MENONTON FILM

MENONTON FILM
Kredit Gambar: Redbubble(dot)com

“KAMU LAGI nonton apa, sih?”

“Roman Polanski,”

“Haduh. Tolong jangan nonton Rosemary’s Baby, ya.”

Lalu saya cuman cengengesan. Rosemary’s Baby adalah film Polanski yang dibuat tahun 1968--setahun sebelum istrinya, Sharon Tate, terbunuh. Kisah Polanski-Tate sempat dicukil di film terbaru Quentin Tarantino, Once Upon a Time in Hollywood (2019).

Saya melihat Raisyah geleng-geleng kepala di layar gawai. Saya memang sedang panggilan video dengannya.

“Kenapa sih kamu suka bener nonton film jadul?”

Lagi-lagi saya jawab dengan cengengesan. Saya memang new-bie perihal nonton film. Referensi film saya bapuk. Saya tertinggal lima sampai tujuh langkah dengan Raisyah. Ia sudah menonton film-film bagus dari sebelum studi sejarah. Ayahnya adalah penonton film yang jempolan. Bahkan tantenya, yang saat ini tinggal serumah dengannya, bisa menonton lima sampai enam film dalam sehari. Raisyah rutin mengunduh film saban hari.

Mungkin sama sepertimu, Raisyah telah ada di tahap lebih memperhatikan aktor/aktris yang main dalam suatu film. Juga genre film. Dulu di awal ia juga pernah menonton film karena senang dengan sineasnya.

Sementara saya baru ada di tahap tertarik dengan sineas film. Bila saya suka dengan salah satu sineas, maka saya akan berusaha untuk menonton film-filmnya. Inilah alasan mengapa saya menonton film-film tahun jebot. Saya berusaha untuk melihat perkembangan seorang sineas dalam karirnya.

Cara saya mendekati sebuah film, persis bagaimana saya membaca sebuah karya sastra. Saya coba jembrengin karya-karyanya sesuai kronologis, dan mulai dikaitkan dengan konteks historis yang melatari sebuah film dibuat, entah peristiwa yang terjadi, kecenderungan sosial-politik-budaya-ekonomi atau bahkan perdebatan ilmiah yang sedang ramai dipergunjingkan. Lalu saya coba temukan persamaan dan perbedaannya--untuk memperoleh perubahan gaya bercerita, pengambilan gambar hingga lain-lainnya di setiap karyanya. Sebab saya percaya, sebagaimana karya sastra dan sastrawan, film dan sineas adalah fakta mental dalam palagan sejarah. Entah mau dilihat sebagai dokumen sosial atau sebagai produk budaya (populer) semata.

Sebetulnya itu cara pandang historis banget. Ya, mau bagaimana, saya kan studinya sejarah bukan fisika, luur.

“Semoga kamu lekas ketemu dengan nama Billy Wilder ya,” kata Raisyah di ujung panggilan videonya.

Saya terdiam sejenak. Berpikir. Billy Wilder siapanya Billy Saputraaaaa, sih. Saya merasa Raisyah mentor nonton film yang kurang ajar. Dia referensiin sineas satu sebelum saya rampung menonton karya-karya sineas sebelumnya. [] @cheprakoso

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Aku pernah nonton rosemary baby, ceritanya sederhana, tapi creepy banget. hampir mirip hereditary,

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaap. film yang kece. kupikir salah satu film terbaik Polanski, selain The Pianist

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer