KISAH CINTA MILENIAL XXIII

KISAH CINTA MILENIAL XXIII
Kredit Gambar: GreekReporter(dot)Com

PADA SEBUAH KEDAI kamu berbincang dengan seorang filosof. Ia berjubah dan tanpa alas kaki.  Wajahnya penuh peluh. Seperti usai menyusuri kaki gunung. Tapi ia tampak ceria duduk di hadapanmu. Kamu bertanya dan filosof menjawab.

“Apa yang paling indah?”

“Semesta.”

“Apa yang paling kuat?”

“Takdir.”

“Apa yang paling sulit?”

“Memahami diri sendiri.”

“Apa yang paling mudah?”

“Memberi nasehat.”

Tiba-tiba pelayan kedai tiba ke meja kalian. Filosof tersenyum ke arah pelayan yang tiba membawa nampan berisi kudapan dan cangkir kopi. Pelayan menatanya sedemikian rupa. Kamu menyeruput kopimu. Filosof memotong roti bakar dengar garpu.

Lalu kamu masih bertanya dan filosof masih menjawab.

“Bagaimana cara hidup yang baik?”

“Hiduplah dengan tidak melakukan apa yang bila itu dilakukan orang lain maka kamu tidak suka dan akan mencela.”

“Apa yang membuat bahagia?”

“Lahiriah sehat. Batin sehat. Dua-duanya penting.”

Kamu diam sesaat seperti memikirkan sesuatu.

Akhirnya kamu hanya menggeleng dan menunduk. Filosof hampir menghabiskan seporsi roti bakarnya. Kini filosof bertanya dan kamu enggan menjawab.

“Kenapa kamu tampak bersedih?”

Kamu tidak menjawab. Kamu hanya melirik ke arah filosof. Kamu lihat mukanya yang penuh brewok.

“Sobat,” kata filosof berjubah kepadamu sambil mengambil cangkir kopinya. Lalu meneguk perlahan. “Aku tahu besok malam Minggu. Dan kamu seorang jomblo. Tidak ada salahnya menjadi seorang jomblo pada malam Minggu,” kemudian filosof meletakkan cangkir kopinya kembali.

Kamu menatap filosof. Kamu seperti melihat dirimu di mukanya.

“Pak Filosof yang baik,” katamu kepadanya dengan nada penuh ejekan. “Hidupmu membujang puluhan tahun, tolong kali ini jangan ceramahi saya perihal asmara. Kamu tidak tahu apa-apa tentang asmara.”

“Justru itu, Sobat!” kata filosof sambil menggebrak meja. Bikin piring, cangkir, asbak, vas bunga dan bungkus rokok terguncang.

Kamu terdiam. Kaget. Filosof malah cengengesan melihat kekagetanmu.

Akhirnya kamu menangis setelah mendengar filosof bercerita tentang kawannya bernama Solon. Syahdan Solon tiba di rumah filosof dan mereka berdiskusi. Usai berdiskusi, filosof berjubah mengantar Solon ke halaman untuk pulang.

“Sahabatku, kenapa kamu enggak menikah? Menikah itu asyik lho....” kata Solon kepada filosof. Mereka melewati sejumlah ruang yang dihiasi patung, porselen, lukisan dan sejumlah ukiran di dinding.

Sambil berjalan Solon terus bercerita tentang indahnya pernikahan. Filosof hanya manggut-manggut. Mereka tiba di depan pintu gerbang. “Jadi kenapa kamu enggak nikah?” kejar Solon.

“Nanti kamu akan tahu jawabannya,” jawab filosof datar.

Di tengah perjalanan pulang, Solon bertemu pemuda satu kampung dengannya.

“Pak Solon?” tanya pemuda. Pemuda itu seperti mengenali Solon. Tidak sebaliknya.

“Ya?”

“Ada seorang perempuan dan anaknya meninggal dunia di Athena. Tapi tidak tahu mereka siapa....”

Wilayah Athena adalah tempat tinggal Solon. Solon bertanya ciri-cirinya, dan Si Pemuda menjelaskannya. Lalu Solon menangis seketika mengetahui ciri-ciri tersebut. Karena ciri-ciri tersebut mirip dengan istri dan anaknya.

Solon segera menuju rumahnya. Solon amat khawatir. Ia terus melaju dengan menangis. Setiba di rumahnya ia melihat istri dan anaknya sedang duduk-duduk santai di ruang tengah. Istrinya menikmati alunan musik dari tetabuhan. Anaknya bermain catur. Semua tampak baik-baik saja. Ia bersyukur apa yang diungkapkan pemuda tadi tidak benar.

Berminggu kemudian Solon berkunjung kembali ke rumah filosof berjubah. Solon lantas menceritakan pengalamannya beberapa waktu lalu. Filosof hanya cengengesan mendengarnya.

“Sahabatku Solon, akhirnya kamu tahu kan kenapa aku tidak menikah.” Kata filosof saat mereka tiba di taman belakang.

“Maksudmu?”

Melihat mimik wajah Solon, filosof berjubah makin ketawa ngakak.

Usai menahan sakit perutnya karena tertawa, filosof menceritakan bahwa pemuda yang mengaku dari Athena adalah seorang aktor. Ia tetangga filosof dan diminta untuk berakting kepada Solon.

Solon geleng-geleng kepala.

“Apa artinya pernikahan bila akhirnya akan berpisah dengan istri dan anak kita? Dan semua orang tidak pernah siap dengan itu....”

Solon masih geleng-geleng kepala.

Kamu masih menangis. Filosof menepuk-nepuk punggungmu. Kamu mencoba berhenti dari tangismu.

“Kamu kenapa menangis sih? Nasibmu enggak sesuram Solon, kan Sobat?”

Akhirnya kamu hanya menggeleng. Persis seperti Solon menggelengkan kepala di hadapan filosof. Meski kamu enggak yakin dengan gelenganmu.

Hingga kamu yakin siapa yang hadir di hadapanmu. “Sorry, sudah menunggu lama, Sayang...” katanya kepadamu membuyar lamunanmu. Buku Alam Pikiran Yunani karya Mohamad Hatta masih terbuka. Dan kamu menutupnya. [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer