KEMURKAAN KIRANA


KEMURKAAN KIRANA
Kredit Lukisan: Jesuis Comme Jesus by @benedictapetrina 
| 2019
KAMU DATANG TIBA-TIBA, dan duduk pada sebuah kursi di hadapan saya dengan tas ransel yang masih menempel di pundakmu. Wajahmu penuh debu dan sudah bercampur dengan butir-butir keringat di jidatmu, dan mukamu menunjukkan sebuah kemurkaan—yang tidak bisa saya ungkapkan kecuali Anda tahu rasanya jempol kaki diinjak dengan kaki kursi yang diduduki oleh seorang tentara setelah tanah dan sawahmu dirampas oleh negara.
Karena tidak nyaman dengan posisi dudukmu, tas ransel yang tampak berat itu diletakkan di kursi kosong sebelahmu. Dengan sekali tegukan, kamu menandaskan es lemon pesananku. Lalu kamu mengoceh selama hampir lebih sepuluh menit tanpa berhenti—‘kutil babi’ dan ‘Cina-kristen haram hukumnya menjadi pemimpin di republik ini’ adalah dua kalimat yang dominan dari keseluruhan ocehanmu, dan mungkin bila saya simpulkan dua kalimat itulah inti dari ocehanmu yang membuat saya ingin menyumpal mulutnya dengan vas bunga rekaan di atas meja—dan kamu jeda beberapa kali hanya untuk memastikan saya mendengarkan ocehanmu dengan sebuah sorot mata seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya yang ketahuan mencuri uang di bawah bantalnya—dan kamu menahan nafas yang panjang dan sambil mengibas-ibas kepulan asap dengan telapak tangan karena asap rokok yang sengaja saya hembuskan ke mukamu.
Kamu terbatuk. Saya tertawa.
Namun kamu masih terus mengoceh, dan akhirnya berhenti setelah saya menggebrak meja.
Braaakkkk!
*
“MAAF RAN,” kata saya usai membuatmu kaget dan gelas kosong di meja hampir terjatuh mengenai komputer jinjing di hadapan saya, dan saya menekan tombol jeda pada film yang sedang saya tonton di komputer jinjing.
Sebetulnya saya sedang menonton film Spotlight (2015) sebelum akhirnya terhenti karena kedatanganmu—atau lebih tepatnya karena kedatangan yang tiba-tiba dan ocehanmu yang seperti seorang perawan orgasme pertama kali di malam pertama.
Begitulah, dengan raut muka yang masih tampak kaget karena gebrakkan saya, kamu memanggil pelayan dengan sebuah gerakan tangan sambil berdiri. Pelayan datang dan mencatat, ia memesan satu cangkir kopi Aceh dan satu es lemon teh dan sepiring pisang bakar dengan taburan keju yang di dalamnya terdapat olesan selai kacang. Pelayan itu kembali ke tempatnya dan meninggalkan kami sebuah kalimat bahwa pesanannya akan datang tidak lebih dari sepuluh menit atau begitulah.
Kami mengangguk saja.
Kamu tersenyum.
Saya tahu arti senyum itu, ini akhir bulan, di dompetmu paling banter hanya ada Pak Imam Bonjol yang kucel. Hari ini saya yang traktir, jangan marah-marah ya.
Saya hanya menaikkan kedua alis. Dan kamu kembali melanjutkan ocehan. Saya kembali hanya mendengar.
Anda tahu, kan menjadi tong sampah memang tidak enak. Tapi apa yang bisa dilakukan seorang lelaki di hadapan perempuan yang di mulutnya seperti ada kecoa sehingga ia terus bicara, bicara, dan bicara.
“Kamu ini kenapa sih? Datang tiba-tiba dan dengan begitu saja ngoceh dan memaki-maki ibumu dan suamimu? Apa salah mereka sebetulnya? Kamu keguguran lagi? Dan ibumu terus-menerus minta dihadiahi cucu yang kembar tapi kamu dan suamimu terlampau sibuk untuk membuat anak? Kutil babi itu apa sih? Apa hubungannya dengan ibu dan suamimu, Ran?” kata saya nyerocos guna memotong ocehanmu pada sebuah jeda setelah seorang pelayan datang dengan sebuah nampan yang berbentuk lingkaran dan menyajikan pesanan kami.
Pelayan itu menyusun sedemikian rupa: gelas di hadapan saya dan cangkir di hadapanmu serta piring di tengah-tengah—karena meja terlampau penuh, maka gelas yang kosong yang tadi berisi es lemon teh yang kamu tandaskan diangkat oleh pelayan dan diletakkan di atas nampan yang sudah kosong, dan saya menutup komputer jinjing saya tanpa menekan tombol shut down, lalu memasukkan ke dalam tas ransel saya.
“Sudahlah, Ran, terlampau riskan memiliki anak di masa perampasan tanah begitu massif oleh negara.”
Kamu tidak lekas menjawab.
Kamu memotong pisang bakar menjadi dua bagian dengan sebilah garpu yang ukurannya terlampau kecil, dan salah satu potongan itu dimasukkan ke dalam mulut. Sambil mengunyah kamu menjawab pertanyaan saya, atau lebih tepatnya melanjutkan ocehanmu.
“Aku tidak tahu harus menjelaskan apa dan bagaimana lagi kepada ibuku, Gus.” Itu kalimat sebelum satu potong pisang bakar masuk ke mulutmu.
Kamu mengunyah perlahan sambil tampak memikirkan kalimat selanjutnya. Saat mulutmu usai mengunyah, alih-alih melanjutkan kamu malah terdiam, dan tatapan menerawang jauh ke jalanan yang tampak macet. Lalu melanjutkan kalimatnya setelah meneguk cangkir kopi Acehnya dengan perlahan.
“Terlebih pada suamiku, padahal setahuku ia tolol dan sangat alergi pada urusan politik, dan karena itulah aku ingin menikah dengannya selain ia kaya-raya, tapi akhir-akhir ini ia terus omong politik bahkan di tempat tidur pun omong politik. Mulutku sudah berbusa menjelaskan kepada mereka bahwa apa yang mereka dapatkan di linimasa media sosialnya tidaklah bisa ditelan bulat-bulat.”
Kamu menahan nafas, karena asap mengepung mukamu. Tapi kamu tidak terbatuk. Matanya menyorot ke arah mulutku yang masih saja menghembuskan asap ke arah mukanya. Melihatnya disergap asap rokok saya tertawa terbahak.
“Mereka masih saja percaya bahwa gubernur itu harus dipenjara, dan jika tidak itu berarti revolusi harus terjadi. Tidak bisa tidak, kata mereka. Karena negara sudah tidak lagi membela agama. Negara malah membela penista agama. ‘Revolusi harus terjadi, dan kitalah yang harus memulainya. Masa agama dilecehkan kita diam saja?’ begitu ancaman mereka tentang situasi yang membuat rumah akhir-akhir ini menjadi tidak asyik. Kupikir hanya di linimasa saja yang tidak asyik. Aku keliru.”
Kamu masih terus ngoceh mengabaikan asap di mukamu. Aku hanya bisa mendengarkan dan terus mengembuskan asap rokok ke mukamu.
“Tidak ada darah yang halal di negeri ini. Seperti juga, setiap orang boleh menjadi pemimpin di negeri jika ia memang pantas dan memiliki kualitas. Kecuali ia orang gila.”
Kini kata-katanya terdengar seperti gerutuan, dan saya hanya bisa mendengarkan, tentu saja.
*
SAYA DIAM sesaat alunan lagu Jhon Mayer berjudul entah apa menemani pikiran saya: memastikan saya sedang tidak salah berbicara dengan sesiapa, dan perempuan di hadapan saya benar-benar perempuan yang saya tunggu sejak dua jam yang lalu. Sebab, saya datang ke kedai itu—yang letaknya tidak jauh dari kantor saya, karena janji dengan seorang teman-lama bahwa saya ingin meminjam uang kepadanya. Ia teman baik saya semasa kuliah di Yogya dulu. Saya jurusan filsafat dan ia jurusan sejarah, dan kami bergabung di sebuah organisasi literasi yang sama. Ia penulis yang baik, Anda tahu, seorang mahasiswi sejarah ialah seorang penulis yang sangat rigid dalam persoalan fakta dan data sejarah, sehingga tulisannya lebih mirip sebuah diktat ketimbang tulisan fitur yang tengah membahas topik up to date. Dan karena itulah saya sering mengejeknya bahwa ia menulis seperti seorang sejarawan yang menyerupai resi dan tengah menuliskan kitab suci bahwa kata-katanya serupa sabda yang musti-kudu didengar dan dijalankan, jika tidak akan terjadi gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor dan sebagainya. Dan ia tidak senang mendengar guyonan saya itu. Ia sempat tidak mau bicara dengan saya selama beberapa waktu, hingga akhirnya saya mesti meminta maaf kepadanya saat ia ulang tahun dan merayakan satu tahun pacaran dengan kekasihnya (yang sekarang menjadi suaminya sich!), dan saya harus memberinya sebuah buku yang ingin sekali dia baca tapi memang sudah tidak terbit lagi dan sangat sulit dicari, dan bangsatnya, ia enggan meminta kepada kekasihnya yang orang kaya baru itu karena enggan dibilang ‘perempuan matre’, tapir memang. Dan saya selalu percaya bahwa mukanya lebih mirip tapir betina, meski banyak teman yang mengatakan dia cantik seperti bintang film Amerika. Tapi saya percaya dia tapir.  
Ia bernama Kirana. Perempuan yang lahir dan tinggal di Jakarta, dan kini sudah bersuami seorang penguasa properti, senior beda jurusan, gemar naik gunung semasa kuliah dulu, dan anak seorang pejabat masa rezim militer yang lalu. Kirana kini bekerja sebagai peneliti lepas di sebuah lembaga think-tank milik salah satu pengusaha yang sekarang tengah terjun ke panggung politik—ia bekerja di perusahaan tersebut berkat kenalan baik suaminya.  
Dan saya tidak keliru bahwa di hadapan saya adalah Kirana. Meski mukanya dilapisi debu yang bercampur dengan keringat. Tidak seperti biasanya, memang, yang menggunakan mobil sehingga mukanya selalu bersih dan ceria, sore itu Kirana datang menggunakan ojek-aplikasi yang berhelm hijau itu. Saya masih bisa mengenali laku gerak tangannya saat ia sedang bercerita atau menjelaskan sesuatu. Itu sudah dilakukannya sejak saya mengenalnya di semester awal kuliah. Seolah dengan gerakan tangannya itu, ia yakin, membuat penjelasannya melalui suara cemprengnya menjadi lebih mudah dipahami. Dan saya rasa itu sia-sia. Sebab jika tangannya Anda ikat di punggungnya, atau di sebuah batang pohon beringin, atau diborgol, Anda akan tetap bingung dengan apa inti persoalan yang diceritakannya. Karena apa yang ingin dikemukannya itu berputar-putar seperti layang yang salah tali-kamanya—inilah yang membuat saya lebih memilih untuk membaca tulisan-tulisannya, ketimbang mendengarkannya menjelaskan sesuatu, yang rasanya membuat saya ingin menyumpal mulutnya dengan bungkus rokok. Di titik itulah Anda harus percaya bahwa banyak orang yang lebih asik dibaca tulisannya ketimbang mendengar omongannya. Dan Kirana adalah penulis yang baik. Itu membuat saya iri, dan itulah mengapa saya mengejeknya. Bahwa sirik adalah tanda tidak mampu itu betul, dan jauh lebih betul adalah ejekan merupakan bagian dari sirik. Anda harus memahami hal itu bila Anda berteman dengan orang-orang keren.
Dalam urusan tulis-menulis, Kirana jauh lebih baik ketimbang saya. Itulah juga mengapa sekarang saya hanya bekerja sebagai editor buku-buku pelajaran di sebuah penerbit, yang jika saya sebutkan namanya pun Anda tidak akan tahu, sebab nama penerbit itu lebih mirip nama obat kuat ketimbang nama penerbit buku pelajaran.
*
“AKHIR-AKHIR ini memang lucu, Ran. Banyak teman-teman di kantorku juga mengeluh hal yang kamu keluhkan.”
Kamu masih menatap saya.
“Ada anak yang berantem dengan bapaknya gara-gara yang si anak percaya gubernur itu tidak salah, dan ia hanya dijadikan sasaran-tembak politik saja, sementara si bapak percaya bahwa gubernur itu sudah menistakan agama dan harus digantung di Tugu Monas. Atau ada juga suami yang membentak-bentak istrinya hanya karena istrinya percaya omongan ustazahnya yang bilang gubernur itu halal darahnya, dan lain-lain, dan sebagainya…
“Rumah menjadi enggak asik. Bahkan ada orang tua yang mengancam anaknya dengan dicoret namanya di kartu keluarga bila ia nekat tetap memilih gubernur di pemilihan tahun depan. Persoalan gubernur melakukan penggusuran tidaklah dianggap penting, padahal itu menyangkut hidup orang banyak. Tuhan Yang Maha Besar dibela, orang yang rumahnya digusur tidak dibela. Ini memang sudah gila, Ran.”
Saya mengambil garpu di atas piring pisang bakar itu. Saya tusuk pisang bakar dan masukkan ke dalam mulut saya. Ukuran pisang itu lumayan besar, sehingga mulut saya penuh saat mengunyahnya. Dan di hadapan saya, kamu memandang ke arah gawainya dengan mulutnya tampak berkecimuk. Kamu seperti mengucapkan sesuatu tapi teramat pelan sehingga saya tidak mendengarkan apa yang dikatakannya. Saya tidak peduli.
Saya terus mengunyah. Hujan mulai turun. Membuat kaca bening jendela di sebelah kanan saya yang menghadap ke jalan raya—karena saya duduk di bagian pojok kedai itu dan terdapat sebuah jendela dengan ornamen bergaya industrial—mulai menampakkan jejak-hujan akibat tempias. Di luar jalanan macet dan mungkin banyak genangan, seperti biasa, akibat drainase yang tidak beres. Ada sebuah mobil yang berhenti di bahu jalan, dan saya melihat dua orang (lelaki dan perempuan, sepertinya sepasang kekasih atau suami-istri, kita tidak tahu) tengah bertengkar di bawah guyuran hujan. Si-Perempuan mengacung-acungkan telunjuknya ke muka Si-Lelaki sambil mengucapkan sesuatu, mungkin sebuah omelan. Kita tidak tahu. Tampak seorang lelaki yang mengenakan payung (mungkin tukang parkir, atau sejenisnya lah) mencoba melerai perkelahian itu karena tampak kendaraan-kendaraan di belakang mobil yang berhenti di bahu jalan itu mengular dan mengakibatkan kemacetan yang lumayan parah. Mungkin saja bunyi klakson terdengar memekakkan telinga. Tapi kita tidak mendengarnya, karena ruangan kedai itu kedap-suara dan musik masih mengalun yang terdengar dari alat pengeras suara yang tergantung di sudut-sudut kedai, bersembunyi di antara lukisan dan pigura foto-foto tempo dulu yang menjadi ornamen di dinding. Namun Si-Lelaki itu tampak memukul Si-Lelaki-Berpayung sebanyak tiga kali ke arah muka dan bagian belakang kepala layaknya seorang petinju di atas sebuah ring, hingga Si-Lelaki-Berpayung terjengkang dan jatuh di sebuah kubangan, payungnya terlepas dari pegangannya sejak pukulan pertama mendarat di rahang sebelah kanannya, dan payung itu terbawa derai hujan dan angin, Si-Lelaki-Berpayung (yang kini tanpa payung) tidak peduli. Ia kembali berdiri, dan berjalan sempoyongan ke arah Si-Lelaki yang sudah bersiap menghajarnya lagi. Tampak seperti ada darah yang menetes dari sudut bibir yang pecah, meskipun saya tidak yakin itu benar-benar darah atau sekedar tetesan air hujan. Dan Si-Perempuan pergi begitu saja, meninggal Si-Lelaki yang kini baku-hantam dengan Si-Lelaki-Berpayung itu. Dan beberapa orang datang (sepertinya teman-teman Si-Lelaki-Berpayung yang mungkin sedari tadi hanya menyaksikan temannya berkelahi dari salah satu sudut itu), ikut memukuli dan menendang dan menginjak Si-Lelaki hingga ia terjengkang dan tersungkur ke sebuah selokan. Hingga akhirnya Si-Lelaki itu berdiri dan lari dari kejaran gerombolan orang yang tadi mengeroyoknya dan kemudian masuk ke dalam mobilnya, dan mobil itu melaju begitu saja, sampai sebuah batu sebesar kepala orang dewasa menghantam kaca bagian belakang mobilnya yang dilempar oleh salah satu teman Si-Lelaki-Berpayung.
Saya kembali menatap Kirana di hadapan saya yang kini tengah menatap saya. Kami bertatapan, mungkin Kirana melihat apa yang saya lihat tadi, dan karena itu saya teringat suatu peristiwa ketika Kirana jatuh cinta dengan salah seorang teman saya yang meninggal dunia karena gegar otak akibat diinjak-injak tentara saat aksi demonstrasi tengah panas-panasnya di ujung kekuasaan rezim militer itu. Jika ingatan saya tidak keliru, itu terjadi duapuluhtahun yang lalu. Ia lelaki yang gemar memakai kaos dan sendal jepit, dan kita akan lebih sering melihatnya di perpustakaan ketimbang di ruang kelas—karena itulah Kirana jatuh cinta kepadanya, dan ia adalah lelaki yang dicintai Kirana sebelum akhirnya Kirana merajut cinta dengan lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Dan saya tahu, suaminya tidak pernah tahu cerita itu.
“Mengapa kita akhir-akhir ini senang sekali bertengkar dan gemar untuk menyulut sebuah pertikaian, Gus?”
“Siapa yang sampean maksud ‘kita’? Tentu saja bukan aku dan sampean, kan. Sebab terlampau tolol orang yang bertengkar lalu mengajak ketemuan hanya untuk meminjam uang, Ran.”
Kirana tidak menjawab. Memang saya tidak berharap sebuah jawaban. Gerak tubuhnya seolah mengatakan Sudahlah Gus jangan terlampau melucu melulu. Aku kan sudah bilang leluconmu sama sekali tidak lucu. Dan saya mengerti betul gerak tubuh itu.
“Begini, Ran, kita terlampau sering bergawai-ria. Dan di gawai itulah pertengkaran dan sumber pertengkaran bermula dan ada di mana-mana. Di linimasa kita. Cobalah setengah hari saja tidak bergawai, selain saat tidur tentu saja. Maka, percayalah, harimu akan lebih bahagia. Jauhi hal-hal yang membuatmu ingin bertengkar dan dari sumber-sumber pertengkaran. Media sosial, kau tahu, 70 persen adalah pertengkaran dan sisanya adalah pengetahuan. Meskipun aku tahu itu bukan hal yang gampang bagi kita manusia kota.”
Kirana tidak lekas merespon kata-kata saya. Ia kembali menatap ke arah sorot mata saya. Sehingga saya dapat melihat dengan jelas bola matanya yang memancarkan sesuatu yang sama sekali tidak bisa saya terka apa yang sedang dipikirkannya. Sialnya saya malah melihat lelaki yang dicintai sebelum suami Kirana di bola mata itu. Bola mata itu seperti bergerak-gerak, meski saya tahu betul ia tetap di tempat semestinya. Tetapi, jika Anda melihat bola mata itu, maka Anda akan segera menyadari bahwa Anda sedang dalam situasi percakapan yang tidak biasa. Maksud saya, dengan memahami sorot mata lawan bicara, Anda akan lekas mengetahui situasi dan mengerti duduk-perkara dan kemana arah percakapan selanjutnya. Dan sial bagi saya, saya tidak bisa menebak arti dari sorot mata itu, selain bayangan lelaki yang kepalanya diinjak-injak tentara, meski saya telah mendengar ocehannya sejauh ini.
“Bagaimana dengan ibu dan suamiku? Kau tahu Gus, mendengarkan hal-hal yang itu-itu saja selama beberapa jam dan berhari-hari adalah hal yang sangat menyebalkan. Dan lebih mengenaskan karena kau tidak bisa menyumpal atau setidaknya membuat sumber yang menyebalkan itu untuk diam.”
Kirana terdiam sesaat. Ia seperti memikirkan sesuatu, atau lebih tepatnya memikirkan apa yang musti dilontarkan saat itu.
“Karena itu ibumu dan suamimu. Orang-orang terdekat dalam hidupmu. Apa yang diucapkan oleh seorang anak dan istri hanyalah air seni di pagi hari.” Kirana terdiam lagi. Wajahnya tampak mengendur, seperti usai menahan sesuatu.  
Kini saya terdiam. Sama sekali tidak menatap bola mata itu. Dan saya mencari garpu di atas piring. Tapi pisang bakar di atas piring itu tandas. Akhirnya saya hanya menggerak-gerakkan garpu itu serupa sebatang rokok di sela-sela jari tengah dan jari manis saya. Gudang Garam di bungkus itu kosong. Saya memandang wajah Kirana yang seolah menunggu jawaban saya. Saya tidak berani mengatakan apa-apa. Saya hanya meneguk sisa es lemon tea yang sudah tawar rasanya.
“Suamiku mengancam cerai bila aku tetap pada pilihanku dan tidak ikut mendukung pilihannya di pemilihan tahun depan. Itu brengsek, Gus. Bukan karena aku takut berpisah dengan suamiku. Bukan. Meski kau tahu, aku lebih senang bangun siang hari dan lalu menyeduh kopi ketimbang datang ke bilik suara di hari pemilihan nanti. Tapi…”
Kirana tidak melanjutkan kalimatnya. Wajahnya kembali tampak seperti menahan sesuatu. Ada butir air mata yang tumpah di pipinya. Ia gagal menelan ludahnya sendiri. Itu membuatnya terbatuk-batuk, dan air matanya semakin banyak yang tumpah. Saya menepuk-nepuk punggung tangannya yang sudah mengepal seperti ingin meninju sesuatu saat memulai ocehannya sedari tadi, berharap emosinya mereda dan berhenti menangis yang saya pikir tidak patut untuk ditangisi. Meski saya tahu, betapa terpukulnya mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut orang yang sudah beberapa tahun menjadi teman tidurmu saban malam hari.
“Maaf, aku terlampau cengeng. Aku hanya tidak habis pikir mengapa kata-kata itu keluar dari mulutnya, dan ibuku mendukung kata-kata itu. Tai!”
Saya menggelengkan kepala, berharap ia tidak tersulut emosinya sendiri. Meski ia sudah tidak terbatuk, saya memanggil pelayan kembali dan memesan air mineral, dan pelayan itu datang dalam tempo yang cepat. Air mineral itu saya sodorkan kepada Kirana. Dan ia meneguk secara perlahan setelah tutup botolnya saya buka. Saya melakukan itu karena teringat wejangan guru ngaji saya dulu, katanya bila Anda sedang marah siramlah kemarahanmu dengan air, dan sebaik-baiknya air adalah air wudu. Dan karena saya tidak mungkin menyuruh Kirana untuk wudu, sebab kedai itu tidak menyediakan musala, dan saya sangat paham Kirana—menyuruhnya sembahyang sama saja seperti menyuruh anak Nabi Nuh naik ke bahtera, dan sangat mungkin ia malah menceramahimu bahwa agama adalah biang segala bencana dari masa ke masa, dan hal-hal lainnya. Sebab itu pernah saya saksikan sendiri semasa kuliah dulu, saat seorang aktivis-musala menyuruh Kirana untuk sembahyang dan ikut kajian Jumat, yang terjadi bukanlah Kirana yang bergegas ke musala melainkan aktivis-musala itu yang diwejangi segala macam kisah dan catatan sejarah tentang agama yang selalu menjadi penyebab perang dan pembunuhan besar-besaran—hingga banyak orang menyaksikan aksi Kirana itu, dan sejak itulah Kirana disebut ‘tidak beragama’ lah ‘komunis’ lah ‘tidak bertuhan’ lah ‘Gerwani’ lah ‘lonte’ lah ‘bispak’ lah dan sebutan-sebutan najis lainnya—meski ia biasa saja dengan sebutan-sebutan itu. “Emangnya gua pikirin!” kata Kirana saat mendengar ‘gogon’ (gosip underground) itu. Sebab, katanya kepada saya saat kami sedang berdiskusi tentang Islam pada masa Orde Baru, ‘aku percaya pada takdir dan nasib—termasuk takdir dan nasib menjadi seorang jomblo, tapi aku tidak mengimani hari akhir dan terlebih ritual-ritual yang kita sebut sebagai ibadah itu’. Saran saya jangan tanya kenapa bila Anda tidak ingin bernasib seperti aktivis-musala itu. Begitulah Kirana yang saya tahu.  
“Gus,” Kirana kembali tidak melanjutan kalimatnya. Ia tampak begitu murka. Ia menggigit bibir atas sebelah kirinya.
Entah mengapa saya membayangkan Kirana mengucapkan kalimat, Gus, membunuh ibu kandung dan suami dengan racun tikus itu dosa dan durhaka enggak? Jika kalimat itu benar-benar keluar dari mulutnya, maka saya akan menempeleng kepalanya dengan piring dan menimpuk kepalanya dengan gelas. Bukan karena saya merasa itu kalimat yang tidak patut diucapkan oleh seorang anak dan istri terhadap ibu dan suaminya, melainkan saya yakin kalimat itu keluar kecerdasan otak yang mampu meraih nobel fisika dan disia-siakan hanya karena ia warga Negara Indonesia. Sehingga saya merasa otak itu harus dilenyapkan. Terlebih otak itu milik manusia yang tercatat sebagai warga negara Indonesia. Pokoknya begitulah.
Tapi saya keliru. Sebab Kirana mengatakan kalimat yang benar-benar tidak ingin saya dengar hari itu.
“Gus, dompet saya ketinggalan di rumah. Hanya ada uang dua puluh ribu di saku celana.”
Tapir bunting! umpat saya di dalam hati, dan terbayang nota pembayaran yang harus dibayar di kedai itu, dan juga terbayang anak perempuan saya yang merengek-rengek minta dibelikan sepatu roda sebab teman-teman sebayanya sedang gemar bermain sepatu roda, dan istri saya yang mesti membayar uang arisan. Tapir![] @cheprakoso  
Jatikramat, November 2016  
 

Komentar

Postingan Populer