(BUKAN) OBITUARI: (PENJUAL) KWETIAU GANG ASEM JATIBENING

(BUKAN) OBITUARI: (PENJUAL) KWETIAU GANG ASEM JATI BENING
Kredit Gambar: Ildi Papp | Shutterstok 

“Mengapa indomi warkop lebih enak ketimbang indomi masak sendiri di rumah? Padahal bumbu dan semuanya sama kan...”

SEDARI LEBARAN hari ke 3 Raisyah sudah blenger dengan makanan santan di rumah. Berulangkali ia merengek minta makan di luar. Tapi urung karena sejumlah tempat makan langganan masih libur lebaran. Hingga Kamis (28/05) ia kembali ngajak makan kwetiau langganan di Gang Asem Jatibening. Seusai Maghrib, kami menerobos hujan dan hanya mendapati gerobak kosong dan kompor padam. Kami kecewa kuadrat: hampir basah kuyup dan gagal menikmati sedapnya kwetiau.

Barulah hari ini, Malam Minggu pertama kami sebagai suami-istri—karena sejak akad dua bulan lalu kami hanya melalui Malam Minggu bergumul di kamar—kami kembali menuju ke Gang Asem Jatibening. Setibanya di sana, kami mendapati gerobak yang riuh oleh botol kecap, minyak goreng, telor, tomat dan sejumlah bahan lainnya. Namun ada satu hal yang aneh, seorang lelaki paruhbaya yang asing bagi kami. Biasanya, kami dilayani oleh sepasang suami-istri yang segera mengerti pesanan kesukaan kami. Sang Suami berada di belakang wajan dan Sang Istri sebagai pelayan sekaligus kasir sekaligus tukang saji. Kepadanya kami cukup bilang; “Biasa ya, Bu!” ia tersenyum dan segera mengerti.

Kali ini saya dan Raisyah harus mendetail dan berulang memberitahu pesanan kami: dua porsi kwetiau tumis: satu porsi sedang tanpa micin dan lengkap sayuran serta satu porsi pedas dengan micin dan kol mentah tanpa sayuran matang. Dan betul saja, kami harus mengulang beberapa kali untuk memastikan kudapan kami sesuai pesanan.

Lelaki paruhbaya pun berulangkali memastikan detail pesanan kami.

Ketika kwetiau pesanan kami tiba di atas meja, saya dan Raisyah saling berpandangan. Kami mendapati rupa kwetiau yang asing: bumbu kurang pekat, tekstur kwetiau yang terlampau lembek dan warnanya pucat hingga rasa acar kesukaan saya yang hambar.

“Tetap enak ko,” kata saya segera umtuk menenangkan Raisyah yang mulai gelisah. 

Padahal kau tahu lidah saya berkata lain. Meski saya masih menemukan rasa bumbu yang sama, tapi kwetiau yang terdapat di hadapan kami berbeda dengan kwetiau yang sedari tahun 2012 kami sukai.

Kami makan dalam diam. Suasana yang biasanya ramai kali ini sepi. Karena selain kwetiau kesukaan kami, nasi gorengnya pun digemari oleh pelanggan lainnya. Mungkin masih suasana libur lebaran, kata saya kepada diri sendiri.

Tidak lebih 30 menit kwetiau kami tandas. Atau lebih tepatnya, kwetiau Raisyah tandas dan kwetiau saya tandas setengah. Kami segera bergegas.

“Jadi berapa, Pak?” tanya Raisyah sambil menyiapkan uang. Lelaki paruhbaya itu menyebutkan sejumlah nominal.

“Ibu dan Bapaknya (yang biasa berjualan) kemana, Pak?” tanya saya kali ini.

“Masih di kampung,” jawab lelaki paruhbaya sambil memberikan uang kembalian. “Lebaran dapet satu hari Bapak kan meninggal.”
(Dari kiri ke kanan) Tampilan kwetiau karya Pak Penjual yang almarhum dan lelaki paruhbaya.
Kredit Foto: @cheprakoso.

“Innalilahi...” ujar saya spontan.

Tiba-tiba kami disergap kesedihan.

Lelaki paruhbaya itu menceritakan lumayan detail penyebab kematian Bapak penjual kwetiau. Yang jelas bukan karena korona, beliau meninggalkan karena gangguan jantung dan sejumlah penyakit diidapnya sejak lama. Dan dikebumikan di kampung halaman, Purwokerto.

Bagi kami, kwetiau Gang Asem Jatibening adalah idola saya. Selain Mie Aceh Lamlo Klender—kemudian Mie Aceh Pusaka, Galaxi—ialah makanan yang menemani kisah cinta saya dan Raisyah. Hampir tiap minggu kami selalu menyempatkan makan di Jatibening atau Klender atau Galaxi. 

Mungkin kau terbiasa kecewa dengan rumah makan atau restoran yang tidak cermat mempertahankan citrarasanya. Tapi bagi saya mendapati citrarasa Kwetiau Gang Asem Jatibening yang berbeda adalah kekecewaan yang amat. Apalagi dilatari dengan meninggalnya seorang juru masak yang bikin kudapan tersebut.

Arkain, untungnya istri dari almarhum, sejak setahun belakang rutin bergantian berada di belakang wajan untuk membantu suami memasak. Hal ini menjadi harapan agar kami bisa tetap menikmati citrarasa kwetiau itu. Terlebih harapan bagi kedua anaknya yang harus tetap hidup meski ditinggal pergi ayahnya. [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer