KISAH CINTA MILENIAL XIX

KISAH CINTA MILENIAL XIX

Kredit Gambar: Pebble (dot) com
ADA PATUNG salib menempel pada dinding. Juga patung Maria menggendong anaknya. Angin berhembus. Matari menyengat kulitnya. Pada sebuah altar Goa Maria yang dikelilingi taman dengan beragam tanaman yang sebagian besar sedang berbunga dan sebagian lainnya sudah tampak pentil-buah, di sisi sebuah gereja, Romo Anto, dengan jubah menyentuh tanah, duduk jongkok di hadapan sebuah batu. Mencoba mengajak ngobrol batu.

“Batu, kamu pernah merasakan jatuh cinta?”

Batu itu tidak menjawab, tentu saja.

Romo Anto tetap jongkok dan seperti sedang berhadapan dengan jemaatnya saat Sakramen Tobat.

“Ini bukan jenis cintaku kepadaNya. Aku mencintai seorang perempuan. Aku tahu ini sebuah dosa terlarang,”

Sekali lagi, batu tidak menanggapinya. Itu kejadian beberapa tahun lalu sejak enam tahun Romo Anto dinobatkan sebagai pastor paroki.
*

“MENGAPA Romo menulis buku fiksi, bukankah ini semua diambil dari kenyataan hidupmu?”

“Kamu dari wartawan mana?”

“Apakah yang datang dan boleh mengajukan pertanyaan hanyalah wartawan?”

Romo Anto tak lekas menjawab. Ia hanya mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas bukunya. Sesi diskusi perluncuran buku itu sudah memasuki tahap akhir.

“Apa alasan Romo akhirnya menikah?” tanya wartawan itu tanpa mengacukan moderator yang telah ingin menyudahi diskusi.

“Aku bukan seorang romo lagi. Jangan panggil aku ‘romo’ lagi...”

Di balik keriuhan acara peluncuran buku itu, di salah satu sudut gedung, ketika acara usai Romo Anto menjelaskan alasan-alasannya melepas jubah pastornya dan pembimbing umat kepada wartawan tersebut.

“Nama saya Immanuel, Romo,” kata wartawan tersebut seusai berjabat tangan. Lalu Immanuel menyebutkan nama media tempat ia bekerja. “Ketika dengar kabar Romo menikah, saya bertanya-tanya. Saya datang ke sini bukan dalam rangka kerja, Romo. Saya ingin membunuh pertanyaan di benak saya...”

Romo Anto hanya tersenyum. Ia seperti mencari sesuatu di saku kemeja hitam, tidak ada, dan kantung celana hitamnya. Ia mengeluarkan bungkus rokok dan koreknya.

Lama mereka saling berpandangan. Mungkin Romo Anto teringat sosok Pastor TurrionPastor yang menanggalkan imamatnya setelah bertahun-tahun membangun rumah tangga secara sembunyi-sembunyi. Pastor Turrion memiliki seorang istri dan dua orang anak. Akhirnya ia menuliskan surat ke Gereja Katolik Roma, dan memutuskan keluar dari imamat dan seminari. Ia menyatakan secara publik.

Boleh saya rekam, Romo, kata Immanuel. Tidak, kata Romo Anto dengan gerakan tangan dan gelengan kepala.

“Saya bukan lagi ‘Romo’, Bung. Panggil saja aku ‘Bapak’...” katanya sambil menyalahkan rokok kreteknya.

Akhirnya kita hanya tahu sepenggal kisahnya mengapa ia menanggalkan jubah kepastorannya.  Aku tak bisa cerita banyak mengenai itu. Kau tahu Pastor adalah kaum tertahbis, dan dalam tradisi Gereja Katolik Roma, mereka hidup secara selibat atau tidak menikah dengan tujuan agar lebih fokus dalam melayani umatnya. Keputusannya meninggalkan imamat dan seminari kira-kira bisa dipenggal beberapa bagian. Pertama, aktivitasnya di pemberdayaan masyarakat yang menjadi prioritasnya beberapa tahun belakangan. Sebutan ‘Romo’ membuat ia kerap dicurigai upaya kristenisasi. Kedua, dan ini yang menjadi gunjingan sejumlah pihak, pilihannya menikah perempuan yang dicintainya. Aku yakin ada penggalan cerita lain. Tapi kamu tahu kan, aku belum baca buku terbaru Romo Anto. Buku tersebut belum bisa aku baca dari Immanuel ketika ia bercerita tentang Romo Anto. Immanuel belum merampungkannya.

“Kamu baca saja buku terbaru saya, Bung...” Anto—yang tidak mau lagi dipanggil ‘Romo’—mengakhiri ceritanya kepada Immanuel.

“Tapi, Romo, eh Bapak Anto,” potong Immanuel saat Anto mematikan rokok dengan tumit sepatunya. “Apa komentar keuskupan tentang keputusan, Bapak?”

“Aku sudah menuliskan surat ke Roma. Intinya aku meminta maaf. Meski sekarang aku memahami keputusan Turrion,”

“Maksudnya? Kamu berpikir bahwa kamu bukanlah orang terakhir yang akan menempuh keputusan ini?”

“Aku tidak mengatakan demikian. Yang ingin aku katakan adalah aku mencintai Tuhan Yesus dan Bunda Maria, dan aku juga mencintai perempuan yang menjadi bunda bagi anak-anakku,”

“Kalau begitu kenapa dulu kamu memilih menjadi Pastor?”

Anto tak menjawab pertanyaan itu. Ia bergeming seperti batu. [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer