TUGAS UNTUK MELAWAN: MENDEFINISIKAN-ULANG DASAR-DASAR UNTUK SEKOLAH SAAT INI

TUGAS UNTUK MELAWAN:
Mendefinisikan-Ulang Dasar-dasar untuk Sekolah Saat Ini1
Oleh Gert J.J Biesta 
Kredit Ilustrasi: Scott Seymour, AD
Abstrak. Dalam masyarakat modern ada banyak harapan mengenai apa yang hendaknya dilakukan sekolah. Ini mencakup pembekalan anak-anak dan kaum muda untuk dunia kerjamengubah mereka menjadi warga negara yang demokratis, atau mewujudkan masyarakat yang kohesif dan inklusif. Apa yang menyatukan harapan tersebut adalah bahwa semua mendekati sekolah sebagai semacam instrumen untuk memecahkan masalah sosial. Dalam bahasa sosiologis kita dapat mengatakan bahwa sekolah ini dianggap sebagai bagian dari fungsi masyarakat dan dengan demikian sebagai lembaga yang seharusnya berfungsi (dan berguna) bagi masyarakat. Bahaya dari cara berpikir terhadap sekolah seperti ini adalah pertanyaan lain — misalnya: apa yang harus diurus oleh sekolah? atau, apa yang harus dibela oleh sekolah?—mudah menghilang dari pandangan. Dalam kontribusi ini saya menyelidiki bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan mengenai tugas khusus dan unik sekolah. Bila mampu menjawab pertanyaan ini memungkinkan kita untuk membantah bahwa sekolah tidak hanya menjadi fungsi masyarakat tetapi juga memiliki tugas penting dalam menolak apa yang diinginkan oleh masyarakat.
Kata kunci:Pembentukkan Nilai; Tumbuh dewasa; Dasar - dasar pendidikan; Demokrasi; Ekologi; perhatian

PENDAHULUAN: SEJARAH GANDA DARI SEKOLAH
Untuk mengembangkan jawaban atas pertanyaan tentang apa peran sekolah dalam masyarakat saat ini, dapat, dan memang seharusnya, mungkin berguna untuk memulainya dengan melihat sejarah sekolah—namun sejarah yang ingin saya gambarkan sebagai 'sejarah ganda', yakni di satu sisi kita dapat melihat sekolah sebagai fungsi dan kegunaan bagi masyarakat, yaitu institusi yang muncul ketika masyarakat kehilangan kekuasaan edukatif kita tidak bisa lagi berasumsi bahwa generasi baru akanmengambilsegala sesuatu yang mereka butuhkan hanya dengan menjadi bagian dari masyarakat (pada sejarah ini lihat juga Mollenhauer, 1983). Dilihat dari sudut pandang ini, kita dapat mengatakan bahwa masyarakat memiliki ekspektasi yang sah terhadap sekolah-sekolah, karena sekolah-sekolah didirikan atau menjadi sesuai untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat. Tapi ini bukan satu-satunya sejarah sekolah.
Sejarah lainnya ialah bahwa sekolah sebagai tempat di antara rumah dan jalan, suatu wilayah transisi, di mana kita tidak lagi di rumah tetapi juga belum di dunia nyata’ (baca: dunia kerja—penerjemah)—dunia produksi ekonomi dan proses politik. Di titik ini, sekolah adalah tempat di mana kita diperkenankan untuk berlatih; untuk mencoba berbagai hal, tanpa segala sesuatu harus menjadi sempurna—dari sudut ini kita bahkan dapat mengatakan bahwa sekolah hendaknya secara definisi peduli dengan ketidaksempurnaan (lihat Sidorkin, 2002). Sejarah sekolah seperti demikian muncul sebagai semacam rumah persinggahan yang hingga taraf tertentu perlu dilindungi dari (tuntutan masyarakat), sehingga praktek adalah mungkin (lihat juga Masschelein & Simons, 2012).
Melihat sejarah ganda ini, kita dapat melihat bahwa ada ketegangan pada selembar kain narasi sejarah sekolah, yakni ketegangan antara memenuhi tuntutan masyarakat di satu sisi, dan di sisi lain menjaga tuntutan-tuntutan tersebut pada sebuah tujuan (Biesta menggunakan istilah ‘teluk’—penerjemah). Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa sekolah adalah semacam pelayan dari dua majikan—setelah pertunjukan teater Goldoni yang terkenal—dan menyebabkan tantangan-tantangan khusus bagi para guru. Lebih lanjut guru-guru yang baik pada umumnya tahu bagaimana menemukan keseimbangan yang baik antara kedua tuntutan tersebut. Dan guru-guru yang baik juga tahu bahwa pilihan untuk memenuhi tuntutan masyarakat bukanlah pilihan melawan hakekat anak-anak—tidak seperti apa yang tampaknya dipikirkan oleh beberapa pendukung mode pendidikan anak-anak yang sudah lampau dan tetap modern (tentang hal ini lihat juga Oelkers, 2005). Karena tugas utama pendidikan adalah membantu anak-anak dan kaum muda berada di dunianya (dan berada di sana dengan caradewasa; Lihat Biesta, 2015a; 2015b).
Masalah yang kita hadapi dalam banyak tatanan pendidikan saat ini adalah bahwa suara salah satu majikan—masyarakat — telah menjadi jauh lebih keras dan jauh lebih dominan daripada suara guru atau majikan yang lain—suara yang mengatakan bahwa sekolah juga memiliki sesuatu untuk dilakukan yang tidak otomatis atau tentu saja berguna bagi masyarakat. Sebagai hasil dari pengujian, pengukuran, dan intervensi yang berkelanjutan dalam kurikulum dari kekuatan-kekuatan sosial tertentu (dan sering kali secara khusus  berarti kepentingan ekonomi). Sekolah di banyak negara dan berbagai aturannya secara serius tidak seimbang, sehingga beberapa orang bertanya-tanya apakah sekolah masih dapat menjadi sekolah, Atau jika itu telah larut atau mulai terurai menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda—tempat untuk bekerja bukan tempat untuk schole, untuk waktu luang yang belum ditentukan oleh tuntutan eksternal (lihat Masschelein & Simons, 2012; Meirieu, 2007).
Pertanyaannya kemudian: bagaimana kita dapat memulihkan keseimbangan tersebut, dan cara yang ingin saya soroti ialah dengan menanyakan apa yang harus dibela oleh sekolah itu sendiri, yaitu adakah kepentingan tertentubahwa sekolah harus mengklaim unik. Serta pertanyaan tentang apa sekolah perlu untuk mewakili hal tersebut adalah penting; karena seperti yang kata pepatah, jika anda mewakili untuk seluruhnya, anda akan jatuh untuk apa pun.
Diambil dari: 21st Century Learners
BAGAIMANA KEPENTINGAN DAN POSISI SEKOLAH: APAKAH PEMBELAJARAN, PERKEMBANGAN, PEMBENTUKKAN?
Yang menarik sebenarnya ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Sebaliknya ketika seseorang bertanya di sekitar, atau hanya melihat—tampaknya ada cukup banyak penjelasan tentang apa sekolah. Dalam penjelasan bagian ini, saya ingin menjelajahi tiga kemungkinan dan (lebih atau kurang) penjelasan pokok secara lebih rinci untuk membuat kasus untuk salah satu dari tiga hal di atas. Tiga jawaban yang ingin saya pertimbangkan adalah pembelajaran, perkembangan, dan pembentukan. Pembelajaran, sebagaimana yang juga telah saya dokumentasikan dalam tulisan lain (lihat, misalnya, Biesta, 2006; 2013; 2015c), pada tahun-tahun belakangan ini telah menjadi pilihan yang sangat populer dan sangat berpengaruh. Kita setidaknya dapat melihat ini dalam kebangkitan istilah ‘learning, yaitu maraknya istilah seperti learning enviroments, learning communities, personalized learning, collaborative learning, learning to learn, lifelong learning dan seterusnya.
Kedua, gagasan tentang perkembangan, juga menjadi cukup populer dan berpengaruh. Kita tidak hanya dapat menemukan ini sebagai gagasan umum bahwa pendidikan adalah tentang mendukung perkembangan anak (secara psikologis—penerjemah); Gagasan tentang pemkembangan juga memainkan peranan dalam argumen untuk pendidikan yang berfokus pada kreativitas dan ekspresi, dan argumen tersebut untuk gagasan bahwa pendidikan seharusnya memungkinkan anak-anak mengembangkan semua bakat mereka dan menyadari potensi penuh mereka. Selanjutnya gagasan tentang pembentukan (Biesta menggunakan istilah formation, yang bisa kita tukar-padankan dengan pembiasaan—penerjemah) jauh lebih tidak popule—bahkan di beberapa negara dan wilayah, mungkin dianggap sebagai out off the date dan bahkan mungkin konsep kuno atau ketinggalan zaman. Meskipun demikian, ada sesuatu yang saya sukai dari gagasan pembentukan, dalam hal itu mendekati pendidikan sebagai pertemuan antara anak dan dunia: di mana anak datang ke dunia dan memperoleh bentuk seolah-seolah ‘duniawi’. Pertemuan ini tidak dapat dipahami sebagai satu di mana dunia hanya memberi stempel pada bentuk ke anak-anak. Hal ini adalah pertemuan dalam arti sebenarnya dari kata itu, di mana sesuatu terjadi baik pada anak itu maupun pada dunia (yang menunjukkan bahwa daripada terjadi pada anak - anak atau kurikulum, pendidikan muncul di sini sebagai pusat dunia; Lihat Biesta, 2015b).
Jadi apakah pembelajaran, perkembangan atau pembentukkan yang harus disoroti sebagai kepentingan sekolah? Mari kita lihat masing-masing secara lebih detail.
SEBUAH ‘LEARNIFICATION’ DARI PENDIDIKAN
Sebagaimana telah disebutkan, sebuah garis penting dalam pekerjaan saya selama dekade yang lalu ialah untuk mendokumentasikan kebangkitan dari apa yang di beberapa kesempatan saya sebut sebagai: istilah baru ‘learning’—sebuah lanjutan dari khotbah dan praktek pendidikan. Meningkatnya istiah ‘learning’ dalam riset, kebijakan dan praktek pendidikan terlihat dalam sejumlah pergeseran diskursus yang mencakup kecenderungan untuk merujuk pada murid, siswa, anak dan orang dewasa sebagai ‘leaners’—untuk merujuk pada pengajaran sebagai supporting atau facilitating learning; serta untuk merujuk pada sekolah sebagai learning enviroments; places of learning, atau learning communities dan untuk penunjukan-ulang bidang pendidikan untuk orang dewasa menjadi lifelong learning (untuk detail lihat Biesta 2006; 2013; 2015c). Masalahnya bukan—atau tidak segera (tetapi lihat Biesta, 2015c)—problem dalam proses belajar tetapi masalah dengan bahasa 'learning'. Karena perhatian utama saya berkaitan dengan fakta bahwa istilah ‘learning’ itu sendiri bukan suatu istilah pendidikan, dan dengan demikian berisiko mengabaikan apa yang seharusnya menjadi persoalan dalam pendidikan.
Sebuah cara cepat untuk menunjukkan masalah tersebut adalah dengan mengatakan bahwa titik pendidikan adalah anak-anak dan kaum muda tidak pernah belajar — hal ini berguna untuk berhenti sejenak di sini dan mempertimbangkan banyak contoh dalam kebijakan pendidikan, penelitian dan praktek sehari-hari di mana hal tersebut tidak lebih dari pembicaraan— melainkan bahwa anak-anak dan orang muda belajar sesuatu: mempelajarinya untuk suatu alasan, dan mempelajarinya dari seseorang. Di sini terletak perbedaan mendasar antara istilah learningyang merupakan istilah proses yang 'kosong' sehubungan dengan isi dan tujuan, dan istilah educationdi mana kita selalu perlu terlibat dengan pertanyaan tentang isi, tujuan, dan hubungan.
Sementara saya tidak ingin mengklaim bahwa ketika learning terjadi dalam konteks education: learning, isi tidak ada, hubungan tidak ada peran, dan seluruh proses tentu tanpa memiliki tujuan atau arahan yang jelas. Saya ingin menyarankan bahwa jika kita hanya memiliki istilah learning untuk berbicara tentang dan mengenai education, kita memiliki istilah yang sering membuat kita melupakan tanggung jawab kita sebagai pendidik untuk selalu terlibat secara eksplisit dengan isi, tujuan dan hubungan — yang sering kali berarti bahwa keputusan yang harus dibuat oleh mereka yang berada di lingkungan pendidikan (baca: guru—penerjemah) sudah dibuat oleh orang lain (baca: pemerintah melalui kurikulum, kementerian atau bahkan buku teks wajib—penerjemah), baik dengan cara yang sangat jelas atau secara umum. (pikirkan, misalnya, tentang kecenderungan untuk menyamakan learning dengan memperoleh pengetahuan dalam berbagai mata pelajaran akademis — melupakan bahwa bahkan ketika itu adalah fokus dari kegiatan pendidikan, begitu banyak hal lain terjadi pada saat yang sama, sering kali di belakang mereka yang berada dalam situasi tersebut.)
FOKUS PADA PERTANYAAN DARI SEBUAH TUJUAN
Dari tiga hal tersebut—isi, tujuan, dan hubunganpertanyaan perihal tujuan adalah hal yang mendasar dan pokok. Sebab bila kita tidak mengetahui perihal tujuan pendidikan, kita tidak memiliki kriteria untuk menilai apa isi yang harus dibawa ke dalam arena (Biesta menggunakan istilah games atau permainan—penerjemah) diskursus. Pun bagaimana hubungan harus digunakan dan bentuk pendidikan apa yang paling tepat. Bila kita mengatakan bahwa pertanyaan tujuan adalah pusat dan fundamenta, bukan untuk membuat klaim tentang siapa yang harus mengartikulasikan tujuan dari upaya pendidikan tersebut. Ada berbagai pilihan mengenai hal tersebut, meskipun guru perlu memainkan peran penting dalam hal ini. Hal ini juga tidak berarti bahwa tujuan dari upaya pendidikan harus dirumuskan sebagai tujuan atau target yang jelas dan hanya bisa harus dipenuhi atau tercapai (berupa skoring kuantitatifpenerjemah)—hal ini pun merupakan masalah kekinian, yakni ‘hasil pembelajaran’—sebab tujuan suatu kegiatan pembelajarab bisa memberinya makna dan petunjuk, tetapi ini dapat dilakukan dalam berbagai cara. Skoring bukanlah satu-satunya ‘hasil pembelajaran’.
Namun poin yang paling penting tentang tujuan pendidikan adalah bahwa pendidikan tidak diarahkan hanya pada satu tujuan, tetapi bahwa dalam semua kasus pendidikan sebenarnya memiliki, setidaknya tiga tujuan yang berbeda — atau dengan frasa yang lebih baik: memiliki ranah tujuan lain, yakni arena permainan (Biesta menggunakan frasa ‘In-play’. Gagasan tersebut (dikembangkan secara lebih detail dalam Biesta, 2010) mengikuti pengamatan sederhana bahwa pendidikan selalu tentang presentasi dan akuisisi sesuatu (pengetahuan, keterampilan, watak) dan dalam hal ini, pendidikan selalu diarahkan menuju kualifikasi anak-anak dan kaum muda — yaitu, memberi mereka akses pada pengetahuan, keterampilan dan watak yang memungkinkan mereka untuk melakukan sesuatu, baik dalam arti ketat menjadi memenuhi syarat untuk dunia kerja atau pekerjaan atau profesi tertentu, atau dalam pengertian yang jauh lebih luas menjadi memenuhi syarat untuk hidup dalam masyarakat modern yang kompleks. Beberapa orang akan berpendapat bahwa ini semua tentang pendidikan, dan bahwa ini semua seharus segera menyadari bahwa hal tersebut ialah perihal pendidikan. Yang memprihatinkan adalah bahwa hal itu harus berpaut pada hal-hal dasar, pada sebuah ‘fakta, dan kemudian kita segera tahu bahwa hal itu juga telah meninggalkan masalah-masalah sulit yang berhubungan dengan nilai-nilai baik bagi keluarga maupun masyarakat. Tapi sayangnya hal-hal tersebut tidaklah mudah dipisahkan satu dengan lainnya.
Bahkan jika sekolah hanya berpegang pada fakta-fakta, mereka pasti sudah menyampaikan pesan-pesan yang kuat tentang gaya hidup dan hidup bersama yang diinginkan: yang percaya pada sebuah kemungkinan untuk membedakan fakta dan nilai. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak terelakkannya semua perangkat pendidikanketika diberlakukan elemennya, juga terlibat dalam sosialisasi, dalam berkomunikasi dan menyediakan bagi anak-anak dan kaum muda akses terhadap tradisi, budaya, serta cara hidup dan bertindak.
Di satu sisi, inilah yang terjadi segera setelah pendidikan berlangsung — dan tidak hanya melalui learning, berupa kurikulum dan pengajaran, tetapi juga melalui arsitektur sekolah, tempat sekolah dalam masyarakat, dan seterusnya. Di pihak lain, kita dapat mengatakan bahwa hal itu merupakan bagian dari tugas sekolah untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Sekali lagi, kita dapat memikirkan sosialisasi profesional, yaitu, menyajikan cara-cara melakukan dan melakukan pekerjaan atau profesi. Tetapi pendidikan kewarganegaraan, pendidikan agama, pendidikan lingkungan hidup, dan education lainnya—bukan hanya tentang pengetahuan, keterampilan, dan watak, melainkan tentang komunikasi dan penyertaan dalam tradisi dan kebudayaan.
Selain kualifikasi dan sosialisasi, saya ingin menyarankan bahwa pendidikan selalu juga berdampak pada pembentukan orangpositif atau negatif. Daripada berpendapat bahwa sekolah tidak boleh diizinkan untuk melakukannya, kita hendaknya mengakui bahwa hal ini terjadi dan hendaknya, sebagai pendidik, memikirkan apa yang mungkin merupakan cara yang patut dihasratkan dan dibenarkan untuk progress. Selain kualifikasi dan sosialisasi, pendidikan juga selalu peduli dengan apa yang saya sarankan untuk merujuk sebagai subjektif, yaitu dengan pembentukan anak dan orang muda terhadap subjek. (lebih konkret, kita dapat berpikir di sini tentang sifat-sifat seperti kritis, belas kasih, tumbuh dewasa dan otonomi, meskipun ada lebih dipertaruhkan di sini daripada sekadar memperoleh sifat-sifat tertentu.)
Argumen di sini adalah bahwa di satu sisi, ketika pendidikan terjadi selalu berdampak pada tiga ranah inisehingga kita dapat memikirkan kualifikasi, sosialisasi dan subjektifisasi sebagai tiga fungsi pendidikan. Namun jika demikian, maka sebagai pendidik kita juga perlu mempertimbangkan apa yang kita cari untuk mencapai dalam kaitannya dengan setiap ranah iniyang berarti bahwa mereka juga muncul sebagai tiga ranah tujuan pendidikan tersebut. (alasan untuk merujuk kepada mereka sebagai ranah tujuan dan bukan sebagai tujuan adalah karena di dalam setiap ranah sangat berbeda, tujuan lebih konkret dapat diartikulasikan.)
Kredit Foto: Akun Youtube #DEBALIE 
PENGHAKIMAN DALAM PENGAJARAN
Meskipun tiga ranah tujuan dapat dibedakan, mereka tidak dapat dipisahkan, yang berarti bahwa saya cenderung menggambarkan mereka sebagai seperti himpunan (Diagram Venn—penerjemah) dengan tiga bidang atau ranah yang tumpang tindih satu dengan lainnya. Diagram seperti itu memberi kita gambaran dan konsepsi yang luas tentang pendidikan, yaitu konsep yang mengakui bahwa pendidikan selalu perlu terlibat dengan pertanyaan pokok — materi, tradisi, dan orangnya. Gambaran tersebut ini juga berguna dalam menunjukkan apa yang terjadi — atau kita dapat mengatakan: apa yang salah — ketika kita mengurangi upaya pendidikan kita hanya ke salah satu ranah, karena itu berarti bahwa dengan melakukannya kita luput untuk memperhatikan apa yang terjadi di ranah lainnya (dan lagi, intinya adalah bahwa ini tidak berarti bahwa tidak ada yang terjadi, tetapi itu terjadi di luar kendali kita dan melampaui apa yang seharusnya kita ambil tanggung jawab sebagai pendidik).
Meskipun, seperti yang saya tunjukkan di awal tulisan ini, masalah utama yang dialami banyak sistem pendidikan saat ini adalah penekanan yang berlebihan pada pencapaian dalam lingkup kecakapan (dan sering kali hanya dalam sejumlah kecil mata pelajaran), argumen yang disajikan di sini menyiratkan bahwa konsep-konsep pendidikan yang berfokus secara eksklusif pada pembentukan pribadi atau secara eksklusif pada reproduksi tradisi adalah sama sepihak dan sama problematisnya.
Tantangannya bukan hanya untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut. Tantangannya juga adalah untuk selalu berpikir dan bertindak dalam tiga dimensi — tidak hanya dalam praktik pendidikan, tetapi juga dalam penelitian kebijakan pendidikan dan praktek pendidikan. Ini berarti bahwa penelitian yang hanya berusaha untuk mencari tahu bagaimana dampak dari campur tangan pencapaian-pencapaian akademis sebuah projek ilmiah, bila tanpa pertanyaan: apa dampak (atau mungkin frasa yang lebih baik di sini adalahdampak kerusakan’—penerjemah) di ranah lainnyaadalah sama sekali tidak berguna dalam pendidikan. Karena kita tidak pernah sekadar ingin tahu bagaimana kita dapat mendorong pencapaian akademis, tetapi juga perlu mengetahui apa yang tersirat dari ambisi yang kita miliki dan dampak yang kita miliki dalam ranah sosialisasi dan penerapan.
Lebih konkret: jika Riset memberi tahu kita bahwa tugas rumah (PR) tidak memiliki pengaruh yang signifikan atas pencapaian akademis, misalnya, ini tidak pernah dapat menjadi alasan untuk berhenti memberi anak-anak dan kaum muda sebuah PR. Karena mungkin ada alasan penting di ranah, misalnya, subjektifikasi, yang membenarkan mengapa pekerjaan rumahyakni situasi di mana seorang anak bertanggung jawab untuk tugas di luar tatapan sang guru—mungkin merupakan pengalaman pendidikan yang penting. Namun riset yang memberi tahu kita hal tersebut menunjukkan sebaliknya, dan bahkan sebenarnya menyesatkan. Hemat saya penelitian macam begitu tidak lulus tes riset pendidikan, dan merupakan bukan penelitian yang baik dan bermakna.
Dimensi pemikiran (thinking) dan praksis (doing) dalam ranah pendidikan juga mulai mengungkapkan kompleksitas hal tersebut, bahkan keputusan dan tindakan-tindakan kecil juga hal yang penting bagi pekerjaan seorang guru. Gambaran yang bisa menunjukkan kompleksitas spesifik pengajaran (teaching), dapat dilihat dari sudut pandang tiga dimensi karakter tujuan pendidikan tersebut, yakni ibarat tiga permainan catur lengkap dimainkan di papan catur yang tergantung di atas satu sama lain, dan di mana potongan tidak hanya berinteraksi secara horizontal pada masing-masing papan catur, tetapi juga secara vertikal — sehingga bergerak dalam permainan kualifikasi tidak hanya mempengaruhi apa yang terjadi dan dapat terjadi di sana, tetapi pada saat yang sama melakukan/praksis’ (doing) sesuatu dalam permainan sosialisasi dan subjektif, dan sebaliknya tersebut.
Alasan untuk bertungkuslumus ke begitu banyak detail perihal education, bukan hanya untuk menunjukkan keterbatasan parah istilah learning sebagai sebuah istilah untuk pendidikan (dan karenanya perlu dibedakan—penerjemah), tetapi juga untuk menyoroti peran dan kebutuhan untuk penilaian dalam pendidikan. Pertama-tama, ada penilaian berkelanjutan diperlukan tentang apa yang kita cari untuk mencapai dalam kaitannya dengan masing-masing dari tiga ranah di atas—yang berarti bahwa kurikulum, tidak dipahami sebagai daftar isi’ pembelajaran tetapi sebagai jebakan ‘coba-coba edukasi’—harus menentukan ambisi seperti itu dengan cara tiga dimensi. Berikutnya, ada juga penilaian yang diperlukan mengenai cara-cara yang paling tepat untuk mencapai apa yang kita upayakan untuk dicapai.
Di sini, penting untuk melihat bahwa ini bukan hanya mengenai keefektifan dari apa yang kita lakukan, namun juga mengenai apa yang saya sarankan untuk menyebut kualitas pendidikan dari apa yang kita lakukan. Hal ini berkaitan dengan aspek unik lainnya dari pendidikan, yaitu faktauntuk mengatakannya dengan singkat, bahwa para siswa tidak hanya belajar dari apa yang kita katakan tetapi juga dari cara kita melakukannya. Ini berarti bahwa dengan segala sesuatu yang kita lakukan, kita selalu perlu menanyakan pesan macam apa yang telah kita komunikasikan, dan kita perlu memastikan bahwa pesan-pesan seperti itu adalah sebangun dengan tujuan dan ambisi dari upaya pendidikan kita. Hal ini berisi pesan penting untuk penelitian pendidikan, yaitu bahwa tidak dapat membatasi diri untuk mencari cara yang paling efektif (dan untuk hal itu: efisien) dalam melakukan sesuatu, tetapi perlu selalu mempertimbangkan di mana yang efektif juga sesuai dengan apa yang kita upayakan untuk mencapai — sekali lagi, di tiga bidang tersebut. Misalnya meskipun PR mungkin tidak efektif jika menyangkut prestasi tertentu di ranah kognitif, itu bisa jadi sangat efektif jika menyangkut tanggung jawab dan kepercayaan. Pendidikan itu seharusnya tidak hanya efektif, tetapi untuk segala sesuatu yang kita lakukan kita perlu meminta tiga dimensi mengenai kualitas edukasinya, yang menyiratkan bahwa mungkin apa pun yang kita lakukan dalam pendidikan adalah patut diinginkan atau tidak diinginkan itu sendiri — selama berada dalam batas-batas moralitas — tetapi semua itu bergantung pada apa yang kita upayakan untuk capai.
Jika pertanyaan tentang apa dan bagaimana akan mengungkapkan kompleksitas sejumlah penilaian pendidikan, bahkan lebih lebih lanjut dengan menyoroti ketiga dimensi di atas akan semakin terlihat ketika kita melihat pendidikan dengan cara tersebut. Ini ada hubungannya dengan pertanyaan tentang keseimbangan dan pertukaran. Meskipun pendidikan perlu memikirkan mengenai ketiga bidang tersebut, kita tidak dapat melakukan segala sesuatu dalam segala bidang pada saat yang sama, dan karenanya kita sering — dan mungkin selalu — dihadapkan pada pertanyaan tentang apa yang bersedia kita tinggalkan (meskipun sementara) dalam satu atau dua ranah agar mencapai sesuatu dalam satu atau dua bidang lainnya. Ini bukan hanya masalah abstraksi yang dapat kita atasi pada tingkat perencanaan, tetapi juga sesuatu yang perlu kita pertimbangkan dalam kaitannya dengan setiap siswa individu.
Untuk menyoroti peran penting penghakiman (judgment) dalam mengajar tidak hanya menunjukkan kompleksitas mengajar sebagai suatu profesi — yaitu, kita mengambil tanggung jawab kita secara serius di tiga bidang tersebut — tetapi juga menunjukkan bahwa dalam pendidikan, kita tidak bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat normatif. Setelah semua, penilaian bukan masalah fakta tapi masalah nilai, dan karenanya penilaian yang kita buat dalam pendidikan perlu diberitahu oleh nilai-nilai yang lebih luas, Baik nilai-nilai pendidikan2 maupun nilai-nilai yang lebih luas yang peduli dengan pandangan mengenai kehidupan yang baik dan kehidupan yang baik bersama. Dari penilaian dalam pendidikan saya karenanya sekarang beralih ke apa yang dapat kita sebut penilaian tentang pendidikan.
PENGHAKIMAN TENTANG PENDIDIKAN
Pertanyaan yang ingin saya ajukan di sini adalah apa jenis nilai dan apa jenis referensi yang lebih luas yang mungkin bermakna untuk menyediakan pendidikan dengan pengertian secara keseluruhan. Saya telah menyebutkan bahwa tidak ada kekurangan pandangan tentang pendidikan, dan pada tingkat’ diskursus yang lebih luas ini kita cenderung menemukan gagasan yang lebih jelas daripada kurangnya pandangan terhadap pendidikan. Dalam iklim pendidikan saat ini, ada satu cerita yang sangat menonjol, dan itu terus diulangi dalam paragraf pembukaan dokumen kebijakan di seluruh dunia modern. Ceritanya berjalan kira-kira seperti ini.
Pernyataan pertama adalah bahwa, tidak seperti yang terjadi di masa lalu, kita sekarang hidup dalam masyarakat dan bahkan dunia yang berubah dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sebagai bukti, kita sering menemukan referensi untuk globalisasi, digitalisasi, individualisasi dan seterusnya. Ditambah dengan klaim tentang kecepatan perubahan yang tinggi adalah klaim bahwa kita tidak tahu seperti apa masa depan, sehingga pengetahuan yang kita miliki hari ini akan dengan cepat ketinggalan zaman. Dalam beberapa versi dari cerita ini, kita juga diberi tahu bahwa kita menggunakan abad ke-20—atau dalam beberapa kasus kita bahkan diberi tahu: sistem pendidikan abad ke-19 untuk mempersiapkan anak - anak dan kaum muda untuk abad ke-21. Dan semua ini—yang sering diungkapkan dengan perasaan marah—kemudian diasumsikan sebagai kesimpulan bahwa pendidikan membutuhkan perbaikan radikal, transformasi total. Dan, pada tahap terakhir ini kita sering mendengar bahwa kita hendaknya tidak lagi mengganggu anak-anak dan kaum muda yang memiliki pengetahuan, dan khususnya tidak dengan fakta, karena pengetahuan itu akan kedaluwarsa sebelum mereka dewasa, dan fakta-faktanya akan disimpan pada perangkat digital pribadi mereka dan tidak perlu menyimpannya dalam pikiran mereka’. Yang seharusnya kita lakukan adalah membekali anak-anak dan kaum muda dengan serangkaian keterampilan umum—kadang-kadang disebut keterampilan abad ke-21—yang akan memungkinkan mereka menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak diketahui tetapi cepat berubah.
Pertanyaan sederhana yang muncul adalah: apakah cerita ini benar atau salah? Saran saya bila ingin menelaah apa yang kita sedang kita hadapi saat ini adalah, yang saya sebut sebagai setengah kebenaran yang akurat dalam kaitannya dengan beberapa kasus, tapi tidak secara keseluruhan. Oleh karena itu mereka menjalankan risiko berfungsi sebagai ideologi-ekonomisme yang kerap disembunyikan oleh mereka. Dan ini adalah problematik dimana menyangkut pertanyaan-pertanyaan penting tentang masa depan dan arah dari usaha pendidikan kita.
SETENGAH KEBENARAN DAN IDEOLOGI (EKONOMISME)
Ketika kita melihat pada pernyataan bahwa masyarakat, kehidupan modern dan dunia berubah pada kecepatan yang sangat tinggi, kita benar-benar dapat memikirkan bagian-bagian dunia, aspek-aspek kehidupan kita, dan lingkup kehidupan kita di mana hal ini terjadi. Dalam ranah ekonomi, pasar keuangan, dan akses terhadap informasi, kita dapat menunjuk pada perubahan yang memang terjadi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya (meskipun kita harus sudah mengajukan pertanyaan apakah laju perubahan berkelanjutan; Sehubungan dengan kapitalisme global ada cukup banyak bukti bahwa ini tidak terjadi, dan bahwa kita berjalan di belakang sistem yang terus-menerus perlu ditopang untuk sementara waktu).
Tetapi pokok yang ingin saya sampaikan di sini adalah di beberapa bagian dunia bahwa sebagian orang dan sehubungan dengan beberapa aspek kehidupan mereka, memang ada perubahan dan perubahan tersebut memiliki kecepatan tinggi, sementara untuk sebagian orang lainnya, di belahan dunia lain, dan sehubungan dengan aspek-aspek lain dari kehidupan mereka, sangat sedikit yang telah berubah dan sangat sedikit yang akan berubah. Bagi sejumlah besar orang di sana hampir setiap hari ada pertanyaan apakah mereka akan dapat menemukan air minum yang bersih, apakah mereka akan dapat memberi makan keluarga mereka, dan apakah mereka akan dapat memperoleh penghasilan untuk membuat kehidupan mereka sedikit lebih pasti dan terjamin. Inilah sebabnya mengapa ada pendapat seperti itu: semuanya berubah cepat di mana-mana bagi semua orang adalah kebohongantetapi tetap kebohongan yang sesuai dengan beberapa hal, yang mungkin menjadi alasan penting mengapa hal itu terus diulang-ulang.
Saya ingin membuat poin yang sama tentang klaim bahwa kita tidak tahu seperti apa masa depan, dan karena itu pengetahuan yang kita miliki hari ini sudah akan kadaluarsa pada hari esok. Sekali lagi kita dapat memikirkan ranah bahwa hal ini benar. Misalnya dunia kerja seperti yang kita ketahui sekarang ini berada dalam beberapa bidang yang secara fundamental berbeda dari masa lalu, dan kemungkinan besar akan terlihat berbeda lagi di masa depan. Tapi sekali lagi, kita seharusnya tidak membuat ini menjadi klaim universal tentang semua aspek kehidupan bagi semua orang dalam semua keprihatinan planet ini. Sebaliknya, saya ingin berpendapat bahwa ada aspek-aspek kehidupan kita di mana kita sudah tahu terlalu baik apa masa depan akan terlihat seperti apa dan bagaimana, karena ini adalah tentang masalah yang harus dilakukan dengan aspek cara bertahan hidup (survival) dan hidup bersama (life together)—dimensi yang tidak berubah banyak selama berabad-abad dan yang mungkin tidak berubah banyak dan, dalam beberapa hal, hanya akan menjadi lebih mendesak.
Saya ingin mengingatkan kita pada tiga tantangan seperti di mana saya benar-benar yakin bahwa mereka masih akan berada di sana, mungkin 50 atau bahkan 100 tahun dari sekarang: pertanyaan tentang demokrasi, yaitu bagaimana hidup bersama mengingat bahwa kita berbeda dan menghargai perbedaan kita; pertanyaan tentang ekologi, yaitu, bagaimana memelihara kehidupan kolektif kita di planet dengan kapasitas terbatas; dan pertanyaan kepedulian, yaitu bagaimana kita berdampingan dengan orang lain, terutama mereka yang belum, atau tidak lagi mampu membawa diri mereka sendiri.

MENDEFINISIKAN KEMBALI DASAR-DASAR PENDIDIKAN
Di banyak negara, banyak pembuat kebijakan, politisi dan buzzer terus saling menceritakan kisah tentang perubahan dan ketidakpastian dan berpendapat bahwa karena itu pendidikan perlu pendekatan dan diarahkan berkaitan dengan kompetisi (persaingan pasar) dan kelangsungan hidup dalam ekonomi global. Cara berpikir ini sering kali menuntun pada definisi tertentu dari dasar pendidikan, di mana dasar-dasar seperti itu menjadi didefinisikan sebagai pengetahuan dan keterampilan untuk fungsi ekonomi—sebutan untuk pasar kerja dan kompetisi—dan untuk adaptasi yang fleksibel terhadap kondisi yang terus berubah.
Saya ingin berpendapat bahwa kita perlu lebih luas dan pada tingkat tertentu kerangka referensi yang berbeda, di mana kita memasukkan pertanyaan tentang demokrasi, ekologi dan kepedulian—sebagai titik orientasi untuk menanyakan apa yang harus memberikan arah untuk usaha pendidikan kita. Dan perihal demokrasi, ekologi dan kepedulian sangat penting karena mereka semua harus praksis dengan bermula dari pertanyaan eksistensial tentang bagaimana kita akan mengelola untuk hidup bersama dalam kemajemukkan dengan cara manusiawi pada situasi saat  ini dan sebagian sudah usang planet. Menurut saya hal ini merupakan kebutuhan dasar untuk pendidikan kontemporer dan pendidikan masa depan. Ini tidak berarti bahwa ekonomi tidak penting, tetapi tantangannya adalah melakukan ekonomisme’ (baca: ekonomi global—penerjemah) secara berbeda, dengan cara-cara yang lebih berkelanjutan, lebih peduli dan lebih demokratis. Ini juga berarti bahwa kita perlu menggeser orientasi kita dari kompetisiyang selalu tampak baik ketika Anda menjadi bagian dari tim pemenang tapi menjadi lebih jahat ketika tabel berbalik arah dan tidak bekerja sama. Bagi saya itu mungkin berarti sebuah pergeseran yang paling penting dalam menghadapi setengah-kebenaran yang tampaknya mengatur banyak hal dari pembicaraan pendidikan kitabahwa kita perlu membuat pergeseran menjauh dari kelangsungan hidup (survival) menuju kehidupan (life). Lagi pula, kelangsungan hidup selalu berkaitan dengan pertanyaan tentang apa yang perlu kita lakukan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Pertanyaan kunci yang hendaknya selalu kita tanyakan adalah apakah keadaan itu merupakan yang harus kita sesuaikan, atau apakah kita lebih perlu berinvestasi dalam mengubah keadaan dan waktu.3
DARI PEMBELAJARAN MENUJU PERKEMBANGAN
Semua pokok yang disampaikan sejauh ini dapat dikatakan sebagai tanggapan atas gagasan bahwa apa yang dimaksud dengan pendidikan adalah belajar (bukan pembelajaran—learning –penerjemah). Saya berharap untuk bisa menunjukkan kepada pembaca beberapa keterbatasan dari ceramah perihal learning, di mana itu berhubungan dengan masalah education. Pokok yang telah kita capai sekarang memungkinkan saya mengatakan sesuatu mengenai dua pilihan lainnya yang saya sarankan: bahwa pendidikan adalah mengenai pengembangan (development) dan bahwa pendidikan adalah mengenai pembentukan (formation).
Kritik saya tentang gagasan pendidikan sebagai kelangsungan hidup dan perhatian saya untuk mengarahkan pendidikan menuju kehidupan (life) dan kehidupan yang bermakna mungkin dibaca sebagai argumen bahwa daripada membuat pendidikan menjadi mesin belajar’ (berkaitan erat dengan kepentingan ekonomisme global—penerjemah), kita harus memfokuskan pada pengembangan bakat anak (melampaui dari sekedai psikologis—penerjemah)—khususnya pengembangan bakat anak atau, dalam frase yang sedikit berbeda, perkembangan potensi penuh anak. Lebih lanjut jika ambisi bertahan hidup tidak lagi mendominasi, tetapi kehidupan yang bermakna, kita membutuhkan semua bakat ini untuk mekar dan berkembang. Di sini saya ingin menunjukkan kesalahan lain dalam argumen (perihal pendidikan untuk bertahan hidup atau kelangsungan hidup—penerjemah), salah satu yang saya pikir menyebabkan beberapa masalah dalam diskusi pendidikan kontemporer juga, dan yang sulit untuk melawannya, yakni pertanyaan mengapa seseorang tidak ingin memberikan anak-anak kesempatan untuk mengembangkan bakat mereka dan mencapai potensi penuh mereka?
Pokok yang ingin saya sampaikan adalah pokok yang sederhana, tetapi hal itu tetap penting dalam argumentasi saya. Segera setelah kita melihat bahwa kita semua memiliki bakat untuk melakukan kebaikan dan untuk berbuat salah, segera setelah kita melihat bahwa kehidupan moral dan kehidupan kedhaifan merupakan hasil lintasan perkembangan, kita tidak dapat lagi mengklaim bahwa pendidikan seharusnya hanya mendukung perkembangan anak, mempromosikan berkembangnya semua bakat mereka sehingga mereka dapat mencapai potensi penuh mereka. Pendidikan, hemat saya, tidak sekedar peduli dengan perkembangan, bakat dan potensi, tetapi harus berurusan dengan pertanyaan yang jauh lebih sulit yakni mengenai perkembangan yang tepat dan bakat yang tepat dan potensi yang tepat (tanpa ingin menyarankan bahwa kriteria untuk apa yang benar adalah di sana dan kita hanya perlu mengukur setiap anak untuk menentangnya).
Tugas pendidikan ini bukan untuk membiarkan seribu bunga mekar tetapi untuk meminta segala sesuatu yang tiba, setiap bakat yang menunjukkan dirinya, segala sesuatu yang berpotensi ada: apakah itu diinginkan untuk kehidupan anak, untuk kehidupannya dengan orang lain, dan untuk kehidupan kita hidup bersama di planet yang rentan dengan keterbatasan ini.
Ketimbang menganggap pendidikan sebagai proses dukungan dan promosi, hal ini menyingkapkan bahwa kunci modalitas pendidikan adalah interupsi (oleh karena itu gagasan tentang education bisa dilihat ditulisan saya lainnya. Lihat, misalnya, Biesta, 2010). Pertanyaan kunci yang perlu dikerjakan yakni dapat dikemukakan sebagai pertanyaan apakah yang kita inginkan—tidak hanya dalam hal apa yang ingin kita miliki tetapi juga dalam hal apa yang kita inginkan—sebenarnya patut rasakan, untuk kehidupan kita sendiri, kehidupan kita  bersama orang lain, dan kehidupan yang kita jalani bersama di planet ini. Pertanyaan ini adalah kilas balik tertentu—dan metafora kilas balik merupakan metafora lama dalam pendidikan, yakni kembali ke Plato dan kiasan gua-nya. Pembahasan yang dipertaruhkan di sini adalah dari apa yang mungkin kita sebut cara ego-logis keberadaan di dunia (being in the world)— yaitu cara berada (being) di dunia yang berpusat di sekitar ego dan hasrat - menuju cara non-ego-logis untuk berada di dunia. Cara yang non-ego dan logis seperti berada di dunia bukanlah satu di mana kita mengatasi hasrat kita, melainkan di mana kita memilih dan menata ulang (Spivak 2004, HLM. 526) hasrat kita sehingga mereka dapat mempertahankan cara hidup yang tidak mementingkan diri secara logis di dunia.
TUMBUH-DEWASA: SEBUAH NILAI PENDIDIKAN
Gagasan berada di dunia dengan cara yang tidak egois adalah perumusan modern dari ide pendidikan kuni tapi tetap krusial, yaitu tumbuh dewasa (grown-up-ness). Apa yang saya maksud di sini adalah memang bahwa pendidikan harus memiliki orientasi ke yang-dewasa, karena dewasa berarti cara berada di dunia yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak kupet dank eras kepala, tetapi mencoba untuk mencatat fakta bahwa kita selalu ada dengan orang lain dan di dunia yang, secara tegas, adalah planet dengan kemafhuman dan keterbatasan sendiri. Philippe Meirieu (2007) menggambarkan apa yang dipertaruhkan di sini cukup baik ketika dia mengatakan bahwa siswa—sebagai subjekmampu berada di dunia tanpa berada di pusat dunia—dan caranya untuk tidak berada dipusat, secara esentrik, yakni merupakan karakter yang tumbuh dewasa.
Dengan berbicara tentang dewasa sebagai cara menjadi dan berproses, saya berupaya untuk mengambil gagasan itu dari pemikiran perkembangan yang telah dibahas di atas, bahwa untuk waktu yang lama, telah berpikir dan berproses tumbuh dewasa sebagai hasil atau hasil dari perkembangan. Kemudian hal itu pun sebagai jenis kepemilikan-diri yang seharusnya aman dan sangat ‘dijamin’—bila seseorang telah mencapai keadaan dan tahap kedewasaan tertentu. Saya pikir hal ini bukanlah cara yang layak untuk berpikir tentang apa yang sudah dewasa berarti, dan mungkin alasan utama untuk ini adalah bahwa saya tahu banyak orang ‘dewasa’ (secara usia dan psikologis. Sebab bagi Biesta grown-up-nes melampaui definisi dewasa secara usia maupun psikologis. Mungkin dalam frasa filsafat ilmu, grown-up-ness berarti “tahu di tahunya”—kosakata Indonesia mengenal kata ‘luhur dan tanggung jawab’—penerjemah) yang tidak mengelola being in the world dalam cara dewasa, jauh dari cara berpikir ego logis. Saya juga bertemu dan memang kerap bertemu banyak orang yang dianggap belum dewasa (secara usia maupun psikologis)olehnya terkadang kami menyebutnya anak-anak—yang secara sempurna dan mengesankan mampu hidup di dunia dengan orang lain dengan cara yang tidak egois, bersahaja, dan otentik. Itulah sebabnya saya tidak hanya lebih suka untuk memahami orang dewasa sebagai cara yang ada, tapi juga melihatnya sebagai berkelanjutan challengebahkan kita mungkin menyebutnya latihan tantangan seumur hidupdi mana kita selalu perlu bekerja keras untuk berada dalam situasi, dengan orang lain, dengan cara dewasa daripada kita dapat menerima hal ini begitu saja.
Sekolah, yang dilihat dari sudut pandang ini, hendaknya tidak dipandang sebagai lembaga yang menghasilkan orang yang telah dewasa. Sekolah harus lebih dilihat sebagai tempat, sebagian terlindung dari masyarakat dan tuntutannya, di mana kita dapat berlatih, dalam segala macam cara dan bentuk, apa yang mungkin berarti untuk menjadi di dunia dengan cara dewasa. Ketika tindakan para pendidik dikisahkan oleh perspektif ini, ketika mereka diarahkan ke arah nilai ini—nilai dari being in the world dengan cara dewasa—saya akan berpendapat bahwa itu adalah education, sehingga dalam hal ini tumbuh dewasa adalah contoh kunci, dan mungkin bahkan contoh dari apa nilai pendidikan itu.
PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBENTUKAN
Untuk berada di dunia dengan cara dewasa, untuk hidup dengan cara dewasadi dunia tanpa berada di pusat duniadapat dikatakan sebagai respon terhadap apa yang kita sebut challenge. Tapi sebelumnya juga apa yang saya gambarkan sebagai kendala. Yang lebih spesifik, kendala ini mempengaruhi pertanyaan apakah yang anda inginkan—untuk kehidupan anda dan kehidupan anda dengan orang-orang lain di planet yang rentan ini? Menghadapi pertanyaan ini bukanlah masalah belajar tetapi lebih mirip dengan pengalaman diajari, yang ditangani oleh sesuatu di luar diri anda sendiri. Sehubungan dengan hal ini, gagasan tentang pendidikan—yang bukan kendala apa pun melainkan peristiwa yang sangat spesifik—memiliki potensi untuk memberikan makna baru dalam proses mengajar. Kendala tersebut menjadi tidak penting mengingat pendidikan yang sedang berlangsung dan masih berlangsung dalam banyak kalangan, pendidikan dan lainnya.
Interupsi dan kritik yang ada di sini bukanlah berupaya untuk merusak psikologis sang anak, melainkan dimaksudkan untuk mengatasi sikap sang anak yang sudah dewasa, yakni mengimbau cara lain untuk hidup di dunia ini daripada yang telah begini adanya. Tindakan pendidikan, jika itu ditujukan pada orang dewasa, oleh karena itu bukanlah masalah menyesuaikan diri sang anak, melainkan dengan kebutuhannya sebagai seorang anak. Hal ini mulai memunculkan masalah-masalah dalam pendidikan yang berpikir bahwa ia hanya dapat melakukan sesuatu jika ia memiliki pengetahuan penuh tentang sang anak—di mana, siapa, apa problem dan kebutuhannya. Sebaliknya, tindakan pendidikan yang ditujukan pada orang dewasa adalah tentang orientasi pada apa yang tidak ada, yang tidak ada bukti, tetapi apa yang akan menjadi di kehidupannya. Kita dapat berpikir di sini, misalnya, tentang logika kepercayaan, di mana kepercayaan hanya menjadi masalah dalam kasus-kasus di mana kita tidak benar-benar tahu apakah yang lain dapat dipercaya—dalam kasus-kasus itu, kita membutuhkan kepercayaan; jika kita bisa memprediksi bagaimana yang lain akan bertindak, maka itu bukan masalah kepercayaan tapi perhitungan. Mempercayai seseorang bahkan terhadap semua bukti yang ada sekarang,dalam hal ini, adalah suatu bentuk pendidikan. Karena hal itu memberi si anak pilihan: bertindak dengan cara yang dapat dipercaya atau tidak. Apa yang dilakukan para pendidik di sini adalah untuk membuka kemungkinan bagi cara orang yang telah dewasa untuk berada di dunia ini—anak itu memiliki kebebasan untuk melangkah ke dunia ini dan ke dalam cara hidup ini, dan secara tepat pengertian ini inter-asumsikan di sini bukanlah bersifat merusak tetapi bersifat keturunan, meskipun dengan risiko fundamental yang tidak dapat diambil atau diatasi (lihat Biesta 2014).
Apa yang kita temukan di sini bukanlah logika learning—juga bukan logika pembangunan (baca: ekonomisme)—karena pembangunan terganggu—melainkan logika pembentukan, yaitu menemukan atau menetapkan bentuk duniawi dari keberadaan di dunia, dan bukan menjadi pusat dunia (logossentrisme—penerjemah) sehingga masih ada ruang bagi orang lain untuk berada di dunia juga.
KESIMPULAN: TUGAS PENDIDIKAN UNTUK MELAWAN
Saya memulai makalah ini dengan pertanyaan tentang apa yang harus diperjuangkan sekolah. Saya telah perlahan-lahan menelaah dengan cara saya melalui beberapa kompleksitas pendidikan dan juga beberapa kompleksitas dan kontradiksi dari ceramah-ceramah kontemporer mengenai pendidikan. Melalui ini, saya telah mencoba untuk merebut kembali sekolah sebagai upaya pendidikandan untuk membuat jelas apa artinya ini, saya telah bekerja dengan cara saya melalui pengertian belajar, pengembangan dan pembentukan. Dengan demikian, saya berupaya memberikan jawaban atas tiga pertanyaan.
Yang pertama adalah pertanyaan tentang apa itu pendidikan yang baik. Di sini, saya telah menyarankan bahwa pada tingkat minimum, pendidikan yang baik—atau mungkin kita harus mengatakan pendidik yang baik, atau pendidik yang tertarik pendidikan yang baikbahwa kualifikasi bukan satu-satunya hal yang penting, tetapi bahwa sosialisasi dan subjektifikasi selalu menjadi (being) merupakakan hal yang  harus dan dan perlu diurus. Ini berarti bahwa sekolah harus bersikap untuk konsepsi pendidikan yang lebih luas dan harus menolak upaya yang berkesinambungan—kadang kita bahkan mungkin menyebutnya serangan—untuk mengurangi pendidikan hanya demi fungsi kecakapan (dan di dalamnya hingga sejumlah kecil yang disebut mata pelajaran dasar).
Pertanyaan kedua yang saya coba jawab adalah tentang apa yang sebenarnya menjadi penting dalam pendidikan—apa yang menjadi perhatian utamanya: di sini, saya telah menunjukkan masalah sehubungan dengan pengertian belajar dan pengembangan, dan telah membuat kasus untuk yang lama tapi tetap membantu istilah pembentukan. Lagi pula, pendidikan apa yang seharusnya menjadi, misalnya perihal menolong anak-anak dan kaum muda menyambut ke dalam bentuk 'duniawi', suatu bentuk yang memungkinkan mereka untuk hidup di dunia tanpa menempatkan diri mereka sebagai pusat dunia (logossentrisme). Ini, seperti yang saya sarankan, adalah masalah manusia dewasa, dari cara non-ego logis being in the world. Saya telah menyajikan ini sebagai nilai pendidikan, namun ingin menekankan bahwa nilai ini, cara untuk berada di dunia, secara tepat menanggapi tantangan abadi kehidupan manusia: yakni pertanyaan tentang demokrasi, ekologi, dan kepedulian yang dalam setiap kasus menyerukan kepada kita untuk menanggapi dengan cara dewasa dan tidak egois. Dalam hal ini, minat pendidikan pada orang dewasa bukan sesuatu yang khusus, sesuatu yang hanya relevan untuk pendidikan dan pendidik. Ini menanggapi serangkaian pertanyaan mendasar dan penting tentang kehidupan modern dan di masa depan—dan lagi, sekolah harus bersikap untuk hal ini dan harus menolak upaya untuk menjauhkan pendidikan dari dasar-dasar ini, yang dasar karena mereka bersifat eksistensia: mereka peduli pada kehidupan, bukan pada kelangsungan hidup.
Ketiga, saya mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang di mana seharusnya sekolah itu berada. Dan, daripada sekadar menganggap sekolah sebagai fungsi masyarakat—meskipun memang demikian— kita hendaknya selalu berupaya agar sekolah itu menjadi ruang bebas, belum (sepenuhnya) ditentukan oleh tuntutan masyarakat (yang ekonomisme—penerjemah), tetapi tempat di mana berpraktek itu mungkin, khususnya menerapkan apa artinya hidup di dunia dengan cara dewasa. (dan ini membutuhkan banyak latihan, karena ini bukan masalah mengetahui tetapi pada akhirnya masalah menjadi dan mampu.) Tempat untuk berpraktek sangat penting di dunia bahwa, tidak sedikit melalui tuntutan bentuk konsumerisme melakukan semata-mata praktek ekonomi—sebenarnya hal tersebut tidak benar-benar tertarik pada kendala keinginan, tetapi lebih suka pada orang yang memiliki lebih banyak keinginan, sehingga mereka ingin-lebih, dan oleh karena itu akan membeli lebih banyak, sehingga ekonomi dapat terus tumbuh. Oleh karena itu, dalam dunia yang ingin semua orang tetap menganggap diri penting—secara logis, sangatlah penting untuk memiliki tempat-tempat perlindungan di mana cara-cara lain untuk berada dan berada bersama dapat dipraktekkan. Di sinilah letaknya alasan utama bagi tugas sekolah untuk menolak dengan mempertahankan nilai menjadi dewasa di dunia yang cukup sering ingin kita tetap menjadi anak-anak. Ini bukan tugas yang berarti, tetapi itu dipertaruhkan jika kita ingin sekolah menjadi tempat di mana pendidikan dapat terjadi. []
Gert J.J Biesta adalah Professor Teori dan Filsafat Pendidikan dari Brunel University London, UK & ArtEZ Institute of the Arts, Netherlands. Buku karangannya yang terkenal berjudul Beautifull Risk of Education (2014).
Hak Cipta @ Gert J.J Biesta
Penerjemah dan Editor: Tyo Prakoso
Dialihbahasakan dari artikel berjudul “The Duty to Resist: RedefiningThe Basics for Today’s Schools” di Jurnal ROSE (Reseach on Steiner Education) Vol. 6 Desember, 2015 dengan tujuan pendidikan.

CATATAN AKHIR:
1.  Gagasam tentang Tugas untuk Menolak berasal dari judul buku karya pemikir pendidikan asal Perancis Phillipe Meirieu (lihat Meirieu, 2007).
2. Saya menggunakan frasa ‘nilai-nilai pendidikan’ (educational values) di sini untuk menandaskan bahwa nilai-nilai yang menginformasikan pengajaran hendaknya tidak dipahami sebagai nilai-nilai moral. Atau dengan kata lain: norma yang dipertaruhkan dalam pendidikan bukanlah norma atau moral normative tetapi merupakan norma pendidikan yang lebih spesifik. Saya akan mengatakan sedikit tentang norma pendidikan tertentu dalam diskusi saya tentang perkembangan (development) dan pembentukkan (formation). Satu cara untuk menunjukkan apa yang dipertaruhkan di sini adalah dengan menunjukkan bahwa interaksi anatara guru dan siswa atau manusia yang telah dewasa (grown-up-ness) dan anak secara moral sesuai—oleh karena itu secara tidak otomatis bersifat educated yang berharga atau bermakna.
3. Industri Rekayasa Belanda tentu saja akan sangat bahagia bila mereka bisa membangun bendungan atau tanggul di mana pun di dunia untuk menghentikan kenaikan permukaan air laut dari ancaman kebanjiran, tetapi akan lebih bahagia lagi jika penyebab kenaikan permukaan air laut sendiri bisa diatasi.

DAFTAR PUSTAKA:
Biesta, G.J.J. (2006). Beyond learning. Democratic education for a human future. Boulder, Co.: Paradigm Publishers.
Biesta, G.J.J. (2010). Good education in an age of measurement: Ethics, politics, democracy.
Boulder, Co: Paradigm Publishers.
Biesta, G.J.J. (2013). Interrupting the politics of learning. Power and Education 5(1), 4-15.
Biesta. G.J.J. (2014). The beautiful risk of education. Boulder, Co: Paradigm Publishers.
Biesta, G.J.J. (2015a). Hva er en pedagogisk oppgave? Om det å gjøre voksen eksistens mulig.
[What is an educational calling? To make grown-up existence possible.] In P.O. Brunstad, S.M. Reindal &
H. Sæverot (red.), Eksistens og pedagogikk. En samtale om pedagogikkens oppgave (pp.194-209).
Oslo: Universitetsforlaget.
Biesta, G.J.J. (2015b). Wereld-gericht onderwijs: Vorming tot volwassenheid. [World-centred education:
Formation for grown-up-ness.] De Nieuwe Meso 2(3), 54-61.
Biesta, G.J.J. (2015c). Freeing teaching from learning: Opening up existential possibilities in educational
relationships. Studies in Philosophy and Education 34(3), 229-243.
Masschelein, J. & Simons, M. (2012). Apologie van de school. Leuven: Acco;
Meirieu, P. (2007). Pédagogie: Le devoir de résister. [Education: The duty to resist.]
Issy-les-Moulineaux: ESF éditeur.
Mollenhauer, K. (1983) Vergessene Zusammenhänge. Ueber Kultur und Erziehung. [Forgotten connections.
On culture and education.] München: Juventa.
Oelkers, J. (2005). Reformpädagogik. Eine kritische Dogmengeschichte. 4. vollst. bearbeitete und erweiterte Auflage.
[Progressive education: A critical history of fundamental ideas. 4th revised and expanded edition] München: Juventa.
Sidorkin, A. (2002). Learning relations: Impure education, deschooled schools, and dialogue with evil.
New York: Peter Lang.
Spivak, G.C. (2004). Righting the wrongs. South Atlantic Quarterly 103(2/3), 523-581.

Komentar

Postingan Populer