KISAH CINTA MILENIAL XXVI

KISAH CINTA MILENIAL XXVI
Kredit Gambar: Photos(dot)com

“PILIH MUSIK, SAYANG,” katanya sambil menunjuk tombol mungil di dasbor kayu. “Pilih tombol itu, lalu tombol itu untuk mencari stasiun radio.”

Seperti operator di pesawat Enola Gay, kamu memencet tombol agar melintas angka-angka dan menggerakkan sebuah radar lingkar sebagai volume—layar menunjukkan angka 15. Sebuah stasiun lokal menayangkan iklan celana dalam pria dengan alunan musik latar yang aneh. Suara deru dan kebisingan silih berganti mengikuti tombol yang kamu pencet hingga kamu menemukan sebuah stasiun yang lantang dan jernih. Seorang lelaki sedang menyanyi lagu tentang rintik-rintik air yang membasahi topi jeraminya. Kekasihmu mengetahui lirik lagu itu. Ia bersenandung lagu itu. Kepalanya gerak kekiri-kekanan sambil tangan kanannya memegang kemudi dan tangan kirinya merogoh tas untuk mengambil bungkus rokok, meloloskan sebatang, melempar kembali bungkus rokok itu mengambil korek api, rokok telah di bibirnya—ada bekas lipstik di filternya—dengan satu gerakan rokok terbakar oleh api. Ia membuka jendela pintu, lalu menghembuskan asapnya. Lalu asap dari rokoknya terhisap keluar dari jendela, menjulur, seperti trik sulap. Kamu duduk di sisinya sambil asyik dengan botol roofbeermu yang tinggal setengah.

Kalian terhenti oleh lampu lalu lintas yang berwarna merah di sebuah persimpangan.

“Kamu ingin makan siang apa, Sayang?”

“Hamburger dan stik kentang goreng. Terdengar asyik, kan?”

“Tidak ada hamburger dan kentang goreng hari ini. Bagaimana dengan roti croissant isi kalkun?”

“Apa pun, deh....”

Kalian terdiam. Stasiun radio melantunkan lagu yang lain. Kalian bertatapan. Terdengar lagu yang kalian tahu bersama. Kalian bersenandung. Lampu lalu lintas berwarna hijau. Mobil melaju perlahan.

Lalu kamu bercerita tentang seorang lelaki paruhbaya yang berjalan menatap langit di malam hari. Lelaki paruhbaya takjub dengan kelap-kelip benda di langit berwarna biru kehitaman. Ia seperti berpikir tentang alam semesta dan bagaimana asal mula kehidupan. Ia meyakini bahwa bumi adalah seperti piring plastik yang mengapung di atas air pada wadah ember besar. Gempa bumi terjadi karena air dalam ember besar itu berguncang dan piring plastik di atasnya pun terguncang. Malam itu, saat ia amat serius mengamati langit, di satu momen ia terjatuh karena kakinya tersandung sebuah kerikil. Jubahnya yang putih menjadi kotor. Seorang bocah perempuan tertawa melihat lelaki paruhbaya terjatuh.

“Kamu tahu siapa lelaki paruhbaya itu, Sharah?”

“Sepertinya aku pernah mendengar cerita itu. Tapi aku lupa siapa lelaki paruhbaya itu. Lagian kenapa kamu menceritakannya kepadaku?”

“Mungkin kamu mendengar cerita itu dari mantan kekasihmu.”

“Siapa nama lelaki paruhbaya itu?”

“Thales. Tapi kamu bisa mengganti namanya dengan nama lelaki yang kamu suka.”

“Maksudmu?”

“Kamu bisa mengantinya dengan nama Nolan atau Patrick atau Joe atau siapalah nama lelaki yang pernah menyakitimu. Semua lelaki memang bajingan, kan.”

Kekasihmu terdiam sesaat. Ia memandang ke arahmu. Kalian bertatapan. Dan kemudian wajah kekasihmu, bibirnya, mendekat ke bibirmu. Kalian berciuman.

“Sharah, aku mencintaimu.”

“Tentu aku juga mencintaimu, Ivonne.”

“Kapan kita akan menikah?”

“Kita akan segera menikah. Mungkin musim panas nanti. Amsterdam atau Sidney?”

“Amsterdam lebih baik. Sekaligus aku ingin melakukan riset.”

Kamu memencet tombol power radio ketika mobil tiba di sebuah restoran bernama Kathy Kitchen Family. Mobil terparkir di sisi selatan restoran. Kalian keluar dari mobil dan berjalan beriringan menuju pintu masuk. Terdengar suara tak-tik-tak-tik-tak-tik ketika dari suara sepatu berhak kalian ketika berjalan dan tiba di salah satu sudut restoran. Kalian duduk berhadap-hadapan. Dan pelayan, seorang lelaki tanpa cambang di wajahnya, tiba membawa buku menu. Kalian tersenyum kepada pelayan itu, ia mundur beberapa langkah, seperti memberi kesempatan melihat-melihat daftar menu. Musik instrumental mengalun di ruangan itu. Kalian tahu lagunya meski suara penyanyi yang melantunkan liriknya. 

“Ceasar Salad dua. Nachos satu, dan croissant isi kalkun dua. Minumnya jus alpukat tanpa gula, tanpa es, tanpa susu, dan air lemon. Ada lagi?” kata pelayan mengulang pesanan kalian. Kamu tersenyum. Pelayan menjanjikan beberapa menit kemudian pesanan akan segera tiba. Lalu menghilang dari hadapan kalian.

Kekasihmu menggengam tanganmu di atas meja. Musik mengalun. Kalian bersenandung bersama.

“Sayang...” suara lirih kekasihmu sambil menatapmu. “Kita akan segera menikah...” [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer