SEKOLAH


SEKOLAH
Napsck Blog | 2016 
SAYA pernah membayangkan bila di dunia ini tidak ada apa-yang-kita-sebut-sebagai sekolah—tentu sekolah yang akhir-akhir ini kita pahami, bukan sebagaimana dipahami semula. Anda tahu kata sekolah berasal dari bahasa Latin yakni scola, skhole, scolae atau schola yang seluruhnya dapat diringkus dalam kata “waktu luang” atau “waktu senggang”—pada masanya berarti waktu untuk ‘bermain’ dan ‘belajar’ seusai rutinitas dan bekerja. Tentu sangat menyenangkan.
Anda bisa bayangkan, tidak ada datang pagi dan hukuman untuk yang terlambat; tidak ada PR; tidak ada seragam; tidak ada upacara bendera; tidak ada omelan guru karena kita tertidur di jam pelajaran yang membosankan; tidak ada hukuman karena rambut gondrong.; bahkan tidak ada aturan-aturan aneh yang sulit dicerna akal sehat. Tidak ada...
Sekali lagi, tentu sangat menyenangkan.
Anda tahu ada atau tidaknya sekolah (dan rentetan jenjang lembaga pendidikan lainnya) toh dunia akan baik-baik saja. Saya menduga dunia menjadi tidak baik-baik saja karena ada apa-yang-kita-sebut-sebagai sekolah.
Bayangkan, jika sekolah tidak ada, kita tidak mengenal istilah ‘orang pintar’ atau ‘bodoh’, ‘orang rajin’ atau ‘malas’, ‘orang baik’ atau ‘buruk’, dan dikotomi lainnya. Sebab selain institusi masyarakat lainnya, sekolah ialah institusi yang mengekalkan dikotomi-dikotomi tersebut. Jika hal-hal tersebut tidak ada—dus sekolah pun tidak ada, saya menduga kita tidak akan saling curiga. Curiga, menurut saya, ialah pangkal yang kemudian kita sebut perang.
Sialnya kita meyakini persoalan akan selesai dengan apa-yang-kita-sebut-sebagai sekolah. Padahal apa-yang-kita-sebut-sebagai sekolah tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan tersebut. Sebab persoalan di dalam dirinya saja tidak bisa diselesaikan apalagi persoalan di luar dirinya.
Maka kenapa tidak kita membayangkan dunia tanpa apa-yang-kita-sebut-sebagai sekolah. Bagaimana?
Tapi, menurutku, ada beberapa hal yang membuat apa-yang-kita-sebut-sebagai sekolah itu penting. Tentu bukan karena sekolah mengeluarkan ijazah, atau sesuatu yang disampaikan guru di ruang kelas, atau tugas-tugas matapelajaran yang diberikan—itu semua bisa kau buang ke tong sampah. Tentu bila kau suka.
Bagiku yang membuat sekolah itu penting, pertama, kau jadi mafhum betapa brengseknya dunia ini. Kedua, kau bisa bertemu banyak orang dan membicarakan sesuatu hal—meski mungkin enggak penting itu perlu kau lakukan agar bisa mengelabui kesepian dan kekecewaan. Ketiga, pengalamanmu di sekolah bisa kau simpan baik-baik agar kau mafhum bahwa semua manusia itu bajingan. Tapi, catatlah, yang paling bajingan ialah mereka yang mengaku enggak bajingan. Sebagaimana anak-anak yang dicap pintar dan mengaku enggak pernah menyontek saat ulangan, padahal ia membuat contekan sehari sebelum ujian. Kan bajingan...
Jadi, jika kau ingin ijazah, sekolahlah. Tapi jika kau ingin pintar, belajarlah. Sebab tidak semua orang berijazah itu pintar sebagaimana tidak semua orang pintar itu berijazah. Hanya orang yang beruntung bisa mendapati kedua-duanya saat bersamaan. Sebagaimana tidak semua orang menikah dengan orang yang dicintainya, kan. [] @cheprakoso
Jatikramat, 2018

Komentar

Postingan Populer