PANENKA DI SANDIKTA
PANENKA DI
SANDIKTA
Antonin Panenka saat melakukan tendangan pinalti ala Panenka pertama kali, 1976
Koleksi: Today News
|
JANGAN lekas tertawa saat melihat foto
terlampir. Meski kau tahu, menurut buku tatacara memberi nasihat, itu cara penyampaian
yang keliru. Yang benar ialah ‘Biasa
saja, Tolol!’.
Konon, masih menurut buku yang saya lupa judul
dan kelewat malas mengingat penulisnya, pikiran kita cenderung mengabaikan kata
“tidak” atau “jangan” atau kosakata negatif lain yang semacam itu. Sebab foto
itu terlampau jelek dan enggak instagramable-bingits. Jadi saya bingung harus bagaimana agar kau tidak acuh
terhadap foto dan fokus pada apa akan saya sampaikan.
Itu gol ala
Panenka Zinadine Zidane pada laga final Piala Dunia 2006 melawan Italia. Pada menit
5 Malouda dijatuhkan Materazzi. Wasit meniup pluit dan menunjuk titik putih.
Zidane maju sebagai eksekutor—berhadapan dengan penjaga gawang terbaik saat
itu, Gianlugi Buffon.
Tendangan pinalti ala Panenka pertama kali diperkenalkan oleh Antonin Panenka, tentu saja, pesepakbola asal Cekoslowakia, pada laga final Piala Eropa 1976. Panenka
melakukan sebuah tendangan pelan ke tengah gawang, bola meluncur pelan setelah
Panenka menendangnya dengan kaki bagian dalam—hal ini membuat kipper Jerman
Barat, Sepp Maier, terkecoh.
Kau tahu, menendang pinalti dengan teknik Panenka
di laga penting sebuah hajatan sepakbola terakbar di dunia yang jutaan pasang
mata memandangmu—serta di hadapanmu berdiri seorang penjaga gawang terbaik
dunia, Buffon, bukanlah hal yang mudah.
Zidane terlihat begitu tenang dan percaya diri.
Ia menendang dengan kaki bagian luar, dan bola meluncur ke sudut kiri Buffon
yang meloncat ke arah sebaliknya.
Saat itu saya nobar bersama keluarga di rumah.
Saya kegirangan melihat gol itu. Jagoan saya saat itu unggul 1-0. Dan saya rasa
itu gol yang keren. Meski di akhir pertandingan
Perancis kalah adupinalti, dan Zidane mendapat kartu merah setelah menanduk
dada Materazzi. Saya nangis malam itu. Tapi tendangan Panenka Zidane selalu ada
di benak saya. Sekali lagi, itu gol yang keren.
Dua tahun setelah pertandingan itu, pada laga
semifinal saat melawan SMP Yatama—saat itu dihuni oleh pemain keturunan Indonesia
Timur, dari Papua, Maluku atau Flores—tim saya memperoleh pinalti di awal
pertandingan. Saya maju sebagai eksekutor. Bola saya cium dan saya letakkan di
titik putih. Bayangan tendangan Panenka Zidane kembali membuncah. Saya melihat
penjaga gawang bergerak-gerak, sesekali mencium tiang gawang, mencoba menganggu
konsentrasi saya. Bayangan Panenka Zidane semakin kuat, dan saya memutuskan
akan menendang Panenka. Gol keren, batin
saya sambil terus membayangkan Zidane.
Jebreeet..
Bola saya tendang dengan kaki kanan bagian dalam
dengan gaya Panenka. Bola meluncur ke
tengah sementara penjaga gawang melompat ke arah kanan bawah.
Gooll!!
Kami selebrasi merayakan gol tersebut. Saya
memasukkan kepala ke dalam kaos bagian bawah—sebagaimana Zidane biasa melakukan
selebrasi. Semua memberikan tepuktangan atas tendangan Panenka yang saya
lakukan. Tim saya unggul 1-0. Tapi di akhir pertandingan kami kalah 2-3. Kami
gagal masuk ke partai final.
Pada laga perebutan juara 4 melawan tuan rumah
(yang sebelumnya kalah dengan SMP Pa Vandestur). Di laga itu kami juga kalah.
Di akhir turnamen Tim saya hanya menempati peringkat 4, meski saya keluar
sebagai pencetak gol terbanyak turnamen.
Ingatan itulah yang muncul di kepala ketika saya
kembali menginjakkan kaki di hadapan lapangan Yayasan Pendidikan Kita
(Sandikta). Lapangan yang menjadi saksi 10 tahun lalu saya melakukan tendangan
Panenka. Suasana masih sama. Gawangnya sama. Cat lapangannya sama. Pagar di
belakang gawang juga sama.
“Hidup bergerak bukan dari satu waktu ke waktu
lain, melainkan dari satu peristiwa ke peristiwa lain, dari satu kenangan ke
kenangan lain.” kalimat itu saya tulis di satu cerpen.
Saya lupa judulnya apa. Sebaiknya memang enggak ingat. Omong-omong, kau tahu di
foto tersebut saya yang mana? Semoga enggak.
[] @cheprakoso
Jatikramat,
Desember 2018
Komentar
Posting Komentar