TOKO BUKU
“Membakar buku adalah sebuah kejahatan, tetapi ada yang lebih jahat daripada membakar buku, yakni tidak membaca buku.” Joseph Brodsky
APA BOLEH BIKIN, kamu
syak-wasangka terhadap anggapan bahwa masyarakat Indonesia rendah minat
membacanya. Sebab kamu pernah menjumpai sebuah kondisi kelas di sekolah saat
pergantian jam pelajaran yang hampir semua murid di dalam kelas tersebut sibuk
dengan buku di tangannya atau di atas mejanya. Kamu memastikan bahwa mereka
tidak sedang membaca buku pelajaran guna mempersiapkan ulangan/ujian, sebab
saat itu tidak sedang akan berlangsung ulangan. Kamu adalah guru yang mengajar
di jam tersebut.
Meskipun kamu mafhum
bahwa anggapan rendahnya minat baca tegak lurus dengan tingginya kebodohan di
dunia maya. Dan sekolah adalah kebodohan itu sendiri. “Bagaimana mungkin di era
banjir bacaan, tapi kamu tidak membaca?” katamu seperti merapal sebuah puisi
lirih.
Sambil mempersiapkan
materi yang akan kamu sampaikan melalui sebuah powerpoint, kamu bertanya buku apa yang sedang mereka baca, dan
mereka menjawab sedang membaca novel (remaja)—sejumlah murid bahkan menyebut
judul dan nama penulisnya—yang sialnya kamu tidak familiar dengan judul dan
penulis tersebut. Kamu senang karena mereka menyebutkan nama dan judul buku
tersebut dengan sangat antusias—seolah berlomba meneriakkan nama artis Korea
kesayangannya.
Kamu berikan waktu
mereka untuk melanjutkan membaca selama beberapa menit, dan sebagai guru yang
baik, kamu memberi wejangan bahwa membaca sastra itu asyik dan kamu juga katakan
bahwa kamu lebih banyak belajar sejarah dari sebuah novel ketimbang buku (teks)
sejarah. Karena, katamu, belajar sejarah dapat darimana saja, termasuk sastra.
Mereka sekedar menoleh,
dan melanjutkan membaca. Kamu seperti kakek tua yang khawatir cucu-cucunya
melupakannya.
Lalu kamu menyebut
sejumlah sastrawan dengan sejumlah karyanya yang darinya kita bisa belajar
sejarah. Mereka sekali lagi menoleh ke arahmu. Kemudian mereka menggelengkan
kepala tanda asing dengan nama-nama yang kamu sebut. Akhirnya kamu menyebut
nama Eka Kurniawan—yang kebetulan saat itu bukunya sedang kamu bawa. Ada
seorang murid yang mengaku pernah melihat buku yang kamu bawa itu di sebuah
toko buku. Dan kamu katakan kepada mereka bahwa Eka Kurniawan adalah penulis
Indonesia yang namanya tengah moncer
di jagat sastra internasional dan ia adalah penulis yang asyik—oleh karena itu
karya-karyanya ‘asyik dan perlu dibaca’. Mereka kembali melanjutkan membaca.
Kamu tetap bersikeras
menjadi kakek tua yang memberi petuah kepada cucu-cucunya. Yang tidak acuh.
Meski kamu juga mengerti bahwa ada ruang yang berbeda antara kakek tua dan
cucu-cucunya.
Lalu kamu ceritakan
sejengkal kisah buku yang kamu bawa itu—yang entah bagaimana ceritanya bisa kamu
kaitkan dengan materi yang akan kamu bawakan saat itu. Yakni tentang seorang
pelacur tiga zaman dan ketiga anaknya yang cantik dan satu anaknya yang buruk
rupa—kamu kaitkan dengan situasi Pendudukan Jepang dan awal Revolusi Indonesia,
materi yang saat itu kamu sajikan. Buku itu berjudul Cantik Itu Luka.
Tampak sejumlah murid
tertarik dan berminat dengan buku yang kamu bawa. Mereka mengaku akan membeli
dan membacanya. Kamu senang telah memberikan informasi buku yang ‘asyik dan
perlu dibaca’.
Begitulah, kata kamu
kepadaku, mengapa kita perlu syak-wasangka terhadap rendahnya minat baca negeri
ini. Kamu berusaha keras untuk menampik anggapan perihal minat baca. Kamu meyakini
dan seolah menutup mata bahwa toko buku adalah bisnis yang tidak bisa
dimengerti kecuali kekeraskepalaan segelintir orang kota. Kisah itu kuceritakan
ulang kepada kekasihku. Kekasihku sepakat—sebab ia pernah menjumpai situasi
serupa, katanya.
Akhirnya kami menemukan titik-soal: anak-anak memiliki
tingkat baca yang enggak buruk-buruk amat—mereka hanya perlu diberikan
informasi tambahan terhadap buku-buku apa saja yang ‘asyik dan perlu dibaca’. Meski ia tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak murid-murid Indonesia
yang masih di jaman kegelapan.
Entah
bagaimana pangkal dan hubungannya, ia lekas merencanakan untuk memiliki sebuah
toko buku. “Orang yang memiliki toko buku adalah orang yang paling kaya se-dunia!”
katanya. Aku membayangkan dikubur di liang yang penuh buku, dan para bidadari di surga adalah pustakawan—bila kamu sepakat bahwa surga adalah perpustakaan. [] @cheprakoso
Permisi, ini jenis tulisan apa ya? Apakah termasuk esai?
BalasHapus