PATUNG LELE DI BEKASI: TENTANG KOTA DAN MEMORI KITA


PATUNG LELE DI BEKASI: TENTANG KOTA DAN MEMORI KITA 
Patung Lele Bekasi
Kredit Foto: infobekasi(dot)com
KAMIS, 25 APRIL 2002 saya bayangkan dari utara menuju selatan dua pemuda menempuh jarak lebih dari 11 KM dengan sepeda motornya. Bermodal sebuah korek gas, dirijen berisi minyak tanah, dan sebuah spanduk yang entah-apa tulisannya, mereka menuju ke pusat kota. Setibanya mereka memarkir di sekitaran simpang jalan itu. Lalu berjalan ke salah satu titik simpang jalan untuk membentangkan spanduk pada sebuah tembok, dan melangkah ke titik yang dimaksud: sebuah monumen berbentuk buah kecapi dan ikan lele.
Selang beberapa waktu sambil memperhatikan situasi—jalanan ramai lalu-lalang kendaraan dan sesekali deru gerbong kereta api melintas—dengan satu gerakan, mereka menuang minyak ke seluruh bagian patung yang terjangkaunya. Korek gas berdesir. Lalu kamu tahu, api berkobar melahap patung buah kecapi dan ikan lele. Bersama kegeraman dan kemarahan dua pemuda itu. Kegemparan pun terjadi.
Seperti dilansir Liputan6(dot)com, dua hari kemudian dua pemuda itu ditangkap Kepolisian Resor Bekasi Kota. Dua pemuda itu bernama Ibrahim Damin Sada dan Namin. Bahkan salah satu di antara keduanya, Ibrahim Damin Sada, merupakan Kepala Desa Srijaya Gabus, Kabupaten Bekasi. Ibrahim Damin Sada mengaku bahwa tindakannya dilakukan karena menganggap patung tersebut memalukan warga alih-alih membuat bangga. Alasannya, monemun buah kecapi dan ikan lele itu dianggap justru mengambarkan ketamakan dan keserakahan.
Monumen itu berbentuk dua ekor ikan lele yang mengelilingi buah kecapi yang kulitnya telah dikupas setengah bagian. Kemudian oleh warga monumen itu lebih dikenal dengan Patung Lele. Patung Lele didirikan pada tahun 1995 atas prakarsa Bupati Kabupaten Bekasi Mochmmad Djamhari (menjabat 1993-1998). Sahibul hikayat, alasan dipilihnya ikan lele dan buah kecapi karena dianggap hewan dan buah tersebut amat mudah ditemukan di wilayah Bekasi. Anggapannya amat mudah menjumpai wilayah yang menggunakan kedua nama tersebut sebagai nama wilayah, misalnya “Rawa Lele” atau “Kampung Kecapi”.
Lebih lanjut, patung tersebut dibuat pada era Orde Baru, dimana simbol-simbol hewan dan tanaman kerap mendominasi lingkup ruang publik. Atas dasar itulah dua simbol tersebut dianggap merepresentasikan wilayah tersebut.  Dua tahun berselang, tahun 1997, terdapat protes terhadap patung tersebut oleh Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKBM)—sebuah lembaga swadaya yang mewadahi kegeraman masyarakat Bekasi. Ibrahim Damin Sada adalah satu pengurus lembaga swadaya tersebut. Aksi protes tidak ditanggapi oleh Bupati Djamhari. Karena inilah, ketika pemekaran wilayah, mereka kemudian melayangkan protes ke Nonom Sonthani, selaku Walikota Bekasi. Turunlah Surat Keputusan (SK) untuk membongkar patung Lele itu. Meski SK sudah turun, namun patung yang membuat mereka resah ini belum juga dibongkar.
Saya membayangkan dalam kepala Ibrahim Damin Sada dan Namin—mungkin juga sejumlah masyarakat Bekasi lainnya yang diam-diam mendukung aksi tersebut yang bergabung dalam aksi protes BKBM—penggambaran Ikan Lele sebagai ikan yang makan segalanya dan rakus serta buah kecapi yang terbilang buah kampungan dan murah tidak sesuai dengan identitas kota Bekasi. Upaya keduanya saya rasa dimaksudkan seperti pasukan Ottoman di tahun 1453 yang merebut kota Konstantinopel dan mengubahnya menjadi Istanbul. Upaya untuk mengintervensi satu memori kolektif suatu masyarakat  dengan memori kolektif lainnya yang dianggap lebih layak. Dan saya pikir itu maksud yang keren. Lagian warga kota mana sih yang ingin landmark kotanya adalah sebuah ikan yang gemar memakan tahi manusia?
Di titik ini, bagi saya persoalan tersebut bukan sekedar persoalan kriminal dan perusakan tempat umum, namun lebih daripada itu. Yakni persoalan ruang publik sebagai identitas dan upaya mengingat dan melupakan sebuah memori kolektif.
Ruang Publik dan Ingatan
Ruang publik perlu dipahami melampaui ruang fisik. Selalu ada non-fisik dari sebuah ruang publik. Oleh karenanya ruang publik tidak hanya sekedar sebuah lapangan, tempat belanja, museum, jalan atau taman kota. Ruang publik secara fisik adalah wilayah atau bangunan yang terkondisikan untuk berkumpulnya dua atau sejumlah orang dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Namun yang terpenting dari ruang publik adalah titik-temu dimana wacana terbentuk karena orang berhak atau diizinkan untuk berkumpul, belajar, ber-rekreasi atau berdebat (meski selalu ada aturan).
Lebih lanjut menurut Abidin Kusno, pengamat arsitektur dan tata kota, ruang publik juga merupakan sebuah ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran masyarakat. Karenanya ruang publik tidak pernah bisa bebas dari pemaknaan oleh berbagai pihak yang mengisi ruang tersebut dengan berbagai benda, makhluk, bangunan, pengumuman, peraturan, monument, pagar, cerita, representasi, dan pertunjukkan. Pemaknaan tersebut seringkali menentukan kondisi ruang publik, karena makna ikut berperan dalam membentuk persepsi, pengalaman dan tindakan sosial. Artinya yang terpenting dari ruang publik bukanlah fisik melainkan non-fisik—sebab yang-fisik selalu merepresentasikan yang non-fisik.
Ruang publik menjadi saksi atas pertarungan-pertarungan simbolis—dalam rangkap demikianlah kota menuai identitas dan memorinya. Kota berbicara melalui lanskap fisik yang dibangun di atasnya. Dalam artian apa yang tersaji di atas tanah, dengan memahami monumen dan bangunan yang dibangun, kita mengerti ingin merepresentasikan identitas dan memori seperti apa suatu kota. Jalanan, bangunan, dan disain ruang menuturkan kisah-kisah yang menarik, kompleks dan penuh dengan ketegangan tentang bagaimana mereka dipaksa memainkan peran protagonis maupun antagonis oleh tangan-tangan kuasa yang saling berebut untuk saling menorehkan narasi diatas teks kehidupan urban.
Dengan membangun Patung Selamat Datang (Bunderan Hotel Indonesia) pada tahun 1963, Jakarta yang saat itu sebagai Tuan Rumah Asian Games ingin dicitrakan oleh Sukarno sebagai kota metropolitan yang penuh semangat dan modern. Monumen tidak lagi dimaknai sebagai sebuah tugu batu yang berfungsi untuk mengingatkan warga pada suatu peristiwa dimasa lampau, tetapi juga untuk menghapus atau mengubah suatu memori kolektif sesuai dengan kepentingan yang sedang berkuasa.
Kredit Foto: NOW!Jakarta
Seringkali bangunan, monumen, atau tugu dipakai untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan. Barangkali inilah sebabnya mengapa amat penting bagi setiap rezim dan setiap penguasa untuk mencurahkan ikhtiar pada pembangunan monumen-monumen dan bangunan serta infrastruktur akbar lain seawal mungkin dalam masa kekuasaan mereka dengan biaya yang tidak kecil pula. Sekali lagi kota bukanlah sekedar apa yang tampak di kasat mata, melainkan pesan dan wacana yang ingin direpresentasikan. Karena pesan dan wacana itulah yang akan mengekalkan memori kolektif warga yang mendiaminya.
Hubungan antara ruang publik (public space), formasi identitas dan memori kolektif rupanya jauh dari sederhana. Sering sekali dinyatakan bahwa ruang publik sangat penting untuk membangun kebersamaan komunitas, karena memberi tempat bagi sesama warga untuk berinteraksi dan merajut momen-momen yang dapat diingat bersama.  Dengan demikian, muncul suatu pemikiran bahwa kehadiran memori kolektif (collective memory) tergantung kepada keberadaan ruang publik yang memberi tempat untuk merajut ingatan bersama. Di saat yang bersamaan ruang publik dengan segala artefak yang dihadirkannya, mengandung atau memuat memori yang dapat membantu untuk mengingat momen-momen yang dapat diingat bersama. Jika ruang publik tersebut berikut benda-bendanya hilang, maka pewarisnya akan kehilangan tempat untuk merajut memori kolektif.
