MENJAWAB SALAM

MENJAWAB SALAM
Kredit Foto: @cheprakoso|2019
HAWA PANAS. Saya sedang ngaso di kantin yang lumayan kosong. Saya pesan mie goreng dan sirup anggur khas Heeren Jawir.

Tetiba seorang teman datang menghampiri, mencium tangan dan duduk di hadapan saya.  

“Pak, boleh nanya sesuatu?”  

“Mau nanya kok pakai pertanyaan, Ngub. Kamu ini aneh-aneh saja,” kata saya sambil tetap khusuk dengan gawai dan menunggu pesanan datang. Teman saya itu mungkin kesel, guru kok ngeselin banget.

“Kenapa sih Bapak selalu pakai kalimat ‘Selamat Pagi’ setiap menjawab ucapan salam kami?”

Saya meletakkan gawai. Saya amati wajahnya. Ia tampak serius dengan pertanyaannya. 

Alih-alih menjawab ‘Walaikumsalam’ saat mulai jam pelajaran, saya memang selalu mengucapkan ‘Selamat Pagi/Siang/Sore’. Alasannya sederhana: saya berusaha untuk menghargai teman-teman yang kebetulan bukan beragama Islam. Meski begitu, saya tetap menjawab ‘Walaikumsalam’ di dalam hati.

Saya rasa bila menjawab ‘Walaikumsalam’ saya berkewajiban juga menjawab salam menurut berbagai agama lainnya. Mungkin saya kelewat perasa. Tapi entah bagaimana, saya merasa memiliki tanggung jawab moral begitu. Sekali lagi, mungkin saya kelewat perasa.

Di titik itu, saya ingat Gus Dur. Lebih tepatnya terkait wacana Gus Dur saat menjadi Ketua PBNU tahun 1987 yang ingin mengubah salam ‘Assalamualaikum’ menjadi ‘Selamat Pagi’. Perlu dipahami bahwa wacana Gus Dur ini bukan pada ranah teologis, melainkan ruang sosial. Artinya wacana Gus Dur perlu ditempatkan pada konteks upaya toleransi dan kenyataan historis keberagaman agama di Nusantara. Lebih lanjut menurut Gus Dur kemajemukan di dalam masyarakat muslim di Indonesia sudah menjadi kenyataan sejak berabad lalu. Meskipun sebagian besar umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi’i namun ada juga yang mengambil mazhab lain. Bahkan penganut Islam Syi’ah, Ahmadiyah, atau abangan pun ada. Menurut Gus Dur tingkat penghayatan umat pun amat bervariasi dari yang hanya berkhitan dan bersyahadat waktu menikah sampai yang bertingkat kiai. Namun, ujar Gus Dur kemajemukan itu harus tetap terikat dalam ukhuwah islamiyah atau ikatan persaudaraan Islam. Artinya sesama umat Islam yang berbeda aliran maupun tingkatan pemahaman seharusnya saling menyambung rasa saling hormat. 

Gus Dur juga sangat tidak suka terhadap istilah Islam KTP atau Islam abangan. Baginya, “semua orang yang sudah bersyahadat dan berkelakuan baik ya muslim.” ujar Gus Dur kepada Edy Yunaedi, wartawan Majalah Amanah pada tahun 1987 seperti dilansir laman muslimmoderat(dot)net tahun 2016. “Mereka yang ketika bertamu masih memberi salam dengan ucapan kula nuwun (Jawa), punten (Sunda) atau selamat pagi, ya muslim karena syahadatnya,” lanjut Gus Dur. 

Cerita itu yang saya ingat ketika melihat buku paket tersebut (lihat gambar). Itu buku paket kelas 2 SD tetangga saya. Ia sedang mengerjakan PR, dan saya duduk di beranda. Ia membawa buku paket ke arah saya, dan saya diminta membantunya. Saya lekas memberi jawabannya, dan membisikinya.

“Segera tulis ya, Nak. Kalau sudah lekaslah bermain. Sekolah itu enggak asyik, kan. Lebih asyik main.”

Ia tersenyum dan segera menulis jawaban-jawaban yang saya kasih tahu. Tentu tanpa sepengetahuan ibunya. [] @cheprakoso 

Komentar

Postingan Populer