KEMATIAN YANG JAZZY

KEMATIAN YANG JAZZY
Kredit Foto: Pinterest | Rommel

MINGGU PAGI 72 tahun yang lalu, bercelana kolor dan kemeja lusuh, seorang pria berusia 41 tahun dengan kacamata bulet masih nangkring di mukanya. Bersama 10 rekannya yang lain, ia digiring oleh regu tembak ke lubang yang telah disiapkan.

“Apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan saya? ” tanya lelaki itu.

Perwira pemimpin regu tembak itu bergeming. “Tidak usah banyak bicara,” katanya. Lalu ia menyodorkan Surat Perintah dari Gubernur Militer. ‘Eksekusi Mati’ demikian tulis surat tersebut. Surat tersebut ditulis seorang petinggi militer di Jakarta bernama Gatot Subroto.

“Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih?” tanyanya lagi seusai menerima dan membaca surat tersebut.

Tanpa babibu pasukan regu tembak mulai mengisi bedilnya dengan amunisi.

Lelaki itu bersiap menghadapi ajalnya. Ia meminta agar diberi kesempatan untuk menulis surat. Permintaan itu dikabulkan.

Kita bisa membayangkan apa yang ditulis oleh lelaki itu di surat terakhir sebelum ajalnya tiba. Ia adalah tokoh yang menghabiskan setengah usianya yang kelewat muda, 41 tahun, itu untuk memikirkan dan melakukan yang terbaik untuk nusa dan bangsanya. Bahkan beberapa hari sebelum ia tiba di depan lubang kematiannya itu, saat di gerbong kereta dari Purwodadi menuju Yogyakarta dan kemudian ke Solo, ia masih bertungkuslumus kepada buku dan bangsanya. Karena hanya ada buku Romeo dan Juliet karya William Shakepeare yang dipinjamkan pengawalnya serta Alkitab, ia menanti kematiannya dengan membaca. Mungkin surat itu berisi nubuat permohonan maaf atau kemarahan atas tindakan negara yang ia perjuangkan juga atau sebait puisi untuk kawan-kawannya yang masih berjuang atau .... 

Kita tak pernah bisa memastikan persis isi surat tersebut. Sebab surat itu tak pernah sampai kepada kita, dan karenanya sejarah tak pernah bulat. Apakah betul sejarah ditulis dan diingat oleh para pemenang?

Saya tidak tahu. Yang jelas sesudah surat itu diserahkan, ia bersama Maruto Darusman, Suripno, Sarjono, Oey Gee Hwat, Harjono, Sukarno, Djokosoejono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale. Sebelum peluru menghujam tubuhnya, ia berseru: “Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!”

Dor!

Kamu bisa membaca detail kisah itu di buku “Menggugat Peristiwa Madiun: Pilihan Tulisan I” terutama di catatan D.N Aidit—lelaki yang juga mengalami ajal yang hampir serupa. “Menggugat Peristiwa Madiun” (1955)  adalah pembelaan yang diucapkan oleh Aidit di muka Sidang Pengadilan Negeri, Jakarta, tanggal 24 Februari 1955 mengenai Peristiwa Madiun 1948—yang pada hakikatnya merupakan pembelaan Partai Komunis Indonesia yang tak bisa dilupakan dalam sejarah politik negeri kita. Pembelaan yang bersejarah ini sudah berbalik menjadi gugatan dan tidak hanya mempunyai arti nasional tetapi juga internasional. Namun sejak palagan 1965, catatan di buku tersebut seolah hilang dalam memori koletif kita.

Sementara tokoh berkacamata itu ialah Amir Sjariffudin. Salah satu pemuda yang memprakarsai Kongres Pemuda 1926 dan 1928—yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda, Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Kemudian memimpin Partai Gerindo di tahun 1930-an ketika gerakan anti-kolonial Belanda mengalami surut karena tindakan represif pemerintah Kolonial Belanda dengan menangkap dan membuang tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno (ke Ende lalu ke Bengkulu) atau Hatta-Sjahrir (ke Digoel lalu ke Banda Neira). Gerindo menjadi simpul gerakan radikal selain Parindra yang dipimpin Dr. Sutomo. Bahkan di era Pendudukan Jepang, lelaki yang bernama lengkap Amir Sjariffudin Harahap ini menjadi salah satu figur utama gerakan bawah tanah selain sosok Sjahrir. Puncaknya sejak proklamasi Agustus 1945, lulusan ilmu hukum Haarlem dan Leiden ini dipercaya menjadi Menteri Penerangan (2 September 1945 - 12 Maret 1946), Menteri Pertahanan (14 November 1945 - 29 Januari 1948) hingga Perdana Menteri (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948). Ironisnya, jabatan terakhir itu ia letakkan 11 bulan sebelum ia didor oleh tentara bangsanya sendiri. 

Tapi saya ingin membayangkan hal lainnya. Silakan kamu dengar musik berikut ini [I'Internationale (Swing Jazz Version) by Tony Babino]. Seusai mendengar lagu Internationale ala Jazz tersebut—ditambah pengetahuan kita bahwa tahun 1944, ketika Amir Syariffudin bersama 4 kawannya tertangkap dan ditahan tentara Jepang, ia dihukum mati. Namun, konon, berkat Sukarno-Hatta yang saat itu bekerja sama dengan pemerintahan Dai Nippon, hukuman mereka diturunkan menjadi seumur-hidup. Seperti sebuah altruisme, atau bahkan lelucon, di bawah sosok kedua nama itulah Sukarno dan Hatta (dengan berbagai sengkarut terkait apakah keduanya mengetahui proses eksekusi mati), Amir ditembak mati. Sekali lagi, sambil membayangkan narasi hidupnya dan mendengarkan musik swing jazz itu, kematian Amir sungguh jazzy.

Apa pun, alih-alih jazzy saya ingin mati dalam kondisi kenyang. [] @cheprakoso

Komentar

Postingan Populer