KISAH CINTA MILENIAL XXIV

KISAH CINTA MILENIAL XXIV
Kredit Gambar: Lil Dominson | Imgur (dot) com

“MOM, KENAPA AYAH enggak pernah antar dan jemput aku sekolah? Kyya selalu diantar dan dijemput ayahnya...”

“Ayah sibuk kerja di luar kota, Thara, Sayang. Nenek kan selalu antar dan jemput kamu,”

“Ayah setiap saat sibuk. Bahkan video-call aku saja enggak...”

“Ayah kerja kan untuk kamu sekolah. Untuk kita jalan-jalan ke Disney tiap bulan. Ayah sibuk memang untuk kita, Thara Sayang...”

“Aku lebih senang diantar dan dijemput ayah ke sekolah daripada ke Disneyland, Mom. Lagian aku enggak pernah lihat ayah. Aku cuman mendengar ayah...”

Itu dialog bertahun-tahun yang lalu. Dan aku masih ingat karena dialog itu atau sejenisnya selalu terjadi seusai aku melihat temanku diantar dan dijemput sekolah. Ketika kami bertemu, aku selalu merengek kepada Mommy tentang keberadaan ayah.

Mommy tak pernah melanjutkan dialog ketika sampai di titik itu. Lantas ia mengusap-usap rambutku.

Hingga akhirnya beberapa hari yang lalu, di sebuah restoran Jepang cepat saji, Aklema, kakakku, mengatakannya kepadaku.

Mendengarnya air mataku membasahi pipi dan aku meraung-raung bahwa Aklema bohong dan apa yang kudengar adalah lelucon belaka. Aklema memelukku. Ia meminta maaf karena butuh 10 tahun untuk mengatakan hal itu kepadaku. Seperti Mommy, Aklema mengusap-usap rambutku. Aku masih menangis di pelukkan Aklema. Di momen itu, dengan air mata membasahi pipi dan baju Aklema, aku teringat kembali dialog-dialog tersebut dan raut muka Mommy saat mengusap-usap rambutku.

“Aku tahu ini fakta yang pedih, Thara.” Kata Aklema persis di telingaku. Ia masih mengusap-usap rambutku.


*
HUJAN MULAI turun persis ketika kami meninggalkan pelantaran parkir dalam Honda Brio milikmu. Kami harus berkendara pelan-pelan ke apartemenku karena bilah-bilah wiper mobilmu begitu tua hingga meninggalkan aliran air sebesar butir jagung di kaca depan. Badai dan petir bersahutan hingga malam.

Jam digital di mobil menunjukkan angka 11:35 ketika kami tiba di pelantaran parkir apartemen.

“Kamu yakin mengendarai mobil dengan situasi begini, Ivonne?” kataku kepadamu.

Kamu menjawab dengan gelengan kepala dan tersenyum kepadaku. Kami berjalan melewati mobil-mobil terparkir, koridor, dan lift sambil berpegangan tangan. Sesekali kami berciuman.

Alih-alih menyetir pulang, kamu tetap tinggal, memutar kaset kompilasi lagu lama milik mantan pacarku (yang telah kupindahkan ke CD), memuji elektrik Mom ketika musik beralih dari Pretenders ke O’Jays dan ke Taj Mahal.

Sambil duduk di sofa menghadap ke kaca yang menyuguhkan pemandangan Jakarta di tengah malam, kamu memejamkan mata seolah menikmati alunan musik. Saat itu Real Wild Child dari Iggy Pop mengalun, kamu membuka matamu dan bertanya kepadaku.

“Kau mendengarkan musik dari setengah abad terakhir?”

Aku tidak menjawab. Tepatnya aku menjawab dengan cengengesan. Aku membuat nacos daging kalkun dengan keju parmesan. Juga beberapa sayuran yang kusiram saus ceasar. Kamu melangkah ke dapur dan membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol anggur. Dengan satu gerakan ke arahku, seolah berkata bolehkah kuminum anggur ini, Sayang, aku tersenyum kepadamu, sebagai tanda silahkan saja ini rumahmu.

Aku memasukkan nacos ke oven dan menyetel angka-angka. Lalu melangkah ke arahmu. Kamu duduk di sofa dan kutarik kursi agar bisa duduk di hadapanmu. Kamu minum anggur. Aku minum bir. Lalu aku menyalakan perapian Franklin-ku, dan kamu berkata seperti perempuan penjelajah di padang rumput. Kita tertawa mendengar pengandaian itu.

Dari kursi kayu bundar, aku duduk di sofa. Di sampingmu. Malam menjelang dan satu-satunya cahaya di ruang itu adalah dari perapian dan bayang-bayang lampu kelap-kelip di balik tirai yang menutup penuh seluruh kaca di ruangan itu. Dan level audio di sound systemku beralih dari hijau menjadi oranye dan terkadang merah. Musik terus mengalun dari satu lagu ke lagu yang lain. Petir di balik langit tampak berkilau dan hujan masih turun amat deras.

“Tahukah kau?” katamu kepadaku. “Ini Minggu.”

“Tentu saja, Sayang,” jawabku. “Setiap hari adalah hari Minggu. Itu kenapa aku selalu menikmatinya.”

“Itulah yang kukagumi darimu. Pintar. Perhatian. Santai hingga mendekati malas.”

Tepat di titik itu aku tertawa terbahak. “Ucapanmu beralih dari pujian menjadi hinaan.”

“Ubah kata malas menjadi lamban, bila kamu merasa terganggu.” Katamu sambil menyecap anggur. “Intinya aku menyukaimu.”

“Aku juga menyukaimu,” aku memandang ke wajahmu sambil berpikir apakah percakapan ini mengarah ke arah tertentu. “Kamu merayuku?”

“Tidak,” jawabmu. “Namun bila kamu anggap itu sebuah rayuan, itu urasanmu. Maksudku urusanmu untuk termakan rayuanku atau tidak.”

Kamu masih menatapku dengan tatapan yang kuanggap sebagai rayuan. Tahilalatmu di sebelah kanan atas bibirmu tak terlihat jelas karena penerangan ruangan yang termaram. Aku menatapmu dengan pikiran yang ke entah.

Kami berkenalan dengan situasi yang tidak terbayangkan. Aku mengenalmu di sebuah ruang tunggu bandara ketika kamu tampak panik karena barangmu tertinggal di ruang pemeriksaan. Di saat kamu tidak tahu harus melakukan apa, di momen itulah aku tiba. Aku bekerja sebagai pegawai beacukai di Bandara. Melihatmu yang suntuk entah karena apa, aku memberanikan diri untuk menawarkan bantuan. Dan sejak itulah kami intens bertukar kabar melalui media sosial. Itu terjadi satu bulan yang lalu hingga kamu mampir ke apartemenku.

“Aku ingin menciummu,” dan kamu melakukan apa yang baru saja kamu ucapkan.

Sebelumnya selain kecupan ringan di pipi diiringi pelukan singkat, aku tak pernah membayangkan hal seintim ini kepadamu. Malam itu, kamu menawarkan versi baru sebuah keintiman antara perempuan dan lelaki dewasa. Dan aku berdebar, tentu saja. Aku terbayang Moura, anak perempuanku dan Natasya ibu dari Moura, istriku yang tinggal di Surabaya.

“Hei, tenanglah,” bisikmu. Lenganmu merangkul leherku. Kamu beraroma sangat menyenangkan dan terasa seperti anggur. “Ini Sabat. Hari Istirahat. Tidak akan melelahkan.”

Kami kembali berciuman, kali ini aku menjadi peserta yang tenang dan aktif. Lenganku memeluknya dan menariknya mendekat. Kami saling menyandar dan perlahan berubah santai. Aku melumat bibirnya dan perlahan mencoba membuka blouse yang kamu kenakan. Ketika aku kesulitan membuka, kamu membuka blouse dan rok dan semua yang kamu kenakan. Kamu juga membuka semua pakaian yang kukenakan.

“Bocah pintar,” desahmu.

Aku pun mendesah. “Seharusnya kita melakukan ini sebulan yang lalu,”

“Kurasa kita punya sedikit waktu untuk bermesraan,” bisikmu lagi.

Aku melakukan semua yang kamu minta. Aku lupa diri.

Dan itu bukan pertama dan terakhir kalinya kami bermesraan. Mungkin ada 10 atau 11 malam atau sore yang penuh gairah antara kamu dan aku. Hingga akhirnya kita tak pernah bertemu lagi.


*
“KLEMA, KAMU mengetahui cerita itu darimana?”

“Kamu tak perlu tahu aku mengetahuinya darimana, Thara. Yang jelas aku mengetahuinya dan cerita-cerita lainnya yang kukumpulkan  sejak 5 tahun terakhir dengan luka hati yang berdarah-darah...”

Kami yang selisih usia 2.5 tahun, berpelukan. Aklema, yang sedari tadi berusaha menegarkan diri tidak menangis, akhirnya pun turut menangis.

Kami membisu dihantam waktu. Kami menangis dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku teringat masa kecilku yang amat jarang bertemu dengan Mommy dan hampir tak pernah bertemu dengan ayah. Mungkin aku bertemu dengan Mommy 3 minggu sekali atau lebih. Aku tinggal bersama Nenek, Kakek dan Aklema di Bekasi. Sementara Mommy memilih tinggal di sebuah apartemen di Jakarta. Memang sesekali kami diajak Mommy ke apartemennya. Namun aku, saat itu, tak pernah mengerti mengapa Mommy memilih tinggal di apartemen bersama teman-teman dan entah siapa lagi ketimbang di rumah bersama aku dan Aklema, anaknya.

“Klema,” kataku akhirnya sambil tetap memeluknya. “Apakah kamu sudah bertemu dengan ayahmu? Apakah Mommy tahu kamu sudah bertemu dengan ayahmu?”

Aklema tak sempat menjawab rentetan pertanyaan itu, aku kembali mengajukan pertanyaan. “Apakah kamu tahu siapa ayahku? Ayahku dan ayahmu dua lelaki yang berbeda, kan?”

Alih-alih menjawab semua pertanyaan, Aklema memeluk erat aku dan punggungku kembali basah oleh air matanya. [] @cheprakoso





Komentar

Postingan Populer