DESA-KOTA

DESA-KOTA 
Kredit Foto: @cheprakoso | 2019

ACAPKALI KITA gagal memahami desa. Kita selalu memahami desa dengan kacamata kota. Saya pikir inilah pangkal kalimat ‘Enak (hidup) di desa. Semua serba murah!’ yang jamak kita dengar. Dan itu menyesatkan.

Orang-orang kota menatap desa dengan perasaan nostalgia belaka. Kalau sedang stres, liburan di desa. Tapi tatapannya adalah tatapan orang kota. Desa dianggap jumud. Gitu-gitu saja. Tidak maju-maju. Konsep maju yang dimaksud tentu saja maju ala orang kota.

Di titik itu saya ingat Cak Mahfud dan karya-karyanya. Bagi saya membaca karya Cak Mahfud--berkebalikan dengan desa dalam karya-karya Ahmad Tohari yang menyorot keluguan (warga) desa--seolah menempeleng kepala kita yang kerap menganggap desa artinya ketenangan, kesentosaan, ketenteramam, keijo-royoan, kegemah-rimpah-rojinawian dan lainnya. Singkatnya cara pandang kita perihal desa adalah cara pandang kolonial. Cara pandang mooi indie.

Kolonialisme menginginkan kita menganggap desa seperti anjing pudel yang lucu dan jinak. Sebab pemerintah kolonial mengerti bahwa dari desa lah malapetaka bermula. Kamu bisa membuka kembali catatan sejarah. Hampir semua perlawanan heroik sebermula dari desa--tepatnya dari desa yang tak pernah benar-benar adem-ayem, tentrem dan sentosa. Desa selalu menyimpan api dalam sekam.

Oleh karenanya desa harus dikondisikan sedemikian rupa. Dicabut bibit-bibit perlawanannya. Cara paling mudah dan efektif untuk itu semua adalah membikin kesan dan cara pandang desa jauh dari radikalisme. Dan itu masih kita warisi bertahun-tahun setelah pemerintah kolonial telah tiada.

Sial lagi dan lagi, saya duga kita juga tidak pernah tuntas mengerti kota. Atau lebih tepatnya kita tak pernah mengerti bagaimana menjadi masyarakat kota. Punggung kita telah dibebani cara pikir kekalahan demi kekalahan desa meskipun kita bertahun tinggal di kota. Itu alasan kenapa kita tidak pernah memiliki mental masyarakat urban (urban society). Contoh sederhananya begini: di jalan bebas hambatan kamu akan masih melihat orang yang melempar plastik berisi sampah ke bahu jalan; kita dapat menemukan dengan mudah pedagang pecel lele di trotoar jalan; halte yang tak berfungsi sebagai tempat pemberhentian bis...

Kamu bisa perpanjang deretan contoh tersebut, dan saya berani bertaruh kita adalah satu dari jutaan orang kota yang pernah melakukannya.

Sekali lagi, kita memang orang desa yang kekota-kotaan, dan orang kota yang kedesa-desaan. Sudah saatnya kita menyeimbangkan dan menyehatkan relasi antara desa-kota. Jangan hanya pulang kampung saat sudah tak berdaya dan renta. Sebab ibarat negara ini sebuah kendaraan, bahan bakar dan pelumasnya adalah sumber daya desa.

Sebagai orang kota kalau berwisata ke desa, jangan lupa bahwa di alam yang sedang Anda nikmati itu ada manusianya. Manusia desa. Jangan pernah berpikir menikmati pasir bersih, ombak berbuih, laut biru, dengan ilusi ingin menyingkirkan manusia dari mata kota Anda. Menatap sawah yang hijau, pegunungan yang sejuk, kopi yang lezat, tanpa pernah berpikir berapa harga yang pantas untuk menikmati itu semua.

Jangan pernah merasa bangga membeli murah produk apa pun dari desa. Itu saja. [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer