiroko, misalnya itu ada orangnya. Cerpen-cerpen saya itu saya ambil dari masyarakat. Saya tidak mengarang. Saya hanya menyambungkannya—seperti masak ini-itu saya masukan. Sri di novel Pada Sebuah Kapal itu terdiri dari 5 Sri, satu istri professor ini tokohnya, memang ada penari tapi sebenarnya bukan penari Bali (sebagaimana yang tertulis di novel). Nah, yang penari itu Sri lain. Hidupnya itu dia menikah dengan professor setelah saya kawin. Novel itu bibitnya sudah ada sebelum saya kawin. Lalu, Sri yang di Bali juga mengalami hal yang gak karu-karuan lalu dia orang Jawa tapi tinggal di Bali. Istri yang professor ini saya bongkar dan saya ganti menjadi istri diplomat karena ternyata benturan budaya itu lebih keras ketika saya mengalami sebagai istri diplomat. Saya memang menulis sesuatu yang nyata. Ada peristiwanya bahkan tokohnya. Saya hanya jadi juru masaknya; dikasih salam, laos, dan tambahkan garam secukupnya. Campur jadi satu dan dibumbui dengan imajinasi. Atau bisa dibilang cerita pendek saya itu cerminan masyarakat.

”Berarti secara umum perempuan memang seperti itu, namun ibu menampilkannya secara berbeda meskipun itu semua berasal dari realitas yang Ibu saksikan juga.”
 “Tentu saja. Saya selalu ada dimana-mana, di setiap karya saya. Selalu begitu. Nah di Tanah Baru, Tanah Air Kedua ada tokoh Sakirah yang orang Madura. Itu saya masukan diri saya ke situ dan orangnya pun ada. Tentu saya kembangkan dengan imajinasi saya sendiri.”

Saya menemukan kliping wawancara Ibu di PDS HB Jassin, Jakarta bahwa Ibu mengungkapkan kepercayaan yang Ibu anut selain Islam adalah Kejawen, sebenarnya bagaimana falsafah dan sikap hidup Kejawen itu? Lalu bagaimana pandangan Ibu mengenai alam pikir Jawa?”
“Sikap hidup Kejawen itu tidak hanya ritual seperti sembahyang—itu kan (hanya) ritual. Saya kira itu intinya ialah kemanusiaan. Seperti di agama bilang ‘Kalau kamu makan tengok ke tetanggamu makan gak?’

“Menurut saya, di satu sisi cara berpikir ibu sangat tradisional karena dipengaruhi oleh didikan dari kedua orangtua ibu, namun di sisi lain Ibu sangat terbuka—contohnya perihal seksualitas yang Ibu bahas di tulisan-tulisan Ibu. Apakah hal itu berangkat dari pengalaman ibu sendiri, realitas yang ibu lihat, atau alamiah berasal dari dalam diri Ibu sendiri?”
“Saya kira alamiah. Saat itu saya berusia 10 tahun, saya sudah melihat zaman revolusi. Rumah saya di Sekayu itu kan kamarnya 6, besar-besar. Lalu di pendapa ditambahi lagi  dengan gedek, dibuat kamar lagi, itu gudang tapi pembantu boleh tidur di situ. Nah ada dua gudang di belakang dan disekat lagi dengan gedek, untung orang-orang yang tadi rumahnya di pinggir jalan. Ya mereka kenal kami. Saudara—masih ada hubungan saudara atau apa. Itu semua mengungsi di rumah; ibu saya, saya dan kakak laki-laki saya hanya mendapat kamar 1, di tengah. Semua itu ada yang menyewa, ada yang bayar, ada yang hanya kasih kalau masak, “Anu, monggo, ikut makan kami masak ini...” Jadi, ya seadanya. Kalau suaminya dipenjara ya dia harus cari uang, karena untuk mengirim (makanan) ke penjara dan saya dibawa karena saya masih kecil. Itu ada beberapa perempuan dan orang Cina. (Pada zaman itu) kan yang ada duitnya kan (orang) Cina. Nanti dia pulang bawa nasi atau apa. Saya mengetahui saya hubungan (sanggama) anatara laki-laki dan perempuan, ya dari Yu Saijem itu. Setelah itu dia mesti minum jamu, namanya ‘jamu peluntur’ supaya gak jadi (hamil). Jadinya saya mengetahui hubungan (sanggama) antar manusia, laki-laki dan perempuan, ya waktu itu. Saat itu saya bertanya-tanya. Kenapa mereka begitu, dan lain sebagainya. Ternyata ada gunanya—supaya hubungan Yu Saijem dengan suaminya yang sedang dipenjara bisa lancer, dan mengirim duit dan makan.
Mereka melakukan itu secara alami. Kenapa kok saya gak jijik atau apa yak karena didikan Ibu saya. Katanya, ‘Kalau orang berbuat sesuatu itu pasti ada alasannya,’ Seumur itu saya sudah dikasih tahu mengenai manusia itu: ‘Kalau kamu gak suka mesti ada alasannya’ Oh karena orang yang berbuat begitu ada alasannya, pikir saya saat itu. Hal itu terus dipupuk oleh ibu yang toleran terhadap orang lain, laki-laki maupun perempuan.”

“Jadi Ibu fleksibel dalam memandang segala sesuatu?”
“Iya, betul. Apalagi saat (bekerja) di (Maskapai) Garuda, terdapat stewardess-stewardess Indo, lalu pilot-pilotnya kan berasal dari Australia dan Belanda. Di Amerika ada seorang pilot perempuan, kalau anu ya rangkul-rangkulan saja. Jadi bebas. Terus ketahuan kepala stasiunnya, namanya Roolvink. Dia tahu saya pengarang. Lalu dia mendekati saya dan menjadi sahabat saya. Jadi alami. (Hal demikian) Terus tumbuh di tempat yang subur. Sudah menjadi jalan (kehidupan). Kalau Tuhan tidak menghendaki, saya gak akan (bekerja) ke Garuda. Iya, to?. Lagian, (saat itu) kok berani mengirim surat (lamaran kerja) ke Garuda, karena saya gak mau menjadi beban Paman saya lagi, namanya Iman Sudjahri, karena kakak laki-laki saya sudah disekolahkan juga oleh dia,”

“Bagaimana cara ibu untuk terus konsisten pada sikap hidup yang ibu jelaskan diatas yang seperti diketahui ibu cukup lama tinggal di luar negeri?”
“Akar. Karena akar Jawa-nya kuat. Saya tumbuh di Jawa. Saya selalu mendengar gamelan, malah pernah belajar gamelan sendiri dari kecil. Kalau ada wayang kulit mesti diantar Bapak naik sepeda, goncengan, ke kampung dimana ada wayang mentas. Lalu kemudian (nonton) wayang orang juga, walaupun jauh dari rumah kalau anak-anak sehat dan ada rezeki itu hiburan atau hadiah dari bapak-ibu nontong wayang atau bioskop. Di bioskop yang disukai Tarzan dan bioskop-bioskop Indonesia saat itu.”

“Seperti yang Ibu ungkapkan dalam Seri Kenangan  yang berjudul Padang Ilalang di Belakang Rumah bahwa Ibu dididik dengan budaya Jawa yang sangat kental oleh kedua orangtua. Seberapa jauh didikan itu turut mempengaruhi pemikiran dan kreatifitasan dalam menulis, hingga kemudian saat memiliki anak hal itu terus diturunkan meski anak-anak ibu telah tumbuh dalam kultur Barat?”
        “Nah, karena itu tadi, karena akar saya kuat. Jadi kalau saya dengan anak-anak bicara dalam bahasa Prancis terus kalau marah yang keluar bahasa Jawa semisalnya: Horotokono!—semacam eksplanasi dari “hati-hati!”, sampai anak-anak bisa bilang itu Horotokono! (Nh. Dini tertawa terbahak—Pen)
Kalau kucingnya nakal mau meloncat tapi tidak sampai, saya sebut Horotokono! Ya anak-anak ngikut. Terus kata “Aduh” itu, anak-anak kalau sakit bilangnya “Aduh”. Lalu kadang saya juga omong Jawa dengan kucing. Jadi (pelajaran) dari ibu dan bapak itu sangat kuat.

“Akar yang Ibu maksud di sini sebagai identitas?”
“Iya betul, sebagai kepribadian juga. Akar saya Jawa. Saya masih dijawil sama Rotary Kunthi untuk bagian kebudayaan karena mereka melayani exchange-student. Sebelum mereka berangkat mereka tes ini-itu. Ada sekitar 60 anak dari anak-anak tersebut, dan ada sekitar 10 orang Jawa, sisanya 50 Cina. Saya tanya sama anak-anak Cina tersebut, kalau disuruh nyanyi dari Indonesia ya mereka pilih (lagu) “Gambang Suling”. Apa tidak bosan?
Toh sekarang banyak kok, misalnya Didi Kempot campur sarinya bagus-bagus ya soal budaya itu. Kalau saya bilang anda etnis Cina, ya gak apa-apa. Saya etnis Jawa, ya gak apa-apa. Ada etnis Bugis, dan seterusnya. Tidak ada praduga apapun dalam hati saya. Tapi akar Anda itu harus ada. Kita memang orang Indonesia—etnis Cina namun tinggal di Jawa sejak lahir, misalnya, makan-minum air dari tanah Jawa. Itu jelas pegangannya. Tolong akar anda itu pilih, karena itu jati diri kita. Bagaimanapun saya orang Jawa, dan saya Islam-Jawa.”

