LUKA-GAGAL-MUDA

LUKA-GAGAL-MUDA
Kredit: @cheprakoso

“Di Sekolah, belajar dulu, baru dapat ujian. Di Kehidupan, ujian dulu, baru dapat pelajaran.” 
(Pidi Baiq 1972-2098)

SYAHDAH BOCAH LELAKI agak tuli lahir dari keluarga pengusaha di Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat pada 11 Februari 1847. Ia anak semata wayang yang diharapkan melanjutkan bisnis keluarganya. Ayahnya pebisnis yang amat sibuk dengan pekerjaannya, sementara ibunya adalah seorang guru sekolah menengah.

Saat usianya menginjak tujuh tahun ia sekolah di sekolah dasar ternama di kotanya. Karena nilainya selalu jelek, gurunya sering memarahinya dan mengatainya. “Seorang murid yang terlalu bodoh untuk pelajari apa saja,” kata gurunya. Si Bocah juga sering dipanggil idiot oleh gurunya.

Tiga bulan belajar di sekolah ia dikeluarkan. Kepala Sekolah memanggil ibunya untuk menghadap di ruang kerjanya. Si Ibu Bocah Kecil itu datang menghadap seorang diri dengan beragam pikiran dan perasaan gundah. Si Bocah masih bermain sebagaimana sediakala dengan teman-temannya. Anak-anak memang selalu lebih siap dan ‘dewasa’ perihal menghadapi situasi ketimbang orang dewasa itu sendiri.

Kepala Sekolah bicara banyak tentang aktivitas Si Bocah tuli dan idiot selama di sekolah dan kebodohan-kebodohannya yang menganggu belajar murid lain, serta berisiko merusak reputasi sekolah tersebut sebagai sekolah ternama di kota itu. Lalu Kepala Sekolah menyodorkan sebuah kertas.  Masih di hadapan Kepala Sekolah, dengan menunduk Ibunya kemudian membaca tulisan di kertas tersebut:

“Tommy, anak Ibu, sangat bodoh. Kami minta Ibu mengeluarkannya dari sekolah.”

Sang ibu terhenyak membaca kertas di tangannya. Menerima kenyataan bahwa anaknya bodoh atau disebut bodoh oleh orang lain, bukanlah hal yang mudah bagi seorang ibu. Namun ia segera membuat tekad yang teguh, ”Anak saya Tommy, bukan anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia.” Tapi kalimat itu tidak keluar dari mulutnya ketika Kepala Sekolah masih di hadapannya. Ia keluar dari ruang Kepala Sekolah dengan diam seribu bahasa—tapi kegundahan dan tekad membumbung di hatinya.

Sang ibu, Nancy Elliot Edison, tidak menyerah begitu saja dengan keputusan pihak sekolah terhadap anaknya. Kemudian Nancy Elliot Edison memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan berkonsentrasi mengajari sendiri anaknya baca tulis dan hitung-menghitung dengan jalan homeschooling, karena tak ada sekolah yang mau menerima anaknya. Si Bocah leluasa membaca buku apa saja yang tersedia di perpustakaan pribadi ayahnya. Ia membaca buku panduan praktisi melakukan eksperimen mandiri berjudul School of Natural Philosophy karya RG Parker dan kamus umum tentang pengetahuan. Melihat minat anaknya, Nancy Elliot Edison membuatkan sebuah laboratorium mini di rumahnya. Ia terus menemani dan mendampingi Si Bocah belajar dan menguji pengetahuan yang diperoleh dari hasil bacaannya.

Kisah selanjutnya, sejarah mencatat, adalah tentang percobaan yang berlangsung ribuan kali yang dilakukan oleh Si Bocah hingga ia tumbuh menjadi dewasi. Kegagalan menemani usianya yang terus merangkak. Bocah itu kemudian dikenal sebagai pemegang hak paten sebanyak 1.093 dari berbagai penemuan. Bocah itu tercatat di buku sejarah bernama Thomas Alva Edison—penemu lampu listrik, telegram, fonograf, proyektor serta mendirikan perusahaan General Electric. Tanpa sejumlah penemuannya kita tidak lebih baik dengan Megantropus Javanicus 15 juta tahun yang lalu.

Kisah di atas saya ingat kembali ketika mendapat kabar seorang teman berhasil diterima di kampus idamannya. Sebagai teman yang baik, dan telah mendoakannya, tentu saja saya senang. Saya ucapkan selamat kepadanya. Lalu saya mendapati kalimat di awal tulisan di linimasa media sosial.

Saya rasa kisah tokoh Thomas Alva Edison dan kalimat Imam Besar grup band The Panas Dalam sekaligus penulis novel Dilan, Pidi Baiq itu mengingatkan kita bahwa kehidupan selalu memberi ruang kepada kita untuk berpikir positif—juga kala gagal menyergapmu. Sebab kegagalan bisa mengantarmu kepada proses belajar yang sesungguhnya.

Namun jenak saya berpikir; bagaimanapun teman-teman bukanlah Thomas Alva Edison, dan hidup kadang tak seperiuk mulut motivator, kan? Bagaimana dengan teman-teman yang belum berhasil dan acapkali gagal? Apakah mereka masih tetap menyimpan asa dan semangat untuk selalu merawat mimpi serta impiam? Atau mereka malah limbung dan gontai diterpa putus asa? Atau bahkan mereka mulai berpikir bahwa Tuhan tidak adil kepadanya, dan masa depan adalah gulita belaka?

Di titik itu saya meyakini bahwa pohon yang kuat dari mara dan angin topan adalah pohon yang tertancap di tanah yang keras dan kering-kerontang, bukan tanah gembur. Artinya kegagalan adalah cara untuk terus menempa kualitas diri.

“Digembleng hampir hancur-lebur bangun kembali!! Digembleng hampir hancur-lebur bangun kembali!!” kata Sukarno dalam pidatonya tahun 1960-an.

Entah bagaimana saya selalu khawatir kepada anak muda, entah bagaimana prosesnya, yang terlampau cepat sukses atau dianggap sukses. Sebagaimana saya khawatir kepada teman-teman yang terbebani dengan sejumlah label, misal ‘anak pintar’, ‘juara kelas’ dan lain sebagainya--karena saya merasa anak-anak nakal kerapkali lebih siap dan percaya diri menerima kegagalan. Mereka seperti berkawan dengan kegagalan.

Jadi kepada teman-teman yang selalu gagal, seperti saya, jangan terlampau khawatir. Karena kita masih sangat muda, dan luka adalah biasa.  [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer