(RABUN SEJARAH) ILMU SOSIAL DAN ILMU ALAM: BELAJAR KEPADA AL-BIRUNI

(RABUN SEJARAH) ILMU SOSIAL DAN ILMU ALAM: BELAJAR KEPADA AL-BIRUNI
Kredit gambar: D.D | 201
SEJAK berseliwerannya pamflet tersebut di linimasa, saya lekas terganggu. Bukan karena tampilan pamflet yang kurang arsty atau edgy atau apalah—kalau yang bikin Maestro D.D, saya selalu percaya hasilnya tak pernah mengecewakan. Saya terganggu karena pesan utama dalam pamflet itu. 

“Ilmu sosial kami lebih berguna ketimbang ilmu alammu” begitu tagline pamflet tersebut. Bagi saya, pertama tagline tersebut adalah puncak gunung es dari kekeliruan yang panjang. Kedua, tagline tersebut dari kearoganan yang fatal. Setidaknya sejarah menunjukkan kepada saya peradaban yang maju ialah peradaban yang tak memisahkan antara ‘Ilmu sosial’ dan ‘Ilmu alam’. Karenanya tagline tersebut terdengar lucu, sekali lagi, setidaknya di telinga saya. Itu kenapa di atas saya katakan terganggu.

Membedakan antara ‘Ilmu sosial’ dan ‘Ilmu alam’ adalah kesalahan yang fatal. Kesalahan tersebut, saya kira, bermula dari rabun sejarah. Gagal memahami sejarah. Dan itu kenapa saya harus menuliskan catatan ini. Sebab pemisahan antara ‘sains’ dan ’humaniora’— saya lebih senang menuliskannya demikian, memiliki cerita kelamnya sendiri. Klasifikasi yang sebermula diniatkan untuk mempermudah ilmu pengetahuan, kemudian malah memperumit dan acapkali menjadi tembok yang mempersulit gerak ilmu pengetahuan itu sendiri.

Lebih parah lagi ketika pemisahan tersebut dioperasionalkan dalam institusi pendidikan. Ujungnya kita tahu, dua matapelajaran/jurusan yang sukar dipahami, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam kacamata inilah kita terjebak dengan streotipe murahan bahwa ‘Anak IPA lebih pintar dan menjanjikan ketimbang Anak IPS’ atau ‘Anak IPS biang kenakalan’ atau ‘Anak IPA culun’ dkk dsb dls. Saya termasuk yang berusaha untuk tidak terjebak di streotipe murahan tersebut. Dan saya kecewa, karena malah kamu yang terjebak di streotipe itu. Kamu tahu, streotipe itu sebermulanya dari pembedaan antara Ilmu Sosial dan Ilmu Alam.

Padahal pembedaan itu keliru sejak dalam pikiran. Sebagai contoh silahkan kamu gunakan fitur Google Translate untuk mengetahui padanan yang sesuai untuk dua kata tersebut. Kalian akan menemukan alih-bahasa yang lucu.

Jika sudah, baiklah. Kamu tahu baik IPS atau IPA ketemu dengan Matematika dan Trigonometri, kan. Sekarang cobalah perhatikan soal berikut dan mulailah kerjakan:  
Titik P dan Q dinyatakan dengan kordinat polar. Tentukan jarak antar titik Pdan Q.

Kamu kesulitan, tenang saja saya kasih bocoran: pergunakanlah rumus trigonometri, lengkap dengan sinus, cosinus, dan tangen. Mungkin kamu lupa, berikut rumusnya:

Selagi kamu mencoba mengerjakan soal di atas saya akan lanjut bercerita. Kamu tahu, jauh sebelum pemisahan Ilmu Sosial dan Ilmu Alam, kita akan galib membaca seorang ilmuan yang menekuni sains dan humaniora sekaligus. Mari kita tengok cerita hidup ilmuwan Islam bernama al-Biruni.

Dalam catatan sejarah panjang peradaban Islam, al-Biruni merupakan ilmuan besar yang banyak melakukan eksperimen-eksperimen dalam pelbagai disiplin ilmu pengetahuan ini, hidup enam ratus tahun sebelum Galileo Galilei. al-Biruni menulis lebih dari 200 buah karya ilmiah, banyak di antaranya merupakan pembahasan ihwal pelbagai eksperimen yang dia lakukan. Al-Biruni lahir dengan nama Abu Raihan Al-Biruni (bahasa Persia: ابوریحان بیرونی ; bahasa Arab: أبو الريحان البيروني) di Khawarazmi, Turkmenistan atau Khiva di kawasan Danau Aral di Asia Tengah yang pada masa itu terletak dalam kekaisaran Persia. Dia belajar matematika dan pengkajian bintang dari Abu Nashr Mansur—seorang matematikawan dan pembahas yang tekun perihal trigonometri.
Kredit Infografis: Tirto (dot) ID
Karya-karya ilmiah al-Biruni itu mencapai 13.000 halaman (tidak termasuk yang hilang), jauh melampaui karya yang ditulis oleh Galileo atau, bahkan, kombinasi Galileo dan Newton sekaligus. Mungkin saja, tak ada seorang pun dalam dunia Islam yang mampu mengawinkan kualitas seorang saintis besar dengan cendekiawan nan cermat, penyusun dan sejarawan setingkat al-Biruni. Al-Biruni banyak melakukan perjalanan di daerah utara Persia. Sempat menetap di Jurjan, sebelah tenggara Laut Kaspia, lalu dia melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu hingga ke Rayy, dekat Teheran. Sejak itulah, al-Biruni menelurkan karya-karya besarnya dalam bidang matematika, astronomi, mineralogi, fisika, farmasi, biologi, geografi, bahasa, sejarah, dan perbandingan agama. Pengelanaan fisik berbanding lurus dengan pengembaraan intelektual.

Bagaimana dengan jawabanmu atas soal di atas, belum juga. Tenang saja. Saya masih akan meneruskan cerita. Mulailah tanya teman-temanmu untuk membantu menjawab. Boleh Anak IPA atau Anak IPS.

Bila menengok cerita tersebut, maka kamu tak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan al-Biruni bila pemisahan antara Ilmu Sosial dan Ilmu Alam terjadi. Lebih lanjut, kamu takkan bisa menjawab soal di atas. Karena berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO (1986) terhadap karya-karya al-Biruni menemukan bahwa terdapat teori-teori dan asumsi-asumsi geometri, di samping metode-metode orisinal pembuktiannya, yang berbeda dengan metode-metode dari para matematikawan Yunani Kuno. Sedangkan dalam trigonometri, al-Biruni bersama matematikawan muslim lainnya seperti al-Battani, Abu al-Wafa’, Nashir al-Din al-Thusi diakui sebagai para pelopor rumus trigonometri. Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO (1986) menyatakan bahwa nilai geometri dipandang sebagai milik Yunani, maka trigonometri harus dianggap milik Arab (ilmuwan Muslim). Mereka menggunakan istilah sinus untuk mengganti istilah “benang yang panjangnya dua kali busur”, yang amat efektif dalam mempermudah penyelesaian banyak masalah matematika. Mereka jugalah yang mula-mula mengenalkan istilah tangent dalam rasio-rasio segitiga. Menurut Komisi itu, buku-buku al-Biruni memperlihatkan bahwa dia sangat menguasai trigonometri, hukum proporsi-proporsi sinus dan tangent. Bahkan dia telah melakukan penelitian-penelitian untuk menentukan nilai tali busur, sinus dan busur yang lengkung, dan tentang sektor yang bulat dan rasio-rasio antara sinus-sinusnya. 

Sampai di sini, karena kamu belum juga rampung mengerjakan soal di atas dan waktu mengerjakan telah usai, saya harus katakan bahwa pamflet yang kamu seliwerkan di linimasa itu menunjukkan bahwa kamu rabun sejarah. Kamu memperpanjang kebodohan. Memisahkan antara Ilmu Sosial dam Ilmu Alam, adalah kesalahan fatal sejarah ilmu pengetahuan (Barat). Tentu saya tidak menyalakan kalian—sebab saya selalu percaya kesalahan peserta didik adalah kesalahan guru mula-mulanya.

Kamu tahu saya akan lebih senang bila pamflet itu bertuliskan: “Ilmu Sosial dan Ilmu Alam bersatulah dengan riang dan gembira.” Dan saya berharap hanya saya yang kelewat serius. Itu saja. [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer