PERIHAL JALAN KAKI

PERIHAL JALAN KAKI
Kredit Gambar: Gothenburg by Ragnar Sandberg | koleksi: artnet(dot)com
“KITA HARUS JALAN kaki berapa jauh lagi, sih?” keluh seorang teman kepada saya.
Kami baru saja turun dari kereta komuter di Stasiun Sudirman dan ingin menyambung ke moda massal kereta bawah tanah (MRT) di stasiun Bunderan Hotel Indonesia. Jarak dari Stasiun komuter ke Stasiun MRT sekitar 3-4 KM. Saya pikir itu jarak yang tak terlalu jauh. Namun bagi teman saya, tampaknya itu menjadi penderitaan yang amat sangat.
Saat itu saya memimpin rombongan sekitar 12 orang ( 4 keluarga dengan masing-masing membawa 1-2 anak berusia di bawah lima tahun), seperti seorang pemandu wisata kapiran. Kami berencana menjajal moda transportasi yang baru beberapa bulan diresmikan oleh Pemerintah. Rencananya seusai menjajal MRT dari Stasiun Bunderan HI-Lebak Bulus dan kembali ke Bunderan HI—kami akan menikmati makan siang di taman Lapangan Monumen Nasional (Monas)—yang didahului dengan menaiki Bus Tingkat Pariwisata dan diakhiri dengan sembahyang ashar di Masjid Istiqlal. Dan sedari mula saya katakan bahwa kita akan ‘jalan-jalan’—dalam artian harfiah maupun metafora.
“Ini namanya jalan-jalan, Cuk!” jawab saya sambil cengengesan. Teman saya makin murung. Wajahnya penuh bulir keringat. Anaknya, yang bernama Lardo (5 tahun), semakin merengek ingin segera naik Bus Tingkat—sebuah bus pariwisata Pemprov DKI Jakarta untuk keliling objek wisata di Ibukota. Teman-teman yang lain pun, saya rasa, merasakan hal serupa.
Saya asyik berjalan sambil memotret hal yang saya kira menarik. Juga berbincang banyak hal dengan Raisyah dan adiknya, Rizki (8 tahun). Bila berkunjung ke satu tempat, palagi tidak dikejar suatu keperluan saya lebih senang berjalan kaki. Saya bersyukur, Raisyah juga senang keluyuran. Dan kami memang memiliki kebiasaan berjalan cepat saat di pedestrian. Barangkali ini menjadi sumber penderitaan teman-teman kami. Semoga saya betul.
 Riset Jalan Kaki
Dengan merujuk riset Tim Althoff peneliti dari Universitas Stanford, Amerika Serikat tahun 2017, rerata orang Indonesia hanya melakukan 3.513 langkah per hari. Dengan kata lain, rerata orang Indonesia menempati peringkat terakhir dari 46 negara yang diteliti. Bahkan Indonesia masih kalah dengan jumlah rerata langkah orang Filiphina yang mencatat 4.008 langkah per hari (peringakat 43) dan Malaysia 3.963 langkah per hari (peringkat 44). Tiga negara Asia Tenggara itu tertinggal jauh dari Singapura yang berada di peringkat 9 dengan rerata 5.674 langkah per hari. Negara yang paling banyak melangkah adalah Hongkong (6.880), Cina (6.189), dan Ukraina (6.107).
Melansir BBC, terdapat keterkaitan antara jumlah langkah dengan aktivitas fisik di luar ruangan, tentu saja. “Untuk meneliti fenomena jarang bergerak, kami mencatat jumlah langkah masyarakat setiap negara dan mengubahnya menjadi grafik. Kadangkala grafik-grafik ini melebar, artinya ada kesenjangan aktivitas pada populasi antara mereka yang aktif dan kurang aktif,” ujar Tim Althoff kepada BBC. Tentu saja dapat disimpulkan bahwa orang Singapura lebih sempit jenjang kesenjangan aktivitasnya ketimbang Filiphina, Malaysia dan Indonesia. Tentu hal ini hanya potret mini dari kenyataan yang bisa membuat kita terjungkal. 
