KISAH CINTA MILENIAL XI
KISAH CINTA MILENIAL XI
Kredit Foto: Francise Direct |
SERATUS
DUA PULUH DUA menit yang lalu kamu duduk di hadapanku saat pesanan belum juga
datang. Wajahmu tampak resah dan memikirkan sesuatu. Kuku jari telunjukkmu yang
panjang mengetuk meja kayu. Gawai di sisinya, menyala dan tampak beberapa
pemberitahuan masuk ke dalamnya. Dan mengabaikannya.
Kamu
seperti orang yang telah menunggu selama seribu tahun lamanya. Aku tersenyum
dan hanya bisa menunggu: kudapan lekas datang dan kamu mulai bercerita.
Delapan
menit setelahnya dengan posisi topi yang miring pelayan datang dengan nampan
kayu berbentuk lingkaran. Satu cangkir es kopi susu. Satu gelas besar soft drink. Satu wadah bambu kentang
goreng bumbu keju. Satu botol 250 ml air mineral. Kamu tersenyum sinis ke
pelayan itu saat usai menata kudapan di meja. Terima kasih banyak, kataku
kepada pelayan. Ia tersenyum dan berlalu.
Kamu
menatapku dan menyomot kentang goreng sambil menuang saus cabai ke wadah kecil
yang tersedia.
“Cerita
apa yang harus kudengar sehingga kau mengajakku menunggu kentang goreng selama
hampir satu jam pada pukul 1 pagi, Karen?”
Kamu
tertawa mendengar pertanyaanku. Meski wajahmu masih menampakkan keresahan. Kamu
menyocol kentang goreng ke saus cabai. Aku belum menyentuh es kopi susu
pesananku.
“Jadi
kamu merasa keberatan menemaniku malam ini?”
“Boleh
kuralat? Ini bukan malam tapi pagi,” kataku dengan memberi penekanan
pada kata ‘malam’ dan ‘pagi’. Tawamu malah semakin keras.
“Ini
alasanku mengapa kau kuhubungi jam 12 tadi,”
“Maksudnya?”
Tidak
langsung menjawab, kamu menyedot soft
drink seperti telah berpuasa selama delapan windu. Langsung tersisa
setengah gelas. Bibirmu basah oleh bulir soda. Kamu mengelapnya dengan punggung
tangan.
Seratus
sepuluh menit yang lalu kamu mulai bercerita. Aku mendengarkan seperti murid
taman kanak-kanak—tanpa komentar dan pertanyaan untuk menyela ceritamu.
Mendengarnya
aku malah teringat pertama kali mengenalmu. Dan, menyedihkannya, saat itulah
aku mulai jatuh cinta kepadamu.
Saat
itu kamu baru saja pentas di aula M. Aku duduk di kursi penonton. Aku datang
atas undangan salah satu teman yang menjadi tim produksi pentas teater.
Penampilanmu di pentas teater itu memang bagus. Kamu memerankan seorang bisu
yang mencatat semua kejadian di sebuah peperangan. Di akhir cerita kamu tewas
karena tembakan, dan buku catatanmu ditemukan oleh seorang prajurit dan
menyimpannya. Tirai pentas diturunkan setelah prajurit tersebut menerbitkan
catatanmu saat situasi kembali damai. Cerita itu akan menjadi picisan bila
tidak didukung oleh aktingmu yang memukau.
Kamu
masih mengenakan kostum pentas ketika pacarmu, Si K, datang dan langsung
memelukmu. Kalian berciuman. Melihatnya aku cemburu. Meski sebelumnya aku sama
sekali tidak mengenalmu. Temankulah yang kemudian mengenalkanmu kepadaku.
“Kamu
mendengarkan ceritaku kan Rob?”
“Apa?”
“Kamu
melamun. Kamu malas mendengar ceritaku?”
“Tentu
saja tidak. Aku hanya berpikir,” aku berbohong kepadamu. Aku memang melamun.
Tepatnya melamunkan pengalaman pertama kali kita bertemu di Aula M.
“Berpikir
tentang?”
Aku
tidak lekas menjawab. Aku hanya memandangmu. Soft drinkmu sudah tandas. Es kopi
susuku masih penuh. Bulir-bulir tampak di sekujur gelasnya.
“Apa
yang kamu pikirkan, Rob?”
“Aku
memikirkan bagaimana bisa kamu menjalankan hubungan selama 7 tahun dengan
lelaki brengsek seperti itu? Dan kamu tahu, ini bukanlah kali pertama kamu
menceritakan kebrengsekkan lelaki itu.”
Entah
bagaimana kalimat itu keluar dari mulutku. Kamu seperti tidak percaya
mendengarnya. Kamu menoleh dari tatapanku. Kamu berusaha untuk tidak menangis
di hadapanku.
“Sorry, Karen. Aku tidak bermaksud
melukai hatimu. Mendengar ceritamu kali ini, aku hanya memiliki kata ‘brengsek’
untuk apa yang sudah dilakukan pacarmu kepadamu. Sorry,”
“Kamu
tidak perlu meminta maaf. Mungkin kamu benar, Rob. Ia memang brengsek, dan aku
belum siap bila lelaki yang sudah bersamaku selama 7 tahun adalah brengsek.”
“Sorry, Karen.”
Kamu
berdiri dan memindahkan kursi di sampingku. Duduk dan meletakkan kepalamu di
bahuku. Sembilan puluh menit yang lalu aku mendengar isak tangis dan bahuku
basah olehnya. Aku mencoba menenangkanmu dengan menepuk-nepuk punggungmu.
Isakmu makin keras dan air di bahku semakin deras.
Delapan
puluh tiga menit yang lalu aku meminta tisu tambahan kepada pelayan. Tisu
kuberikan kepadamu. Kamu mengusap matamu yang basah dan merah. Kamu kembali
berdiri dan memindahkan kursi di hadapanku.
“Supaya
enggak jadi enggak penting-penting amat,
ya…” kataku kepadamu sambil cengengesan berusaha menghiburmu.
Kamu
hanya tersenyum. Aku pernah menceritakan kepadamu sebuah film yang berjudul ‘On
Front’; tentang seorang lelaki petualang seks yang hampir tidak pernah mengajak
perempuan kencannya duduk berhadap-hadapan. Saat mendengar cerita tersebut kamu
tersenyum dan tidak percaya—apalagi saat aku selalu mengelak untuk memberikan file film tersebut. Aku ingin
menontonnya, katamu. Kamu menuduhku membual. Saat itu aku hanya cengengesan. Aku
tidak membantah atau membenarkannya. Saat itu tawamu makin keras. Dan akupun
berharap begitu pada delapan puluh menit yang lalu.
“Bagaimana
dengan Katrine, Rob?” katamu kepadaku tiba-tiba.
“Aku
tidak tahu. Kurasa dia enggan memiliki pasangan yang lebih asik tidur-tiduran
dan nonton film di rumah ketimbang
bermacet-macetan di malam Minggu.”
“Bukannya
kalian datang bersama pada acara Film Amerika Latin bulan lalu?”
“Memang.
Tapi sepertinya dia tidak nyaman. Ia lebih suka nonton film superhero ketimbang film-film eksperimental enggak jelas gitu…”
Kamu
tertawa sampai pundakmu terguncang. Seolah air matamu tidak pernah jatuh
beberapa menit sebelumnya. Keceriaan dan keluwesan itu yang membuatku
mencintaimu, Karen, kataku kepada diri sendiri. Aku senang melihatmu tertawa
riang.
Tujuh
puluh dua menit yang lalu kamu menggenggam tanganku. Kamu tersenyum kepadaku. Aku
menatapmu. Ponimu. Keningmu. Matamu. Hidungmu. Kumis tipismu. Bibirmu. Dadamu.
Tanganmu yang menggenggam tanganku. Aku berdoa, agar kamu berpisah dengan
pacarmu dan kamu menjadi pacarku.
“Terima
kasih, Rob…”
“Untuk
apa?”
“Kamu
teman yang baik.”
“Maksudnya?”
“Apanya
yang maksudnya, Rob?”
Aku
tidak siap mendengar pertanyaan balikmu. Kamu melepas genggamanmu. Dan kamu
masih tersenyum.
Satu
jam yang lalu aku menyesal karena berdoa hal yang buruk untuk orang yang sedang
didera kesedihan. Aku merasa menjadi orang picik. Kamu mencintai pacarmu adalah
satu hal, dan pacarmu merupakan lelaki yang brengsek adalah hal yang lain. Dan
aku mencintaimu bukanlah hal apapun bagimu. Ia masalah bagiku.
Aku
tidak lagi menatapmu. Aku berusaha membuang jauh-jauh pikiran bahwa kamu akan
berpisah dengan pacarmu. Karena aku merasa telah menjadi teman yang tidak baik.
“Rob?”
“Ya,
Karen?”
“Pertemanan
kita sudah berjalan lebih dari 5 tahun.”
“Kamu
menghitungnya?”
“Tentu.
Apa yang membuatmu tetap berteman denganku? Bukankah aku teman yang sering
menyebalkan dan egois?”
Karena
aku mencintaimu, Karen, tapi itu hanya kukatakan di dalam hati, sekali
lagi—entah untuk yang keberapakalinya selama lima tahun terakhir ini.
“Rob,
kamu lebih banyak diam pagi ini. Kamu bosan mendengar cerita-cerita dramaku?”
“Tidak.
Aku hanya ngantuk,” Tentu aku
berbohong. Kamu tahu aku biasa tidur menjelang azan subuh. Dan aku telah
berbohong kepadamu menjadi teman yang
baik dengan mendengar semua cerita-ceritamu selama lebih dari 5 tahun.
“Baiklah.
Mari kita pulang saja. Terima kasih sudah mau mendengar ceritaku malam ini.
Mohon maaf mengganggu di hari yang larut ini, Rob.”
Aku
hanya tersenyum dan memanggil pelayan untuk membawa tagihan pesanan kami.
“Aku
tidak tahu bila tidak memiliki teman sepertimu, Rob.”
Pelayan
datang dengan nampan kecil yang di atasnya terdapat selembar kertas berisi
daftar pesanan dan nominal harga yang harus kami bayar. Kamu mengeluarkan
sejumlah uang dari dompet, namun pelayan lebih dulu menerima uang dariku dan
bergegas. Ambil saja kembaliannya, kataku kepada pelayan.
Empat
puluh satu menit yang lalu kamu berjalan di sampingku keluar dari kedai itu.
Kamu menggandeng tanganku. Aku mengantar sampai lokasi parkir mobilmu.
“Jangan
bosan mendengar cerita-ceritaku yang gitu-gitu
aja, Rob.” Katamu sesaat sebelum masuk ke dalam mobil. Aku, sekali lagi,
hanya tersenyum. Dan harus menyimpan rasa cintaku kepadamu—meski sudah lima
tahun lamanya.
Tiga
puluh enam menit yang lalu mobilmu melaju dan aku masih berdiri sambil
melambaikan tangan. Aku mengeluarkan gawai dari saku celana dan waktu
menunjukkan pukul 3 lewat 24 menit. Aku meloloskan sebatang rokok dan lekas
membakarnya. Lalu menghisap dalam-dalam beberapa kali, dan menghembuskannya.
Asap memenuhi penglihatanku.
Aku
menatap lama layar gawaiku. Kubuka aplikasi Whats’up
dan kucari kontakmu. Tampak foto profilmu bersama pacarmu; Si K memelukmu
di antara pohon Natal, kalian mengenakan topi Santa. Ibu jariku mengetuk gambar
telepon. Layar gawai menampilkan Memanggil…
beberapa waktu. Lalu berdering… aku
mendengar suara di ujung gawai itu dua puluh satu menit yang lalu.
“Rob,
maafkan aku,”
“Tidak
masalah. Kamu akan bahagia dengan pacarmu,”
“Aku
mencintaimu sebagai sahabat,”
“Aku
tahu, Karen. Sialnya aku mencintaimu sebagai lelaki yang membayangkan memiliki
perempuan yang mencintaiku dalam menjalani hari-hari ini,”
“Dan
perempuan itu adalah kamu,” kataku—memotong suaramu yang entah ingin
mengucapkan apa.
“Rob,”
itu kalimat terakhirmu di sambungan telepon-Whats’up
sebelas menit yang lalu. Kemudian aku memencet gambar telepon berwarna
merah.
Sebagaimana
lelaki yang menapaki setiap jengkal yang sudah dilalui dengan mistar, aku
membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk menghapus semua riwayat percakapan
dan foto bersamamu. Aku merasa menjadi planotolog yang gagal. Kemudian kublokir
kontakmu, berharap kenangan terkunci malah sebaliknya. Aku disergap melankolia
dua jam lewat dua menit yang lalu. []
@cheprakoso
Wibawa Mukti, Akhir
Februari 2019
Komentar
Posting Komentar