DATUK IBRAHIM

DATUK IBRAHIM
Kredit Foto: @cheprakoso

BAGI SAYA yang menakjubkan dari seorang Datuk Ibrahim, selain pemikirannya yang genuine dan radikal, yakni ketekunan dan keuletannya dalam memberi analisis pembacaan situasi dan tantangan yang segera dan sedang dihadapi. Dalam lanskap demikianlah karya-karya Datuk Ibrahim bisa dipahami. Artinya hampir mustahil membaca tulisan Datuk Ibrahim tanpa dilatari konteks historis mengapa dan bagaimana tulisan tersebut ditulis.

Jika membaca tulisan Sukarno bikin kita merasa ada di tengah lapang dan sedang mendengarkan belio orasi, maka membaca Datuk Ibrahim bikin kita belajar lebih detail set-panggung sebuah tulisan tersaji.

Apalagi bila mengetahui detail kondisi bagaimana Datuk Ibrahim saat tulisan tersebut ditulis: yang seringkali dalam kondisi sukar dan serbaketerbatasan.

Misal di tahun 1925, ketika mayoritas kaum pergerakan masih meributkan soal nation dan mungkin belum terpikirkan bagaimana bentuk sebuah negara kelak, Datuk Ibrahim urun pendapat melalui tulisan berjudul Naar de Republiek Indonesia. Ajaibnya tulisan tersebut ditulis di sela aktivitasnya sebagai perwakilan organisasi internasional sekaligus guru privat di kota Kanton, Tiongkok. Juga di bawah bayang-bayang kejaran intel internasional.

Atau misal di tahun 1943, ketika seluruh negeri disibukkan oleh aktivitas  Saudara Tua Cebol yang makin bengis, Datuk Ibrahim menubuatkan bahwa logika dan sains adalah suluh Rakyat menuju Indonesia merdeka. Olehnya di era susah itu ia menulis diktat filsafat berjudul Madilog. Ajaibnya kitab itu ditulis di sebuah loteng kos-kosan di daerah Cililitan. Ia menulis selama 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari. Yang saban pagi ia harus berjalan kaki dari Cililitan menuju Monas untuk membaca sejumlah buku rujukan di sebuah perpustakaan.

Atau misal di tahun 1948, ketika ia harus berpindah dari satu kota ke kota lain di Pulau Jawa, karena keperluan agitasi dan memobilisasi--hingga akhirnya harus bergerilya--tentu dengan berbagai kendala teknis yang bisa kita bayangkan seperti: dari sumber rujukan yang sulit hingga ancaman dari lawan politil.Datuk Ibrahim masih menulis satu tulisan berjudul Gerpolek. Gerpolek adalah sebuah panduan gerakan di momen kritis tersebut.

Arkain, kita memang harus berkaca diri: jika Datuk Ibrahim masih sempat menulis di momen dan situasi yang sukar—ketika teknologi belum seajaib yang kita hadapi hari ini—kenapa kita, atau saya lebih tepatnya, masih saja malas menulis di saat waifi dan gawai tersedia? Jangan-jangan benar bahwa generasi kita memang lebih malas ketimbang generasi Datuk Ibrahim Tan Malaka?

Kita seakan tak sadar, bahwa sedikit demi sedikit, dengan cara yang amat halus, perilaku, karakter, masyarakat, dan budaya yang kita miliki, dibentuk oleh alat dan teknologi yang kita gunakan. Barangkali inilah jawaban atas pertanyaan di paragraf sebelumnya.

Omong-omong, kita sepakat kan Tan orang pintar? Nah, apakah Tan Malaka minum tolak angin atau antangin, ya? 

Komentar

Postingan Populer