KISAH CINTA MILENIAL

KISAH CINTA MILENIAL

Credit: Jotform(dot)com

“KAMU kenapa, sih? Maksudku, mengapa sepanjang jalan kamu menangis?”

“Tidak apa. Aku baik-baik saja. Aku hanya bingung.”

“Kenapa bingung?”

“Aku bingung dengan perasaanku. Aku bingung harus bahagia atau sedih,”

“Tentu aku akan bahagia jika kamu bahagia. Begitupun dengan sedih,”

“Begitupun dengan sedih?”

‘Tentu, sayang.”

“Baiklah. Aku sedih,”

“Ayolah, sayang. Kau tahu, aku selalu berusaha menjadi pendengarmu yang baik. Ceritakanlah,”

“Apa lagi yang harus diceritakan sih? Kita sudah melakukannya di malam itu. Kau ingat kan? Kita melakukannya di kamar indekostmu sepulang aku kerja malam. Tentu kau ingat.”

“Maksudmu?”

“Apa yang kaumaksud dengan ‘maksudmu’?”

“Ayolah. Sayang, aku bukan cenayang yang bisa tahu apa yang kaupikirkan tanpa kau mengatakannya.”

“Tentu. Kau bukan cenayang. Dan aku bukanlah perempuan yang menopause.”

Mereka terdiam sejenak saat pelayan datang dan tersenyum dan menaruh daftar menu di meja. Pelayan berlalu. Mereka melanjutkan pembicaraannya.

“Aku hamil! Kamu tidak perlu menjadi cenayang untuk sekedar mengetahui bahwa aku hamil kan Nolan!”

“Kau hamil, Sharah?”

“Kucing tetanggaku saja hamil bila pejantan mengeluarkan spermanya di dalam. Apalagi di masa subur. Apalagi aku, hah?”

Saat Nolan ingin mengucapkan sesuatu untuk meredakan kemarahan dan isak Sharah pelayan datang dengan pensil dan kertas pencatat pesanan. Nolan memesan cokelat panas dan Sharah jus alpukat tanpa es dan gula dan susu.

“Juga satu porsi kentang goreng bumbu keju,” kata Nolan kepada pelayan. Pelayan mengulangi pesanan mereka seperti suara otomatis sebuah mesin. Lalu berlalu sambil mengucapkan pesanan datang tidak lebih dari 5 menit.

“Kau tidak meragukan bahwa janin yang kukandung bukanlah darah dagingmu kan?”

“Maksudmu?”

“Maksudku kau bukanlah lelaki brengsek sekaligus pengecut kan?”

“Sayang,”

 Lalu musik terdengar cukup keras. Mengalun lagu Let it be karya The Beatles yang diaransemen-ulang oleh seorang penyanyi perempuan-entah-sesiapa dengan hanya menggunakan piano.

Kau berada di kursi di belakang lelaki yang kaudengar bernama Nolan tersebut. Artinya Nolan duduk memunggungimu. Karena itu kau bisa melihat jelas Sharah menangis. Ketika mereka datang kau duduk menatap layar laptop yang belum menyala sepenuhnya. Kau tahu tidak tersedia banyak hal yang bisa kau lakukan ketika menunggu laptopmu menyala sepenuhnya. Mengetuk jari di meja atau bersiul ialah kegiatan yang bisa kau lakukan sambil menunggu laptopmu menyala sepenuhnya.

Tentu aku boleh menuduhmu seorang pencuri-dengar obrolan orang lain. Dan kautahu itu perbuatan tidak baik, tentu saja—sebagaimana guru mengaji mengajariku dulu. Tapi karena itulah akhirnya aku menuliskannya. Setidaknya, entah kau mendengar dari sesiapa, katamu; sebagaimana rezeki dosa juga harus dibagi-bagi.

Tapi, omong-omong, katamu kepadaku saat tawaku belum usai mendengar humor gelapmu, sejak kapan hamil merupakan perbuatan yang berdosa? Lalu mengapa ia merasa sedih? Entah kenapa aku lekas teringat seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki yang kelak menjadi salah satu manusia pilihan Tuhan tanpa sekalipun selaput-daranya ditembus oleh laki-laki.

Tangan mereka saling berpegangan saat pelayan datang membawa nampan bundar berisi pesanan; satu gelas cokelat panas dan jus alpukat dan satu keranjang-kayu kecil kentang goreng dengan taburan bubuk keju. Sharah tidak lagi menangis, tapi ada gurat aneh di wajah Nolan. Kau tidak bisa menduganya. Pesananmu belum juga tiba setelah lebih dari 20 menit pelayan mencatat pesananmu.

Pelayan melirik ke arahmu, dan tersenyum. Aku menyeruput kopi susuku.[] @cheprakoso

Jatikramat, Februari 2019