Jumlah rata-rata langkah penduduk setiap negara dan daerah. Biru mengindikasikan penduduk yang sering melangkah, sedangkan merah menandakan penduduk yang jarang melangkah. | Koleksi: Tim Althoff | BBC

Sebab dan akibatnya mungkin segera bisa telisik; dari persoalan kesehatan warga, obesitas, tindak kriminal hingga kecelakaan lalu lintas. Persoalan infrastuktur adalah salah satu penyebabnya. Klise, kan, memang. Tapi inilah kenyataannya. Menelusuri kota; berpindah dari satu gedung ke gedung lain, atau dari satu moda ke moda transportasi publik lain, dengan berjalan kaki, tentu menyenangkan. Bila sepanjang jalan kamu tidak berebut dengan pengguna motor dan berbagi ruang dengan bangku dan meja kayu pecel lele atau pedagang baju import bekas. Tak perlu jauh untuk sekedar mengetahui bahwa infrastuktur pedestrian di sejumlah wilayah di Indonesia seperti permainan ular tangga. Belum lagi kita berbicara tentang hak-hak pejalan kaki dan pengguna sepeda.
Infrastuktur pedestrian tentu menopang bagaimana habitus dan kebiasaan manusia kota berjalan kaki. Dan harus diakui, sebagaimana teman-teman saya yang merasa kewalahan berjalan kaki dari Stasiun Sudirman ke Stasiun MRT Bunderan HI—lalu melanjutkan jalan kaki dari Lapangan Monas ke Lapangan Banteng dan kemudian ke Masjid Istiqlal dan kembali ke Stasiun Djuanda—dan berdesak-desakkan, tentu saja, hingga Stasiun Bekasi, bukanlah pilihan yang dipilih oleh sebagian besar orang Indonesia. Barangkali kenyataan ini jugalah yang menjadi benang-kusut kenapa mengurai kemacetan di negeri ini seperti anjing mencium duburnya sendiri. Dan penelitian Tim Althoff mengonfirmasi tersebut. Lalu bagaimana budaya ‘jalan-jalan’, jalan kaki, atau keluyuran itu muncul—dan menjadi identitas masyarakat urban? Mari kita jalan-jalan ke Perancis.
Flaneur
Orang Perancis, atau lebih tepatnya The Parisians, warga Paris—memiliki kosakata untuk hal tersebut, yakni Flaneur. Sebagai sebuah konsep flaneur berarti menandai kegiatan orang-orang yang punya kebiasaan jalan-jalan, keluyuran, tanpa tujuan pasti. Sedekat yang saya tahu konsep ini muncul pada abad ke-19. Konsep flaneur mulanya dicetuskan oleh penyair mabuk asal Perancis, Charles Baudelaire (1821-1866). Namun sosok yang memperkenalkan konsep flaneur dan membawanya ke ranah akademik ialah pemikir Jerman berdarah Yahudi Walter Benjamin (1892-1940).
Perkembangannya konsep flaneur kerap dirujuk sebagai salah satu ciri kebudayaan urban, modernisme, dan urbanisme. Bahkan flaneur kerap kali dikaitkan dengan orang-orang yang memiliki kebiasaan berada di dalam lingkup kaum cendekia, filsuf, penulis, fotografer, pelukis, atau seniman. Sebab kebiasaan jalan-jalan, keluyuran kerap dihubung-hubungkan dengan dorongan untuk memperoleh inspirasi. Di titik ini orang yang keluyuran tidak bisa disamakan dengan orang yang tersesat. Karena orang keluyuran dengan sadar atas kegiatannya—ia memilih menelusuri tiap jalan dan gang kota-kota sambil berupaya untuk memperoleh apa yang dicarinya—entah apa.
Oleh sebab itu flaneur merupakan istilah untuk menyebut sosok-sosok modern di dunia urban yang dianggap sangat menyadari kesibukan kehidupan modern. Flaneur kerap dianggap juga sebagai pengamat amatir atau bahkan penyidik kota karena kerjaannya yang suka menelisik bagian-bagian kota tanpa tujuan pasti, namun pada titik tertentu orang-orang ini menemukan sesuatu dan membangkitkan temuan itu ke dalam karya. Meskipun demikian, kaum flaneur ini dianggap pula sebagai tanda kapitalisme menguasai kota.
Menurut Benjamin seorang flaneur menghasilkan karya-karya yang bisa menjadi alternatif cara pandang dalam melihat kondisi kehidupan modernitas-urban, ketegangan kelas, kapitalisme, konsumerisme, dan lain sebagainya. Lebih lanjut peran orang-orang yang gemar keluyuran memberikan ‘jeda’, sebuah eksplorasi intelektual dan gaya hidup yang berbeda. Dalam kacamata demikianlah, sepertinya kita bisa memahami budaya intelektualisme di Perancis—wabilkhusus Paris—sebermula di bar dan café di sepanjang tepi Sungai Seine.
Artinya ada koherensi antara budaya keluyuran dengan intelektualisme masyarakat urban. Kafe dan bar di sepanjang jalan harusnya adalah ruang yang mewadahi dinamika intelektualisme tersebut. Namun hipotesa tersebut tampaknya tidak bisa digunakan untuk memahami menjamurnya kafe dan kedai kopi di sejumlah wilayah Jakarta dan kota satelitnya.
Di titik ini, lagi-lagi, kita harus segera menyadari bahwa kita memahami tak pernah bisa menjadi manusia kota—sebagaimana kita terlampau kota untuk tinggal di desa. Persoalan ini, saya rasa, yang membuat semakin sengkarut persoalan sehari-hari kita. Kita acap gagal menempatkan diri di ruang dan lingkungan sekitar. Saat berada di desa, kita menjadi orang kota. Saat di kota, keudikan yang lebih menguasai kita.
Tetiba saya ingat salah satu guru saya di sekolah menengah, namanya Pak Sirait. Pak Sirait mengampu matapelajaran ticketing dan guiding. Ia seorang pemandu wisata profesional. Menurut kisah yang telah menjadi legenda di sekolah kami, untuk melatih daya ingat dan mengetahui perubahan suatu kota/wilayah, biasanya ia rutin berjalan kaki. Ia berjalan kaki sambil merekam dalam ingatan dan mencatat dalam bloknote. Untuk mengetahui perubahan kota Jakarta, misalnya, Pak Sirait berjalan kaki dari Grogol menuju Jatiwaringin—melalui aplikasi peta digital, jaraknya sekitar 23,1 KM dan menempuh waktu hampir 5 jam. Dan saya pikir itu gila. Bukan keren.
Akhirnya kami tiba di Stasiun Kranji, Bekasi. Kami telah berpisah dengan rombongan. Saya, Raisyah, dan Rizki mampir ke toko swalayan. Jam menunjukkan pukul 10 malam lewat beberapa menit. Antrean kasir masih lumayan. Kami harus mengantre, tentu saja. Padahal kami hanya membeli air mineral dan roti sobek. Rizki sudah merengek. Ia mengantuk dan mungkin juga lelah.
“Kamu tahu kenapa pedestrian kita banyak ditempati pedagang kaki lima?” tanya saya kepada Raisyah. Volume suara sengaja saya tinggikan. Semua orang di barisan antrean menengok ke aras saya. Dan saya berhasil mencuri perhatian mereka, tentu saja.
Raisyah menggeleng sambil tersenyum. Mungkin juga malu. Tampaknya ia tahu kemana arah lelucon saya.
“Karena orang Indonesia suka jalan-jalan. Mereka senang mengendarai mobil!” sambung saya tanpa menunggu respon Raisyah. Rizki hanya memasang muka bingung ke arah kami. Mungkin juga kamu. [] @cheprakoso

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer