PERIHAL BUKU
PERIHAL BUKU:
Koleksi: dave-witt(dot)com |
JIKA ada yang berujar ‘Kau boleh penjara aku di
mana saja, asal kau izinkan aku membawa buku. Bersama buku aku bebas!’, jangan
percaya! Percayalah, itu sangat merepotkan.
Apalagi orang yang berujar membawa 16 peti besar
yang penuh buku kemana-mana: dari Rotterdam menuju Batavia, lalu ke Bukit
Tinggi. Kembali ke Batavia. Menuju pembuangan ke Boven Digul, lalu singgah ke
Banda Neira, dan kembali ke Batavia. Katanya selain karena penjara itu enggak asyik, tapi memiliki buku dan
tidak memiliki rak buku itu, sekali lagi, merepotkan.
Silahkan simak cerita berikut ini:
Pagi 1 Februari 1942—setelah sebelumnya tentara
Nipon menyerbu Ambon dan beberapa bom dijatuhkan dari langit kepulauan Maluku
yang tenang itu, pesawat mini MLD Catalina mendarat di sebuah teluk. Pesawat
itu sebelumnya berputar-putar di udara, di atas laut yang tenang, kesulitan
mencari tempat yang memadai untuk mendarat. Berisiknya mesin pesawat
membangunkan penduduk pulau itu yang berjumlah tidak lebih dari 7.000 orang.
Kopilot, seorang perwira Belanda, yang berawak
kurus, berlari kecil menuju rumah seorang tahanan. Rumah itu telah ditempati
sekitar 6 tahun oleh dua tahanan politik. Sementara itu, di pulau yang tenang
dan dikelilingi laut serta danau, dihuni sekitar 10 tahanan politik lainnya.
Tiba di depan rumah yang dimaksud, kopilot mengetuk
pintu. Keluar lelaki yang dimaksud. Masih mengenakan pakaian tidur, ia
mendengarkan kopilot menyampaikan maksud kedatangannya.
“Lekas, tuan!” kata copilot. “Hanya ada waktu
sekitar satu jam untuk segera pergi dari pulau ini,”
Lelaki itu, Hatta, segera menganti pakaian—tanpa sempat
membersihkan badan. Ia lekas mengepak buku-bukunya ke dalam 16 peti. Lelaki
lainnya, Sjahrir—sejawat seperjuangan Hatta—bersiap dan duduk-duduk di beranda
rumah, memikirkan sesuatu. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak
angkatnya—anak-anak yang menjadi sahabat karibnya selama 3 tahun masa
pembuangan di pulau itu, Banda Neira.
Dibantu tetangga, Hatta berjalan menuju teluk
sambil membopong 16 peti buku-bukunya. Sjahrir berjalan riang sambil
menggendong anak angkatnya yang masih berumur 3 tahun—dua lainnya berjalan
beriringan di sisi kanan-kirinya. Warga Banda Neira menyaksikan adegan itu
sambil melambaikan tangan. Banyak hal yang sudah dilewati oleh penduduk sejak 6
tahun lalu dua lelaki itu datang ke pulau tersebut.
Sesampainya di teluk, tempat di mana MLD Catalina
terparkir, muncul persoalan yang harus segera dipecahkan: ruang pesawat
terbatas. Mereka harus memilih antara 16 peti buku milik Hatta atau ketiga anak
angkat Sjahrir yang harus ditinggalkan. Kopilot dan pilot pesawat hanya
menyaksikan kedua lelaki itu berdebat—sambil terus memperhatikan waktu yang
terus bergerak di analog digital pesawat. Akhirnya Hatta mengalah. 16 peti
buku-buku—yang dikumpulkan selama lebih dari 20 tahun itu—ditinggalkan di pulau
tersebut.
Cerita itulah yang mengiung di kepala saya saban
berurusan dengan buku—bahkan saya mafhum dengan kalimat terkenal Hatta perihal
buku. Ia memang orang yang keras kepala perihal buku.
Sekarang Anda bayangkan liburan dari Jakarta ke
Semarang. Mampir dulu ke Cirebon. Bablas
menuju Yogya, dan berakhir di Bali, tentu akhirnya kembali ke Jakarta—dengan
membawa 2 koper penuh buku, alih-alih pakaian.
Bagaimana? Apakah liburanmu, dengan atau tanpa 2 koper penuh
buku, menyenangkan? Apapun, selamat liburan! [] @cheprakoso
Jatikramat, Desember
2018
Komentar
Posting Komentar