KISAH CINTA MILENIAL VIII

KISAH CINTA MILENIAL VIII
Kredit Gambar: Take Magazine

“KAMU pikir lelaki yang tidak memiliki pengalaman asmara selama 18 tahun bukan premis yang bagus untuk sebuah film?”
“Aku tidak tahu. Membayangkannya saja berat. Apalagi menjalaninya,”
“Bajingan. Aku memintamu untuk membayangkan karakter dalam film bukan kehidupan nyata,”
“Dunia ini masih panggung sandiwara, kan?”
Kami tertawa hampir bersamaan. Kamu mengucapkan ‘bajingan’ berulang-ulang.
*

POHON cemara berbaris. Rumput gajah. Trotoar. Asap kendaraan dan bising knalpotnya. Sepasang meja kayu. Dua buah kursi, saling berhadapan, sebagian memunggungi jalan yang macet. Kedai kopi di sisi jalan layang. Dua sisi pintu kaca, dengan sebuah tulisan warna yang cerah. Musik mengalun, sebuah lagu asyik. Meja dan kursi kayu tersusun di dua ruangan terpisah oleh pintu-geser: area merokok dan bukan. Di pojok ruang, di seberang pintu kaca itu, meja bar kayu dengan sejumlah toples berisi biji kopi dan alat peracik kopi. Ada tulisan “Ngopi aja kok repot...” di salah satu dinding dengan dasar warna krem, juga wajah seorang paruh baya berpeci dan berkacamata, sedang tertawa, di sisi dinding lainnya.
Tiba-tiba Digo datang dari pintu yang sudah terbuka setengah. Pistol di tangannya mengarah ke sebuah meja di dalam ruang, berada di salah satu sudut. Tepat di dinding yang ada wajah lelaki paruh baya itu.
Door! Doorr!
Dua manusia terkapar. Darah mengucur dari punggung dan dadanya. Tangan keduanya saling berpegangan.
Suasana kedai itu seketika senyap. Barista. Pelayan. Pelanggan yang enggak seberapa. Hanya lagu dari pengeras suara yang tetap mengalun. 
One day our generation
Is gonna rule the population
So we keep on waiting (waiting)
Waiting on the world to change”. Juga suara pendingin ruangan. Berdesing.
*

“SEBAGAI adegan pembuka sebuah film, itu asyik. Tapi 18 tahun nirasmara, dan akhirnya pacaran, meski kemudian ditikung oleh sahabat sendiri, menurutmu sebagai alasan yang kuat untuk melakukan suatu pembunuhan? Jika memang, ini alasan yang lebih keren ketimbang alasan menembak mati John Lennon.”
Kamu tampak berpikir. Kembali membaca kertas di tanganmu. Menaruhnya. Dan menyeruput cangkir dengan tangan kirimu.
“Begini,” katamu sambil tetap memegang cangkir. “Aku tahu ini konflik cerita yang klise. Sudah ribuan cerita demikian ditulis dan kemudian dibuat film. Tapi apa yang baru di kolong langit ini? Tidak ada.”
Kamu seperti menunggu sebuah jeda.
“18 tahun tidak memiliki pengalaman sebuah hubungan, itu premis cerita yang terbuka untuk beragam kelokan cerita. Cemburu dan berakhir dengan pembunuhan kepada sahabat—orang yang sangat membantu sebuah hubungan, kau tahu hanyalah satu konflik cerita,”
“Kupikir itu memang premis cerita yang bagus,”
“Tentu saja. Aku mentraktirmu kopi bukan karena aku baik hati. Kamu salah. Aku memintamu untuk memikirkan kesuraman apa saja yang dialami seseorang yang sama sekali tidak memiliki kisah cinta selama 18 tahun. Dan apakah kesuraman yang kutulis itu sudah lumayan suram?”
“Aku tidak terlampau miskin untuk sekedar bayar kopi dan roti Perancis ini. Kamu jangan khawatir, Bung.”
“Ayolah, Nolan!”
“Jangan merajuk. Izinkan aku membaca ulang naskah ini,”
Kamu memanggil seorang pelayan. Kami memesan kembali sebuah minuman. Kamu pesan cokelat panas. Lalu meloloskan sebatang rokok, dan membakarnya.
*

SINAR matari pagi masuk ke dalam kamar tidur yang kecil itu melalui kisi-kisi jendela. Bunyi alarm ponsel berbunyi untuk kesekian kalinya. Natasya duduk di tepi kasur. Berusaha meloloskan tubuh dari selimut. Seperti menantang sinar matari yang menabrak wajahnya.
Semalam apa yang terjadi, batin Natasya. Apa dan sedekat apa aku dengan Nafi? Sambil tetap dicengkram pikirannya, Natasya meraba pipi, bibir, dan seluruh tubuhnya. Semua masih utuhLalu siapa yang semalam ditembak Digo di kedai itu? Natasya semakin jauh ke dalam pikirannya. Matanya terpejam. Karena pikiran dan sinar matari, tampaknya.
Pintu kamar diketuk dan terdengar suara ibunya. Natasya menjawab sekenanya. Lalu ia menggapai ponsel di balik bantal. Ia melihat banyak pemberitahuan masuk ke dalam akun media sosialnya yang tampak di layar. Tapi Natasya mengabaikan semuanya. Terlampau banyak, pikirnya. Dan ia masih ingin leyeh-leyeh di hari yang sepagi itu.
Saat kepalanya rebah di bantal yang ditekuk sedemikian rupa, ponselnya berdering.
Nafi memanggil. Natasya menggeser tombol telepon berwarna hijau ke arah atas layar ponselnya.
“Halo, Nat.”
“Kenapa Naf? Kok tumben jam segini sudah bangun?”
“Natasya, kamu sudah baca berita? Sejumlah portal berita onlen memberitakan kematian kita di kedai semalam. Digo menembak kita,”
“Maksudmu?”
“Haduh. Kematian kita viral di media sosial. Digo membunuh kita saat semalam ngopi di kedai Ruang Sastra. ‘Sepasang kekasih ditembak mati oleh sahabatnya di warung kopi!’ itu salah satu.judul beritanya, Nat.”
“Lalu maksudmu kita ini hantu? Begitu?”
*

KAMU seperti nabi yang menunggu wahyu saat kertas kembali diletakkan. Juga kacamata. Kami menyeruput cangkir hampir bersamaan.
“Aku agak terganggu di bagian itu,”
“Maksudmu?”
“Kupikir kamu harus memilih, ingin membuat film romancethiller, atau film hantu yang saling jatuh cinta. Meskipun membuat film seperti itu mudah adanya. Yang sulit menuliskan cerita yang enggak klise, dan mengeksekusinya dengan keren.”
“Jadi maksudmu ceritanya klise?”
“Kamu jangan seperti perempuan datang bulan, deh. Aku tidak mengatakan ceritamu klise.”
“Lalu?” kamu mengatakannya sambil meletakkan cangkir ke meja. Terdengar suara berdenting.
“Begini, premis ceritamu menarik—sebagaimana yang kamu pikirkan. Di satu sisi kamu berhasil masuk ke dalam dan mengolah kegetiran seorang yang 18 tahun tidak pernah memiliki pengalaman asmara. Di sisi lainnya kamu mampu merajut persahabatan antara Digo, Nafi dan Natasya. Juga membangun konflik dari hubungan tersebut. Kupikir itu keren.”
Kamu menaikkan alis juga lubang hidungmu. Jari telunjukmu mengetuk-ngetuk meja. Kamu fokus menyimak setiap uraian.
“Hanya aku terganggu dengan pilihanmu tentang sejumlah tokoh yang menjadi vampire di pertiga akhir cerita.”
“Aku memaksudkannya sebagai kejutan cerita,”
“Bagiku itu kejutan yang buruk,”

Door! Doorr!
Dua manusia terkapar. Darah mengucur dari punggung dan dadanya. Tangan keduanya saling berpegangan. [] @cheprakoso 
Juni, 2019

Komentar

Postingan Populer