Walaupun keberadaan memori tergantung pada ruang publik dan lingkungan fisiknya, ruang publik tidaklah mampu dengan sendirinya membawa atau menyimpan memori. Tapi sebaliknya, ruang publik ini adalah arena tempat negara dan masyarakat menunjukkan kekuasaanya melalui pemaknaan sosial dan legal. Keadaan ini menunjukkan bahwa betapa lemahnya kedudukan dan eksistensi ruang-ruang publik.
Ruang publik adalah suatu arena bagi politik memori. Yakni bagaimana negara dan masyarakat dengan berbagai kepentingan mempertaruhkan ruang publik. Akibatnya, ruang publik tidak pernah bebas berdiri sendiri dan bukan juga wadah yang pasif. Akhirnya, ruang publik tidak dengan sendirinya menjadi tempat yang mampu mengingatkan orang pada suatu peristiwa. Pertarungan makna di ruang publik ternyata melibatkan bukan hanya pembentukan memori kolektif tetapi juga pelupaan kolektif. Bagaimanapun juga,  ruang publik sebenarnya adalah suatu ruang regulasi yang menyaring berbagai memori untuk suatu konsensus yakni memori kolektif.
Patung dan Monumen di Bekasi: Mengingat dan Melupakan
Dengan cara pandang yang telah dipaparkan di atas kita bisa memahami bahwa perusakan patung lele adalah upaya untuk merubuhkan memori kolektif warga tentang identitas kota. Artinya ada resistensi terhadap upaya kekuasaan, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Bekasi, yang mengintervensi identitas dan memori warganya. Ikan lele dan buah kecapi dianggap tidak representatif bagi identitas kota.
Upaya pemaksaan apa yang harus diingat oleh warga melalui pembangunan sebuah monument di ruang publik oleh kekuasaan telah digagalkan. Warga berhasil melalui negoisasi makna tentang apa yang harus diingat dan apa yang harus dilupakan oleh mereka sendiri—hal ini dapat dilihat dari monument dan patung apa yang tidak dan harus dibangun di ruang publik. Pertarungan wacana antara pemerintah dan warga perihal memori kolektif tentang identitas kota dimenangkan oleh warga—meskipun berakhir pada jeruji besi terhadap dua pemuda tersebut. Karena bagaimana pun negara akan selalu menggunakan aparatur kekuasaannya untuk menjalankan kepentingannya.
Tiga tahun berselang dari aksi perusahan Patung Lele, sekitar pertengahan 2005, hanya beberapa puluh meter dari lokasi, pemerintah Kota Bekasi bekerja sama dengan Pemerintah Jepang meresmikan sebuah monumen baru. Monumen itu berdiri di tepi Kali Bekasi—sebagai upaya mengenang Peristiwa 19 Oktober 1945, ketika  87 tentara Dai Nippon terbunuh saat hendak menuju Kalijati, Subang. Mereka terbunuh ketika kereta api distop oleh laskar dan jawara, lalu digorok dan mayatnya dibuang ke Kali Bekasi. Prakarsa monumen tersebut dibuat setelah hampir setiap tahun selalu ada warga negara Jepang yang melakukan tebar bunga di Kali Bekasi dan titik berdirinya monumen tersebut. Monumen itu kemudian dikenal dengan nama Monumen Tepi Kali Bekasi.
Monumen Tepi Kali Bekasi adalah kelanjutan dari sejumlah monumen atau tugu perjuangan yang telah dan pernah berdiri di wilayah Bekasi. Ada Tugu Perjuangan (dibuat tahun 1949) berlokasi di simpang Jalan Agus Salim dan Jalan Ki Mangun Saskoro, Bekasi Timur;  Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi (1955) berlokasi di antara Jalan Veteran dan Jalan Pramuka, sekarang menjadi Alun-alun Kota Bekasi, Bekasi Selatan; Tugu Bambu Runcing (1962), karena rusak dan diperbaiki tahun 1970) berlokasi di pertigaan Jalan Waru, Cibitung; monumen Perjuangan Rakyat (1975) berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Bekasi Barat.
Deretan monumen dan tugu tersebut menandai bahwa wilayah Bekasi adalah wilayah perjuangan. Catatan historis menyebutkan bahwa sejumlah wilayah di Bekasi merupakan front peperangan pada masa awal kemerdekaan. Ketika Proklamasi diproklamirkan di Jakarta, dan Belanda berupaya menguasai kembali wilayah jajahannya, Bekasi menjadi titik awal pertempuran. Misalnya kisah di balik Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi, pada 25 November 1945 terjadi pembunuhan 22 tentara Inggris yang baru saja mendarat di Cakung. Satu tentara tewas setelah mendarat, dua tentara tewas disiksa dalam perjalanan dari Cakung ke Bekasi, sedangkan 22 lainnya berakhir di tangan para pejuang Bekasi. Tentara Inggris datang sebagai pasukan NICA. Mayat tentara Inggris tersebut dikuburkan di pinggir Kali Bekasi yang mengalir di belakang kantor kawedanaan, yang sekarang letaknya di belakang Mapolres Metro Bekasi Kota. Sepekan kemudian, tepatnya 1 Desember 1945, mayat 22 tentara Inggris itu ditemukan dalam kondisi rusak parah dan tak dapat dikenali. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab tentar Inggris membabibuta setelahnya, dan bahkan mengultimatun agar rakyat Bekasi menyerah. Namun bisa ditebak rakyat Bekasi bergeming. Maka pada 13 Desember 1945, pecahlah peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan Bekasi Lautan Api. Bekasi luluh lantak akibat serangan bom dari udara dan dentuman meriam bertubi-tubi. Tentara Inggris masuk merebut kota  setelah seluruh bangunan dihancurkan.
Hampir seluruh monumen dan tugu yang berdiri di sejumlah wilayah di Bekasi mencoba mengekalkan ingatan tentang peristiwa tersebut. Dengan alasan demikianlah Kota Bekasi menyebut dirinya sebagai Kota Patriot. Atas dasar itu pula, akhirnya tahun 2017, di lokasi yang sama ketika Patung Lele berdiri dibangun tugu Bambu Runcing. Wacananya serupa: Kota Bekasi adalah kota perjuangan, dan memori itulah yang ingin diintervensikan ke benak warganya. Narasi historis menjadi wacana yang selalu dicekokkan ke benak warga Bekasi.
Kota Bekasi, Kota Patriot?
Di saat yang hampir berbarengan dengan upaya Pemda Bekasi yang ingin merepresentasikan sebagai kota patriot dan perjuangan, berdasarkan catatan Kompas Properti hingga tahun 2020 Kota Bekasi akan memiliki 27 pusat pembelanjaan. Yang paling baru tentu saja Avenue Lagoon Bekasi, sebuah pusat pembelanjaan yang berdiri di lahan seluas 21.367 meter persegi. Sebelum Mall Lagoon, telah berdiri juga Summarecon Mall Bekasi. Masih melansir Kompas Properti, setidaknya sudah ada 20 mal yang beroperasi di kawasan Kota dan Kabupaten Bekasi. Seperti Bekasi Cyber Park, BTC I, BTC II, Mega Bekasi Hypermall, Metropolitan Mall, Grand Metropolitan Mall, dan Grand Galaxy Mall. Kemudian ada Bekasi Junction, Bekasi Square, Plaza Jababeka, Mal Lippo Cikarang, Grand Mall Bekasi, Prima Sentra Grosir Bekasi, Cikarang Trade Center, Sentra Grosir Cikarang, Plaza Metropolitan Tambun, Mal Pekayon, Bekasi Town Square, hingga Blue Mall.

Belum lagi bila ditambah data statistik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bekasi Tahun 2018-2023 perihal alokasi pemanfaatan lahan permukiman. Bila pemanfaatan alokasi lahan perdagangan jasa berdasarkan rencana baru mencapai 3,8% hingga tahun 2014. Sedangkan tingkat pemanfaatan lahan permukiman hingga tahun 2014 telah mencapai 97% dari alokasi yang direncanakan dalam perencanaan Kota Bekasi. Sementara pemanfaatan lahan industri berada di peringkat kedua. Artinya lahan di Kota Bekasi terserap pada dua bidang, yakni pembangunan pusat atau pabrik dan perumahan.
Data statistik di atas bisa dibaca sebagai kemenduaan Pemda Kota Bekasi. Di satu sisi berupaya mengekalkan ingatan dan memori warga Bekasi sebagai kota patriot dan perjuangan—dengan menarasikan wacana historisitas heroik di ruang-ruang publik, di sisi lainnya pembangunan mall yang bak cendawa di musim hujan seolah konsumerisme menjadi kredo warga kota.
Di titik inilah, pertarungan wacana di ruang publik masih berlanjut. Sebagai kota yang menghargai dan menjiwai kisah-kisah heroik di masa lalunya dengan sebuah kota yang penuh dengan gedung-gedung mewah pemuas hasrat konsumtif. Bagi saya, pertarungan wacana ini menjadi kelanjutan atas pertarungan wacana yang berujung pada proses perusakan Patung Lele yang telah diulas di bagian sebelumnya. Bila di pertarungan wacana pertama warga memperoleh kemenangan atas hegemonik kekuasaan, dengan cara perusakan monumen, maka pertarungan terakhir ini warga tak melakukan resistensi atas hegemoni wacana tersebut.
JPO Kujang Kota Bekasi
Kredit Foto: Tribun News
Pada akhirnya kita bisa mengerti kenapa Kota Bekasi lebih dikenal sebagai kota seribu mall ketimbang monumen-monumen yang di baliknya terdapat kisah heroik kota tersebut di masa lampau. Kita juga tak perlu heran bila warga kota tampak acuh terhadap monumen-monumen yang bertebaran di sejumlah titik kota ketimbang pusat pembelanjaannya. Dengan cara pandang demikianlah kita lebih bisa mengerti kenapa Pemda Kota Bekasi sejak enam tahun lalu berupaya merampungkan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang sekaligus juga diniatkan sebagai landmark baru Kota Bekasi. JPO itu berada di gerbang pintu Toll Bekasi Barat, sekaligus mempertemukan dua pusat pembelanjaan, yakni Metropolitan Mall dan Mega Bekasi Mall. Desain landmark tersebut karya Suria Wiyadi (29) pemenang sayembara yang dilakukan Pemda Kota Bekasi. ”Desain buatan saya menang karena landmark menyatu dengan jembatan penyeberangan orang yang melengkung mirip Kujang. Kujang itu kan senjata khas Jawa Barat dan Kota Bekasi ada di Jawa Barat. Jadi ada filosofinya,” terang pemuda yang biasa dipanggil Suria itu kepada wartawan Detik.
Bagi saya, pembangunan JPO Kujang itu merupakan upaya Pemda Kota Bekasi untuk membentuk identitas Kota Bekasi  sebagai kota yang modern dan kekinian. Dengan cara membuat ruang publik di titik pusat pembelanjaan. Ini meninggalkan kebiasaan Kota Bekasi yang acap bikin monumen di lokasi atau tentang peristiwa sejarah. Tentu hal ini sejalan dengan apa yang telah dipaparkan di muka, bahwa identitas dan memori warga dibentuk oleh hegemonik kekuasaan. Karena tren Kota Bekasi yang sedang meningkat pembangunan mall dan permukiman, maka landmark yang dibangun beririsan dengan kedua hal tersebut. Sekali lagi, bangun fisik sebuah kota merepresentasikan ruang non-fisiknya—perihal identitas dan memori kolektif.
Saya tidak mengatakan bahwa mall dan pembangunan JPO itu tidak berguna dan merusak identitas serta memori warga Kota Bekasi. Yang ingin saya katakan bahwa perihal identitas dan memori kolektif sebagai manusia yang tinggal di kota, seringkali diintervensi oleh kekuasaan. Kekuasaan selalu memiliki kepentingan untuk membentuk identitas dan memori kolektif warganya. Meskipun dalam catatan sejarah, tidak sedikit yang melakukan resistensi. Contohnya adalah dua pemuda yang dibahas di muka tulisan ini.
Saya juga tidak merekomendasikan kamu mengulang apa yang dua pemuda itu lakukan—misalnya membakar mall atau JPO. Karena bagi saya itu hanya membuatmu seperti keledai, dan dipenjara, tentu saja, sebagaimana Ibrahim Damin Sada dan Namin dipenjara beberapa bulan akibat ulahnya sendiri. Damin maupun Namin divonis bersalah melanggar Pasal 170 dan Pasal 187 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dan dipenjara selama lebih dari 5 bulan.  Yang saya rekomendasikan ialah kamu harus selalu awas dan peka terhadap pembangunan yang dilakukan negara. Jangan-jangan pembangunan yang sedang dilakukan oleh negara bertujuan membuatmu amnesia. [] @cheprakoso


Komentar

Postingan Populer