KISAH CINTA MILENIAL XIV
KISAH CINTA MILENIAL XIV
Kredit: Kompas Tekno |
“KENAPA
kau bersungut?”
Menoleh
ke arah datangnya suara, kembali menatap layar gawai. Dengan satu gerakan alis
dan mata dan pundak seolah berkata Aku
baik-baik saja…
Hujan
pertama di bulan Desember. Beranda rumah. Meja kayu berbentuk bundar. Satu
cangkir kopi hampir tandas dan satu botol besar berisi air mineral tinggal
setengah. Dua pasang kursi menghadap ke taman. Sebuah lampu taman temaram.
Sebuah pohon delima yang rimbun dan beberapa tanaman hias. Basah. Hujan belum
akan reda.
“Kau
ikut Papi atau Mami?”
Dengan
ekor mata, kau kembali menoleh ke sumber suara. Ia berdiri persis di depan
pintu yang terbuka setengah. Raut wajahnya tampak lelah dan menanggung kesedihan. Kau
hanya tersenyum dan seperti enggan membicarakannya. Matamu kembali menatap layar
gawai.
Setelah
menarik kursi, ia duduk di sampingmu—menatap lampu taman yang kehujanan. Azan
mulai melantun. Beberapa saat kalian disergap diam.
“Papi-Mami
akan berpisah. Minggu ini Papi akan menghadap Romo Benny untuk mengajukan
Pembatalan Nikah. Setidaknya perlu 1 bulan untuk proses pengajuannya. Sebagai
anak yang paling tua seharusnya kau berbuat sesuatu untuk keluarga. Itu pun
bila kau masih mengganggap kita ini keluarga,”
Penekanan pada kata ‘keluarga’ membuat rahangnya bergetar. Kelopak mata menahan
sesuatu yang sepertinya akan tumpah.
Tempias
hujan membasahi lantai beranda. Kalimatnya juga membuatmu, suka-tidak-suka,
harus memikirkannya—minimal mendengarnya.
Kau
meletakkan gawai di atas meja. Video yang kautonton masih berputar. Kau tak
mengacuhkannya. Melepas kacamata dan meletakkannya di sisi cangkir kopi. Tangan
kananmu menggapai cangkir kopi tersebut.
“Lalu?”
Hanya
itu kalimat yang keluar dari mulutmu. Lalu menyeruput cangkir kopi di tangan
kananmu.
“Apa
yang kau maksud dengan lalu?”
“Maksudku
apa yang bisa dilakukan anak ketika orang tua mereka harus berpisah?”
“Setidaknya
kau berusaha agar mereka tidak berpisah. Kau anak tertua,”
“Indigo
anak tertua. Bukan aku.”
“Indigo
sudah meninggal. Kau anak tertua,”
Kau
hanya tersenyum. Meskipun kau tampak ingin mengatakan sesuatu.
Indigo
adalah kakakmu. Namun ia sudah meninggal dunia 17 tahun yang lalu. Ketika kau masih berumur 9 tahun. Kini kau
anak ‘pertama’, dan ia, perempuan yang kini duduk di kursi sebelahmu adalah
adikmu satu-satunya.
Kau
sudah menduga bahwa Papi dan Mami akan berpisah. Bahkan sejak kau masih sekolah
menengah atas dan adikmu masih balita. Saat itu Papi menginginkan kau belajar
di sekolah masa remajanya—sebuah sekolah Katholik ternama dan beberapa
lulusannya menjadi Santo Jesuit. Papi juga menginginkan agar kau melanjutkan
cita-citanya yang gagal sebagai Pelayan Tuhan. Namun kau
menolaknya. Di titik itulah kau membuat harapan Papi amblas. Sementara Mami
menginginkanmu untuk belajar di sekolah pemerintah—selain karena alasan ekonomi,
Mami berharap kau bisa mengenal keyakinannya yang lama. Diam-diam Mami menginginkan
kembali ke agama sebelumnya.
Kau
tahu karena keduanya menjadikan dirimu sebagai harapannya masing-masing—di
sanalah pangkal alasan mengapa mereka berpisah, katamu kepadanya.
“Papi
dan Mami berpisah karena agama mereka berbeda?”
“Aku katolik, dan kamu protestan,” kau diam sejenak, seperti tidak yakin dengan
kalimat yang bakal keluar dari mulutmu. “Apakah itu masalah bagi hubungan kita
sebagai saudara?”
Adikmu
seperti ingin mengatakan sesuatu. Tertahan. Ia seperti menelan ludah dan akhirnya hanya menggigit bibirnya sendiri. Tampak mendung di wajahnya.
Kau
menatap wajah adikmu. Matanya lebam, mungkin karena menangis semalaman. Kemarin
pertengkaran besar kembali terjadi di rumah. Kau baru saja pulang bekerja ketika
melihat adikmu terduduk di kursi beranda dengan air mata yang bercucuran.
“Bisa
enggak sih kamu jawab pertanyaan
tanpa pertanyaan?”
Kau
tertawa. Adikmu pun tersenyum. Meski awan mendung masih tampak di wajahnya.
“Maria,
agama tidak pernah memisahkan Papi dan Mami.”
“Lalu
mengapa mereka memutuskan berpisah? Apa mereka tidak berpikir bahwa
keputusannya untuk berpisah setelah 22 tahun bersama malah membuat kita menjadi
korbannya?”
Senyum
adikmu perlahan tapi pasti menguap. Sementara kau masih tersenyum. Atau lebih
tepatnya berusaha untuk tetap
tersenyum.
Kau
teringat Indigo yang meninggal dunia karena bunuh diri di seminari. Kau adalah
orang pertama yang mengetahui bahwa Indigo tidak kerasan dan berulang kali
mencoba kabur namun selalu gagal, dan Papi adalah orang pertama yang selalu
mengantar Indigo kembali ke seminari setelah percobaannya hampir berhasil. Kau teringat wajah Indigo yang seperti minta
pertolongan saat tubuhnya diseret menuju gerbang seminari. Saat itu kau hanya duduk
di kursi mobil.
“Bagaimana
pembicaraan ini kita lanjutkan setelah permainan ludo saja? Merah, Kuning,
Hijau, atau Biru?”
Adikmu
tidak menjawab. Ia menatap ke tanaman yang basah di seberangnya. Lampu taman
masih temaram. Hujan belum juga reda. Gawaimu tergeletak di atas meja. Layarnya
menampilkan papan permainan ludo. Saat telunjukmu hampir menyentuh gambar dadu
di layar gawai, tampak seorang laki-laki dengan wajah kuyuh dan berdiri di
depan pintu. Tidak mengucapkan satu kosakatapun. Ia hanya memandangi kalian.
Kau
menoleh ke arahnya. Adikmu menoleh sesaat, dan melempar kembali pandangannya ke
tanaman yang basah di seberangnya.
“Aku
warna Merah,” kata adikmu, akhirnya, sambil menarik kursi agar dekat dengan meja bundar.
“Kita
mulai. Aku warna Biru,” telunjukmu menyentuh gambar dadu di layar gawai—dadu berputar,
dan menampakkan titik-titik berjumlah 3. Telunjuk adikmu menyentuh dadu, tampak
titik-titik berjumlah 1. Begitu seterusnya secara bergantian—hanya jumlah titik-titik
saja yang berbeda-beda.
Aku
tidak tahu kapan permainan ludo itu selesai. Yang aku tahu hujan reda saat
cangkir kopi sepenuhnya tandas. Akan kulanjutkan cerita mereka bila cangkir
kopi kembali berbuih karena air mendidih.[]@cheprakoso
Wibawa Mukti, Akhir
Februari 2019
Komentar
Posting Komentar