KISAH CINTA MILENIAL XIII

KISAH CINTA MILENIAL XIII
Kredit Foto: Vice(dot)Com

KAMU MENGHAMPIRI saya yang sedang makan. Kursi plastik di hadapan saya, diputar menghadap saya dan kamu duduk dan mengambil rokok yang tergeletak di sisi kursi beton yang saya duduki dan menyulut rokok dan korek saya dimasukkan ke dalam kantung kemejamu. Mukamu seperti tokoh Badli dalam film Taste of Cherry.

“Jingan,” kata saya segera meraih kembali korek yang sudah masuk ke dalam kemejamu. Beberapa nasi menyembur ke arahmu.

Kamu hanya cengengesan. Saya tetap makan dengan perasaan was was.

Setelah beberapa kali hisapan dan hembusan, kamu mulai bertanya dan saya hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala atau sejenisnya.

“Kamu pernah baca Kant kan?”

Saya mengangguk.

“Kupikir konsepnya tentang moral imperatif itu absurd. Lagian apa sih kaitannya antara legalitas dan moralitas dengan suara hati dan otonomi manusia?”

Saya menggeleng.

“Bagaimana mungkin manusia sekaligus berbuat baik dan jahat pada satu momen? Aku tak bisa membayangkan perasaan perempuan, misalnya, sebagai korban sekaligus penikmat saat terjadi pemerkosaan?”

Masih banyak pertanyaan dan pernyataan—atau keduanya, bahkan—yang saya tak mengerti. Saya terus makan sambil mendengarkan dan mengangguk dan menggelengkan kepala.

Saya meletakkan sendok di atas piring dengan posisi terbalik. Makanan saya belum sepenuhnya habis. Piring saya taruh di sisi kanan. Saya masih menguyah. Tangan kanan saya meraih gelas berisi es teh manis yang tinggal setengah.

Setelah kamu terus bertanya perihal yang banyak tak saya mengerti, dari tentang filsafat Kant hingga guyonan cabul para filosof, dari perihal gaya membalap Marc Marquez hingga laga Indonesia vs Israel di babak play off Piala Dunia 1958 yang gagal berlangsung dan hal-hal yang lebih tak saya mengerti lainnya—akhirnya kamu terdiam. Seperti asyik dengan rokok dan asap dan entah apa yang kamu lamunkan. Lalu kamu kembali bertanya dan saya kembali menjawab.

“Kamu tahu film Taxi-nya jafar pahani, kan? Itu film yang bagus untuk menertawai libido agama dan politik. Kamu sudah nonton?”

“Sudah,”

“Itu film yang dibuat ketika Pahani jadi tahanan kota oleh pemerintah Iran. Ia jadi pembuat sekaligus pemain dalam film itu. Ia pasang kamera di sisi depan mobil dan ia berkeliling kota. Dan orang-orang mengaguminya. Keren, kan?”

“Kedengerannya sih begitu,”

“Kalau kamu seorang sineas dan jadi musuh negara dan menjadi tahanan kota, apakah kamu bakal bikin film seperti Pahani bikin film Taxi? Omong-omong film itu dibuat tahun 2015, ya? Aku lupa,”

“Yang jelas aku akan lebih banyak tidur siang dan berenang di kolam apartemen. Itu terdengar lebih menyenangkan.”

Kamu tertawa terbahak hingga tubuhmu terguncang. Kursi plastik yang kamu duduki berderit seperti ingin patah menahan berat tubuhmu. Meski saya tidak mengerti di mana bagian lucu dari jawaban saya.

Usai tertawa kamu menyambar es teh manis saya hingga tandas. Sialan, batin saya. Dan mulai bercerita banyak hal yang lagi-lagi tak banyak saya mengerti. Mendengarkan sejumlah pertanyaan dan ceritamu, sekali lagi, yang banyak tidak saya mengerti, saya teringat kata-kata Ibu yang mengutip seorang sahabat Nabi, kira-kira: bila kamu tidak kuat menangguh letihnya belajar, kamu harus menanggung pedihnya kebodohan.

Meskipun saya selalu merasa orang bodoh itu menyenangkan dan orang pintar itu menyebalkan. Meski saya tahu, saya mungkin keliru.

Saya masih harus mendengarkan kamu bertanya dan bercerita hingga puluhan purnama kemudian. Doakan saya agar tidak lekas bosan.[] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer