BAGAIMANA MEDIA SOSIAL MEMBENTUK KETAKUTAN KITA DI MASA PANDEMI COVID-19: SEBUAH LAMUNAN
REGOBLOG – KAMU DUDUK di beranda
rumah sambil menurun-naikkan layar gawai. Hujan tak kunjung tiba, angin
sepoi-sepoi, tanaman hias baru saja disiram ibumu. Tapi hawa sore itu tidak
cukup membuatmu tenang—kabar yang kamu dapati di linimasa Twitter malah bikin
kamu gerah. Usai meletakkan gawai di meja anyaman rotan itu, kamu
memandang ke arah-entah. Sinar layar gawai masih menyala.
Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus Putranto mengeluarkan Surat Keputusan
Nomor HK.0107/Menkes/248/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi
dan Kota bekasi (Bodebek). Surat Keputusan tersebut ditindaklanjuti oleh
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
460/3766-Hukham/2020 tentang masa perpanjangan pemberlakukan PSBB di wilayah
Bodebek dari 1 September hingga 29 September 2020.
Jika
aturan di atas dipatuhi, pikirmu sambil
meloloskan sebatang kretek dan lekas menyulutnya, idealnya kita harus tetap
karantina mandiri di rumah: pembatasan wilayah, protokol kesehatan yang semakin
diperketat, kantor-kantor tutup, sekolah-sekolah tutup, fasilitas publik tutup,
jalanan lengang, pasar sepi, dan lain sebagainya seperti yang kita bayangkan
tentang lockdown. Kita harus tetap
bekerja dari rumah, dan belajar dari rumah. Dan itu artinya aktivitas kita di
dunia maya semakin intens, kuota semakin banyak diperlukan.
“Meskipun
kita kerap kecewa dengan yang dianggap ideal, kan.” katamu seperti kepada
diri sendiri.
“Ya,
tentu saja,” kamu membaca postingan seorang
pengguna Facebook terkait imbauan Presiden Joko Widodo perihal penggunaan
masker dan lain sebagainya. “Logika narasi seperti ini mudah ditebak: kalau
kasus COVID-19 tak ada penurunan, bahkan makin banyak, pihak yang layak
disalahkan rakyat itu sendiri. Pemerintah tentu enggak mau disalahkan, karena dari awal tak berani ambil kebijakan
apa pun, apalagi yang berisiko. Nyuruh rakyat
pakai masker doing mah itu bukan
kebijakan namanya,”
“Gara-gara
banyak kerjaan yang kena lockdown, kegiatan kami pun jadi
banyak berkutat di rumah saja,” kamu membaca
kicau seorang pengguna Twitter di akun pribadi miliknya. “Selama dua minggu
lebih begini terus gue yakin negatif
korona, tapi wife (istri) bisa
positif…hamil!”
Percakapan
semacam itu hanyalah salah satu cara media sosial menawarkan jendela ke
tanggapan kolektif kita terhadap pandemi COVID-19, serta membentuk reaksi kita
sejak awal—untuk kebaikan dan untuk sakit, tulismu
di aplikasi pencatat yang tersedia di gawaimu, dan kamu membaca, membaca dan
membaca.
Ketika
COVID-19 menyebar di Indonesia, platform media sosial seperti Facebook dan
Twitter, menjadi kanal untuk memfasilitasi percakapan penting dan tidak penting
tentang virus. Sementara pada saat yang sama memungkinkan sensasi dan
misinformasi menyebar.
Selain itu tingkat informasi di linimasa media sosial, yang belum pernah terjadi sebelumnya dan jempol kita tak memiliki pengalaman untuk itu, kita harus membuat keputusan cerdas. Tetapi menurut para ahli, kamu membuka Tab majalah Time di gawaimu, hal itu juga bisa membuat kita cemas. Menurut Jeef Hancock, professor komunikasi di Universitas Stanford dan Direktur Lab Media Sosial Stanford, Inggirs mengatakan bahwa pandangan optimisnya adalah bahwa media sosial terbukti berguna pada saat banyak dari kita terisolasi satu sama lain. Percakapan seputar virus korona, terutama di tingkat komunitas, dapat membantu kita mengatasi krisis ini. Percapakan dan diskusi tersebut “mencerminkan bagaimana masyarakat berpikir dan bereaksi terhadap krisis,” kata Hancock seperti dilansir majalah Times.
Melalui
platform media sosial banyak ahli yang mencoba untuk berbagi informasi yang
akurat atau pemimpin komunitas yang menyelenggarakan berbagai pelatihan dan
acara melalui daring. Di sisi lain, ada juga ribuan pengguna yang menyebarkan
rumor, sensasi, dan bentuk disinformasi lainnya.
“Ini
menarik semua orang keluar dari kapasitas keahliannya,” kata Daniel Rogers,
asisten profesor di Universitas New York. “Setiap penipu, setiap penjual obat
ranjang ... setiap konspirator, setiap troll internet.” lanjut salah satu
pendiri organisasi nirlaba Global
Disinformation Index—sebuah organisasi nirlaba yang bekerja melawan
informasi palsu dan tidak benar di internet—kepada majalah Time.
Kamu berhenti sejenaknya. Berjalan ke
dalam kamarmu. Kembali dengan membawa kota pengeras suara merk DBL. Kemudian
lagu Come As You Are-nya Nirvana mengalun. Tepat ketika Kurt berdesis “Memoria, memoria, // Memoria, memoria…”
kamu meraih kembali gawaimu.
Dengan
informasi yang kontradiktif tentang COVID-19 yang muncul, dari tingkat
tertinggi pemerintahan hingga masyarakat awam, para ahli yang bergelut melawan disinformasi
di internet mengatakan semakin penting bagi mereka yang memiliki informasi
akurat untuk memastikan mereka didengarkan. Sekali pun itu lebih mudah
diucapkan daripada dilakukan. Apalagi salah satu adigium platform media sosial,
yakni trending-topic adalah kunci…
Algoritma
yang membentuk apa yang kita lihat di media sosial biasanya mempromosikan
konten yang paling banyak menarik; postingan
yang menarik publik paling banyak tersebar paling jauh. Para peneliti
mengatakan bahwa publik-figur seperti artis, pemain sinetron dan lainnya yang
memang keahliannya jauh dari bidang epidemiolog sebagian bertanggung jawab atas
penyebaran informasi yang salah dan kabar sensasional. Hal itu terjadi karena
konten yang mengejutkan atau bermuatan emosional sangat bagus untuk menarik
perhatian orang.
Rogers
mengatakan bahwa platform media sosial umumnya mengambil sikap agresif untuk
melawan informasi yang salah terkait COVID-19. Sebagian, itu karena memoderasi
konten semacam itu berisiko lebih kecil membuat pengguna marah daripada
bertindak sebagai wasit untuk disinformasi yang lebih sensitif secara politik. Namun upaya ini adalah permainan
“whack-a-mole,” katanya. Karena konten yang menyesatkan menyebar lebih cepat.
Upaya yang lebih efektif untuk mengawasi konten palsu membutuhkan investasi
sumber daya yang jauh lebih besar di pihak perusahaan media sosial. Selain
berfungsi sebagai arena atau forum komunitas, para ahli mengatakan media sosial
sebenarnya mengubah cara masyarakat memandang dan menanggapi wabah COVID-19.
Manusia
mengambil isyarat dari manusia lain, dan mereka mungkin lebih cenderung panik
jika mereka melihat orang lain memposting tentang kepanikan lainnya, misalnya
kekalapan dalam berbelanja kebutuhan pokok.
Menurut
Santosh Vijaykumar, seorang peneliti komunikasi kesehatan dan risiko di
Universitas Northumbria. “Kami melihat tren (panic buying) yang mengkhawatirkan di mana perilaku tertentu yang
dipicu oleh ketakutan dan kecemasan—seperti menyetok persediaan tisu toilet
atau pembersih tangan—menjadi normal dan semakin menyebar karena hal itu
terus-menerus dibahas di media sosial,” tulisnya kepada majalah Time melalui surat-e.
Sisi
sebaliknya mungkin bisa jadi benar, kamu
memandang ke pedagang Cuanki yang lewat di depan rumahmu, yakni jika kamu
melihat foto teman-temanmu di Instagrama yang mengabaikan ajakan untuk
mempraktikkan psychal distancing,
kamu mungkin lebih cenderung untuk keluar rumah dan mengabaikannya. Selain itu,
pedagang cuanki berhenti di tiga rumah di
sebelah rumahmu, tetanggamu dating ke pedagang cuanki itu dengan membawa dua
mangkuk berwarna merah jambu, rekaman dan data dari tempat-tempat yang
terkena dampak paling parah seperti China dan Italia, harusnya membuatmu cukup
tahu diri bahwa COVID-19 bukankah isapan jempol belaka.
Dr.
Lee Riley, ketua Divisi Penyakit Menular dan Vaksinologi di Fakultas Kesehatan
Masyarakat UC Berkeley, mengatakan bahwa banyaknya data mengenai angka terinfeksi
(sebagian karena protokol pengujian yang lebih cepat dan lebih murah di seluruh
dunia) juga menambah dimensi menakutkan bagi pemahaman kita. Dari penyebaran
virus di seluruh dunia, berkontribusi pada suasana kecemasan dan bahkan dalam
taraf yang akut. “Yang membuatnya berbeda kali ini adalah teknologi yang kami
miliki untuk komunikasi massa dan media jaringan sosial,” kata Riley,
membandingkan COVID-19 dengan wabah sebelumnya seperti SARS, Ebola atau bahwa
Wabah Hitam di millennium yang lalu.
Namun,
beberapa ahli mengatakan kadar ketakutan yang sehat mungkin kita butuhkan
selama krisis yang berpotensi mengubah dunia seperti ini. Khudejah Ali, seorang
peneliti berita palsu dan komunikasi penyakit, telah mempelajari bagaimana
pejabat kesehatan masyarakat dapat merancang pesan risiko kesehatan selama
wabah. Dia menemukan bahwa “tingkat sensasional sebuah berita di media sosial yang
membangkitkan rasa takut yang moderat” dalam pesan semacam itu dapat meningkatkan
keterlibatan pengguna. Melalui surat-e kepada majalah Time, dia mengatakan bahwa ketika pesan seperti itu digabungkan
dengan informasi yang berguna dapat membantu orang melindungi diri mereka
sendiri atau mendiagnosis gejala, kombinasi tersebut dapat “menjadi pesan
komunikasi kesehatan yang kuat dan dapat ditindaklanjuti, dan menghasilkan
pembagian dan keterlibatan yang luas di seluruh populasi.”
Seperti
yang dijelaskan Hancock, di tengah-tengah krisis kesehatan masyarakat, tidak
selalu menjadi masalah bagi orang-orang untuk menjadi gugup, selama kecemasan
itu memotivasi mereka untuk bersiap dan tetap aman, dan mereka tidak menjadi
panik secara berlebihan. “Seringkali kita berpikir kecemasan adalah hal yang
buruk, tapi terkadang itu adalah respon yang tepat,” katanya. “Artinya, orang bisa
lebih memperhatikan sesuatua hal.”
Punggungmu menyentuh kursi kayu.
Kamu menghela napas dan membayangkan betapa asyiknya bila apa yang ia pikirkan
segera tertuang menjadi tulisan.
Aplikasi Whatsapps-mu berdering.
Panggilan telepon dari redakturmu.
“Tulisanmu gimana, sudah jadi? Aku
tunggu sampai jam tujuh malam.” Katanya, dan kamu tak sempat berkata apa-apa.
Di titik itu, kamu ingin menjadi Nobita dan meminta kepada Doraemon sebuah
mesin pencatat lamunan menjadi tulisan. []
Komentar
Posting Komentar