KISAH DARI PAKISTAN UNTUK KITA DI PAYANGAN

KISAH DARI PAKISTAN UNTUK KITA DI PAYANGAN
Malala Yousafzai di salah satu scene film He Named Me Malala (2015)

Pada Oktober 2012, siang hari, sebuah bus sekolah melintas di jalanan Distrik Lembah Swat, sebelah barat daya Pakistan, sebuah wilayah berbatasan langsung dengan Afghanistan. Jalanan terik dan berdebu. Bus itu cukup penuh penumpang—sebagian besar penumpang masih mengenakan seragam sekolah. Bus itu melaju lumayan kencang. Di satu belokan, bus distop oleh gerombolan orang bersenjata.

“Stop! Stop! Stop!” teriak dari gerombolan itu dalam bahasa Urdu sambil mengarahkan senjata ke arah bus. Bus berhenti persis di hadapan gerombolan bersenjata itu. Supir dan para penumpang histeris dan mencoba menyelamatkan diri.

Door! Door! Door!

Dari arah belakang bus, tepat di posisi bocah berseragam sekolah berada, rentetan peluru menghujami bus. Dan kemudian kita tahu, korban berjatuhan. Di antaranya 3 bocah perempuan terluka: dua bocah perempuan terluka di bagian tangan dan lengan, serta satu bocah perempuan terluka di leher dan kepalanya.

Ketika gerombolan bersenjata itu melarikan diri dan menyudahi aksi serangannya, salah satu penumpang bus yang selamat bersama supir bus mencoba menyelamatkan bocah perempuan itu dan membawanya ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit terdekat, bocah perempuan itu langsung diberi perawatan intensif dan tim medis berusaha untuk menyelamatkan nyawanya. Operasi darurat segera dilakukan. Namun mereka menyerah. Meski nyawa bocah perempuan itu terselamatkan setelah tim dokter merujuk ke rumah sakit di luar Pakistan. Akhirnya bocah itu diterbangkan ke rumah sakit Birmingham, Inggris. Bocah perempuan itu selamat setelah melewati sejumlah operasi tengkorak kepala dan perawatan intensif. Bocah perempuan itu bernama Malala Yousafzai dan gerombolan bersenjata itu adalah Taliban—sebuah kelompok teroris yang menguasai sejumlah wilayah di Pakistan.

Kisah di atas bisa kamu tonton di film dokumenter berjudul He Named Me Malala (David Guggerheim, 2015), atau bisa kamu baca di buku berjudul “I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban Malala Yousafzai” (2013).

Melalui buku dan film itu, kamu segera mengetahui kenapa bus yang ditumpangi Malala ditembaki. Sejak usia 11 tahun, Malala yang saat itu masih duduk di sekolah menengah pertama telah menulis untuk BBC—dengan nama samaran Gurk Markhal. Perihal situasi lingkungannya di bawah kekuasaan Taliban: sekolah dihancurkan, perempuan dilarang sekolah, dan hal-hal diskriminasi lainnya. Karena itulah Malala menjadi incaran utama Taliban. Padahal Malala hanya ingin baca buku dan belajar di sekolah. Dan karena keinginannya itulah ia menjadi korban penyerangan tersebut.

“Di beberapa bagian di dunia, para siswa berangkat ke sekolah setiap paginya. Sekolah adalah bagian yang wajar dalam hidup mereka. Tapi di belahan bumi yang lain,  kami haus akan pendidikan. Pendidikan merupakan hadiah yang begitu berharga bagi kami, seperti halnya berlian.” tulis Malala di BBC.

Lalu apa hubungannya kisah Malala di Pakistan dengan kita di Payangan—yang jaraknya sekitar 5.855 KM itu?

Bagi saya, kisah Malala memberi tamparan kepada kita yang masih gitu-gitu saja di sekolah: kelas Pendalaman Materi yang kurang dari setengah yang hadir; selalu saja ada yang datang terlambat ke sekolah; kantin lebih sering ramai ketimbang ruang kelas dan perpustakaan; malas membaca buku; mengerjakan tugas dari guru tidak sungguh-sungguh; bahkan saat mengerjakan try out malah buka Yutub dan bikin Tik Tok.

Malala harus mempertaruhkan nyawanya untuk sekedar sekolah, sementara kita yang sekedar mempertaruhkan jam tidur lebih pendek untuk sekolah malah malas dan gitu-gitu aja.

Jadi kenapa kita masih saja malas sekolah? Jadi kenapa kita masa saja tidak membaca buku? Jadi kenapa kelas 12 masih saja main-main padahal ujian sudah di depan mata? Haruskah merasakan yang dirasakan Malala—kepala ditembus peluru, melewati serentetan operasi dan perawatan, gedung sekolah dihancurkan, dipaksa pergi dari negara yang dicintai—untuk sekedar rajin sekolah?

“Tidak peduli kamu pergi kemana pun di dunia, tidak peduli apa pun negaranya, apa pun agamanya. Anda akan menemukan anak-anak yang terpaksa berada di luar sekolah.” kata Malala di film He Named Me Malala. Di titik itu saya selalu malu bila mengingat kisah Malala tersebut. Karena kita malah sebaliknya, seolah terpaksa ke sekolah.

Tahun 2013, setahun sejak kejadian penembakannya, Malala di undang ke PBB untuk berbicara tentang pendidikan. Satu tahun kemudian, tahun 2014, ia dianugerahi sebagai Peraih Nobel Perdamaian. Tiga tahun yang lalu, tahun 2017, Malala menjadi perempuan kedua Pakistan setelah Benazir Bhutto, mantan perdana menteri Pakistan, yang diterima kuliah di Oxford University, Inggris, jurusan Filsafat, Politik dan Ekonomi

Lalu bagaimana kita? Apa yang bakal kita capai bila masih gitu-gitu aja?

Akhirnya, mengutip kata-kata Malala lain dari Swedia—namanya Greta Thunberg, siapa dia, tunggu di kesempatan lain  ya, kita akan bahas Greta—yang fokus di isu perubahan Iklim, How Dare You! How Dare You! Sekali lagi, How Dare You! [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer