WAKTU YANG MELINGKAR
WAKTU YANG MELINGKAR
Koleksi: @Sprinkles In My Lunchbox | 2014 |
BEBERAPA
hari ke depan, kalender sudah bisa kau alih-gunakan menjadi sampul majalah
dewasa, alas pakaian di almari atau diberikan cuma-cuma ke tukang
sayur—alih-alih kau sobek dan buang begitu saja.
Menyambut
liburan akhir tahun, saya sudah menyusun sejumlah kegiatan: tidur larut sambil
menonton film, bangun siang dan leyeh-leyeh di beranda rumah, menyampul buku,
mengumpulkan niat membaca buku yang sudah dibeli-tapi-belum-dibaca, hingga—ini
yang penting-merancang dan menyusun resolusi untuk tahun baru.
Resolusi
Tahun Baru harus selesai sebelum terompet, kembang api dan serba-serbi malam
pergantian tahun berlangsung. Setelah semuanya usai dan sunyi kembali, mulailah
saya membaca daftar resolusi tersebut—sambil membayangkan menjadi penyair
Rendra yang sedang membaca puisi di tahun 1970-an dengan gaya deklamasi yang
khas—kalau perlu sambil menenggak arak. Setelahnya, saya tidur. Lalu bangun
subuh untuk sembahyang dan buang hajat—kertas dimana daftar resolusi berada
saya gunakan sebagai tisu cebok. Untuk kemudian tidur lagi. Bangun sebelum
tengah hari, menyeduh kopi, leyeh-leyeh di beranda. Semua akan baik-baik saja.
Tahun baru akan baik-baik saja, dengan atau tanpa resolusi.
Apapun ini catatan akhir tahun saya. Perihal sebuah buku yang membicarakan waktu.
Apapun ini catatan akhir tahun saya. Perihal sebuah buku yang membicarakan waktu.
*
JIKA memang harus ada sebuah kenelangsaan di lembar terakhir kalender dan esok harus
menggantinya dengan kalender hadiah toko sembako langganan dimana kita kasbon,
seperti puisi-puisi murahan yang mesti ada frasa ‘senja’, ‘hujan’, dan frasa
yang menyedihkan itu, maka itulah ketidakjodohan saya dengan buku Reuni karya Alan Lightman yang
diterjemahkan penulis cermelang pemenang Khatulistiwa Literary Award (KLA)
2016, Yusi Avianto Paraenom, dan diterbitkan oleh penerbit asuhannya sendiri,
BaNANA—dengan satu dan lain alasan, yang sebetulnya berpangkal pada nihilnya
uang akhir tahun, begitulah....
Tampaknya
Reuni ialah buku, yang bila membaca
potongan-potongan yang diser oleh Paman Yusi di akun Pesbuknya, sangat
menjanjikan sebuah kesenangan. Silakan lihat kulit wajah buku tersebut. Apa yang
berkelebatan di kepalamu melihat kulit wajah buku se-tampan itu, selain janji
sebuah pengalaman-membaca yang menyenangkan?
Jika
Anda masih beranggapan bahwa ‘melihat buku jangan dari cover-nya’, saya akan
senang hati mendoakan Anda lekas sembuh dari penyakit kotok ayam dan dapat
segera membedakan antara buku ‘asik dan perlu dibaca’ dengan buku yang pantas
dijadikan bahan baku pembuat jalan raya.
Memang,
tak semua ‘ingin’ lekas terpenuhi, seperti tak semua berahi tersalurkan, itulah
mengapa Tuhan memperkenalkan masturbasi, terlebih perihal buku dan bacaan.
Reuni
adalah karya fiksi ketiga Lightman, setelah karya pertamanya yang membuat
sembilu pembaca, yakni “Mimpi-mimpi Einsten” (1999) tentang waktu yang
melingkar, dan manusia selalu mengulangi kepandirannya tanpa perubahan sedikit
pun.
“Bagaimana
gerangan mereka tahu bahwa tiap kerlingan rahasia, tiap sentuhan, akan terulang
lagi tanpa henti, persis sebelumnya?” tulis Lightman. Sialnya, kalimat itu
memburu saya tiapkali tergoda dengan kata ‘resolusi’ (mental).
Baiklah.
Saya harus berdamai. Saya akan menyambut tahun baru dengan membaca Mimpi-mimpi
Einsten, dan berdoa saya akan berjodoh dengan Reuni, kelak tentu saja, dan
legowo bila resolusi yang saya susun melingkar bersama waktu.
Apa
boleh bikin. Belum rezeki.
*
MOMEN pertama saya membaca Mimpi-mimpi Einsten
karya Alan Lightman ialah pada sebuah kereta-komuter dari stasiun Bekasi ke
Cisauk, Tanggerang. Saya ingat, ketika itu saya membacanya dengan kondisi
laiknya situasi transportasi umum negeri ini: berdesakan dan berhimpitan dengan
penumpang dalam posisi berdiri, dan sesekali duduk ketika suasana gerbong
lengang, dan kembali berdiri bila kiranya ada penumpang lain yang membutuhkan.
Anda
tahu, kondisi itu mempengaruhi proses pembacaan saya. Cerita perenungan tentang
waktu yang dikisahkan buku tersebut saya resapi dimana realitas di hadapan saya
ialah manusia-manusia yang digerakkan oleh waktu mekaniknya—Lightman
menjelaskan, waktu mekanik ialah waktu yang ‘kaku’ dan ‘serupa pendulum besi
raksasa yang berayun maju-mundur’ (hlm. 16)—saya bisa mengatakan itu karena
gerak-gerik mereka seperti diburu entah-oleh-apa, yang khas masyarakat urban,
dan itu mengingatkan saya tentang karakteristik masyarakat Indonesia (modern
yang masih terikat dengan tradisionalitasnya) menurut Saya Sasaki Shiraishi
dalam Pahlawan-pahlawan Belia—memangada beberapa orang yang saya lihat mencoba
mengalihkannya dengan sibuk pada gawai dan earphone yang menyumpal ke
telinganya.
“Setiap
orang berjalan sendiri, karena kehidupan masa silam tidak pernah bisa berbagi
dengan masa kini. Setiap orang melekat pada satu waktu, melekat sendiri.” tulis
Lightman (hlm. 47), dan saya membaca kalimat itu dengan realitas tersebut, dan
saya juga bagian dari realitas itu, dan saya menghayatinya.
Saya
sampai di Cisauk, dan bergumul dengan teman-teman, apa yang saya hayati tadi
lamat-lamat di kepala saya.
Dan
saya kembali ke Bekasi keesokan harinya, dan saya memanggil kembali yang
lamat-lamat di kepala saya itu. Kini saya menikmati kalimat yang disusun buku
itu, sungguh menakjubkan. Penuh kejutan dengan kalimat dan penggambaran yang
dibangun. Bercerita tentang Swiss di awal tahun 1900-an dan hasrat seorang
intelektual untuk memecah sebuah misteri kehidupan—misteri itu adalah waktu,
dan terpendar melalui mimpi-mimpinya yang berkelebatan. Saya terbantun ke
dalamnya, meski saya tetap awas terhadap situasi di mana saya membacanya:
Jakarta abad ke-21 dan lebih tepatnya di lambung sebuah gerbong kereta-komuter.
Hal
ini membikin saya kurang menghayati ‘waktu yang melingkar’ Lightman—waktu yang
melingkupi dan lolos bersamanya. Sebab “Inilah dunia impuls. Dunia kesungguhan
hati.” tulis Lightman. Anda tahu, waktu di dalam lambung kereta-komuter ialah
waktu yang bergegas ke depan. Mungkin frase ‘Hari esok adalah milik kita’
menggambarkan apa yang saya maksud. Saya tidak yakin. Kondisi tubuh yang lelah
membuat sepanjang perjalanan—yang saya selingi dengan lelap karena
kantuk—membuat saya kurang fokus dengan kalimat yang disusun mengejutkan, dan
luput dengan simpul waktu dalam cerita tersebut.
Hingga,
di jam-jam beralihnya tahun 2016 ke 2017, Anda tahu, saya kembali membaca
Mimpi-mimpi Einsten—karena saya tidak berjodoh dengan Reuni Alan lightman yang
tengah beredar itu.
“[...]
jika membaca adalah perjalanan-tanpa-jalan-pulang, maka membaca-ulang sebuah
buku yang pernah kita baca sebelumnya adalah sebuah perjalanan atas pengharapan
cerita yang lain: seperti seorang flaneur yang berkelana di tempat yang sama
pada waktu yang berbeda,” tulis saya tempo hari. “Saya harus katakan bahwa
membaca-ulang, bagi saya, adalah sejenis permainan antara ingatan dan kenangan
yang kerap melingkupi perjalanan literer saya: antara yang-di dalam buku/teks
dan yang-di luar buku/teks.”
Jadi,
sebagaimana saya tulis di atas, kondisi pembacaan selalu menentukan pembacaan
itu sendiri. Itulah mengapa saya senang membaca-ulang sebuah buku.
Dalam
hal Mimpi-mimpi Einsten, saya mencecap satu hal yang luput di pembacaan saya
yang pertama. Yakni waktu yang melingkar.
Saya
takjub dengan kalimat berikut: “Andaikan waktu adalah soal kualitas, dan bukan
kuantitas, seperti cahaya malam yang menaungi pepohonan, saat bulan naik dan
menyisiri garis-garis pohon. Waktu hadir, tetapi tidak bisa diukur.” (hlm. 93).
Sehingga “Beberapa orang berusaha melakukan kuantifikasi terhadap waktu, demi
mengurai waktu, membedah waktu. Mereka berubah menjadi batu.” (hlm. 96).
Olehnya
keabadian adalah sebuah lelucon. Anda perlu menimpuk orang yang berujar ingin
‘Hidup seribu tahun lalu’ dengan sepatu boots. Anda tahu, “Tak seorang pun
merdeka. Seiring waktu, orang berkeyakinan bahwa satu-satunya jalan agar dapat
menempuh kehidupan milik sendiri adalah dengan kematian.” (hlm. 92).
Betul,
ada nuansa nihilisme di sana. Novel ini memang merajut antara optimisme dan
syak-wasangka dalam perkara waktu di hidup manusia.
Sial
bagi saya, membaca ini di detik-detik pergantian tahun. Takhayal, membikin saya
menyeret segala yang sudah saya lakukan selama satu tahun ini. Sebagai sebuah
cermin untuk mengetahui diri sendiri sudah di pagan yang mana, dan akan ke
pagan yang mana lagi sebagai capaian di tahun berikutnya. Orang-orang menyebut
itu resolusi (mental)—Anda pun tahu, tidak sedikit orang yang akhirnya resolusi
itu sebagai tisu cebok di akhir tahun nanti. Dan itu wajar saja, memang. Berapa
banyak tenggat yang kita buat untuk akhirnya kita langgar juga? Biasa saja...
Yang
tidak biasa buat saya ialah tiba-tiba ada yang menabrak saya. Bukan
sesuatu-benda atau seseorang, bukan juga hal-hal gaib dan klenik. Tetapi
sesuatu rasa yang memaksa saya untuk menuliskan catatan akhir tahun ini. Rasa
yang membuat saya getun dan ingin mencium kaki dan mencuci telapak kaki ibu
saya. Di titik ini saya senang dengan larik puisi GM di tahun 1971; “Tuhan,
kenapa kita bisa bahagia?”
Selamat
tahun baru.. semoga lekas klir apakah bumi itu datar atau persegi panjang...[]@cheprakoso
Jatikramat,
akhir 2018.
Komentar
Posting Komentar