 “Seperti yang Ibu ungkapkan dalam sebuah wawancara yang saya temui dalam kliping, Ibu menyatakan bahwa Ibu sangat terpengaruh dengan lakon-lakon wayang.”
“Wayang itu gudangnya filsafat. Kalau orang belajar menjadi dalang itu orang harus bisa menembang, harus bisa omong orang laki-laki begini, raksasa begini—jadi itu kreatifitas tersendiri bagi dalang. Lah, yang namanya Antawacana itu kalimat-kalimat yang diucapkan dalam bahasa Jawa yang penuh resapan. Dia bisa memainkan raksasa lalu juga Kresna. Kresna itu dewa yang menjadi manusia, lalu Semar itu pelayan tapi dia reinkarnasi dari dewa Siswoyo jadi dia itu pintar, ajaib. Dalang itu filsafat melulu isinya—jadi lakon wayang itu jangan sampai hilang, apalagi cahayanya, nurah, karena ada filsafat Jawanya.”

”Dan hal itu mempengaruhi hidup Ibu dan juga dalam menulis?”
        “Selalu. Nama saya saja sudah ‘Nur’, Nurhayati—jadi jika teman-teman punya (titel) Drs. atau apa,  saya punya ‘Nh.’ Ojo (jangan) hilang. Iya, to?”

“Ibu masih menulis hingga hari ini?”
“Masih. Saya selalu dan akan terus menulis.”—

Wawancara itu akhirnya selesai. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 lewat beberapa menit—artinya kami sudah berbincang lebih dari 4 jam. Semua pertanyaan diajukan oleh Raisyah—meskipun saya tahu, wawancara tersebut bergerak jauh dari draft pertanyaan yang dibuatnya. Petanda bahwa wawancara tersebut berjalan menyenangkan dan sesuai harapan. Apa yang tertuang di atas tidak lebih dari seperempat dari total pembicaraan.
Di sela-sela perbincangan, Nh. Dini selalu mempersilakan kami untuk menyambih buah apel, kue cokelat dan minum yang disediakan. Nh. Dini mengajak kami melihat koleksi tanaman hasil tangan-dinginnya. Kami berjalan ke halaman belakang kamarnya. Di sana kami melihat deretan tanaman beragam jenis—mayoritas tanaman bunga. Nh. Dini menjelaskan jenis tanaman tersebut satu persatu. Saya hanya manggut-manggut, sok mengerti. Raisyah makin kesemsem—ia bercerita kepada Nh. Dini bahwa Ibunya juga gemar merawat tanaman. “Ibu seperti ibu saya,” kata Raisyah. Nh. Dini tampak senang mendengarnya. Saya hanya cengengesan.
Sejujurnya saya hanya mendengar Nh. Dini—dalam artian metafora atau harfiah. Metafora, karena memang saya tidak membaca karya-karya Nh. Dini secara tekun dan seksama. Saya lebih banyak mendengarkan Raisyah menceritakan karya dan sosok Nh. Dini, terutama perihal keperempuanan—yang menjadi fokus penelitiannya. Hal ini memaksa saya membaca Nh. Dini dan buku-buku perihal perempuan (saya enggan menyebutnya feminisme). Karena bukan menjadi pokok perhatian—meski berkelindan dengan pokok gagasan penelitian—saya acuh tak acuh. Harfiah, karena memang di hadapan Nh. Dini, saat wawancara, saya tidak sekalipun mengajukan pertanyaan atau ikut bagian dalam perbincangan. Pertama, karena saya khawatir merusak draft dan alur pertanyaan yang sudah disusun. Kedua, karena tugas utama saya ialah memastikan alat perekam bekerja dengan baik.
Bajinguk, kan?
Tidak apa-apa. Toh, dengan mendengar Nh. Dini saya mengetahui bahwa menjadi perempuan itu tidak mudah. Apalagi menjadi perempuan yang memilih untuk menulis dan terus menulis. Omong-omong, selain Nyai Ontosoroh-nya Pramoedya—melalui Nh. Dini pandangan tentang idealisasi seorang perempuan dalam benak saya terbentuk. Di titik itu, saya menghaturkan terima kasih dan Al-Fatihah kepadanya. Saya yakin abu jenazahnya diterima alam dan Tuhan. Juga karya-karyanya senantiasa dibaca umat manusia, selama kaum perempuan masih mengalami penindasan.[] @cheprakoso

Jatikramat, Desember 2018

Komentar

Postingan Populer